TOP NEWS

Tolong Tinggalkan Komentar yang Baik Sebagai Jejak Kedatangan Anda.

Friday, 4 October 2013

Kisah Sang Bintang Kecil


Kau hanya akan menatap bintang kecil di langit tanpa tahu sebesar apa dia sebenarnya.
Apa yang kau katakan Wallace?
Aku berbicara sendiri tuan putri, seperti biasanya.
Mengapa kau bicara sendiri lagi? Mengapa kau tak bicara padaku?
Aku hanya merasa harus saja...
            Harus? Siapa orang jahat yang mengharuskanmu bicara sendiri?
Tuan putri, ini pembicaraan yang tidak berarti, maaf aku telah mengganggu jam belajarmu.
            Wallace dilarang meminta maaf padaku!
Lalu apa yang harus kuperbuat bila aku membuatmu marah?
Wallace tidak mungkin membuatku marah. Aku akan curiga apakah kau Wallace atau bukan bila itu benar-benar terjadi.
Tuan Putri, aku tidak sesempurna itu. Manusia saja kerap kali berbuat salah.
            Kalau begitu jangan jadi manusia! Jadilah Wallace-ku yang takkan pernah mengecewakan.
Pada dasarnya kau tidak bisa menganggapku manusia Tuan Putri. Dan tidakkah lebih baik kau melanjutkan pelajaran Bahasa Spanyolmu? Ayahmu memerintahkan itu bukan?
                ............
Mengapa kau terlihat kesal?
                Aku tidak bisa bahasa itu sama sekali! Sebagaimana Ayah tidak ada disini sama sekali.
Apa maksudmu? Kau lancar sekali kemarin ketika menyapa kenalan Ayahmu itu.
                Pokoknya kalau Ayah tak disini, aku tidak bisa.
Ayah harus kerja Tuan Putri. Dan kau akan sembilan tahun September ini, dewasalah sedikit.
                Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik.
Tuan Putri..
                Apa?
Aku ada disini bila kau kesepian, selalu berada disini.
                Lalu kenapa?
Apa keberadaanku tak cukup bagimu?
                Aku ingin Ayahku! Aku ingin Wallace juga! Aku ingin Ayah dan Wallace disini bersamaku!
Itu sedikit egois Tuan Putriku...
                Aku rela jadi penjahat asalkan Ayah ada disini!
Tuan Putriku terlalu baik untuk jadi penjahat..
                Kalau begitu aku takkan menjadi perempuan baik lagi bila Ayah tak pulang sekarang juga!
Silahkan saja, aku sih benci orang jahat..
                Curang! Wallace Curang!
Kau harus jadi orang baik Tuan Putriku, ayahmu akan pulang bila kau banyak berbuat baik.
                Benarkah!!??
Tentu saja! Dan aku takkan pernah pergi lagi bila kau selalu baik.
                Wallace berbohong!
Bagaimana mungkin aku berbohong? Aku telah bersumpah takkan pernah membohongimu!
Kau selalu meninggalkanku sendiri! Ketika Ayah pulang, ketika Pelayan datang, atau ketika Alicia datang bermain!
Itu diluar kemampuanku untuk berada disini Tuan Putriku...
                Lalu bagaimana caranya agar kau terus disini Wallace?
Aku akan datang ketika kau membutuhkanku.
                Aku akan selalu membutuhkanmu kalau begitu!
Tidak, maksudku, ketika kau.., seperti...
                Iya...., aku tahu....
Hah?
                Pokoknya aku tahu!
Tuan Putri Elistra yang cantik nan manis! Apa gerangan yang membuatmu semarah ini?
                Pokoknya aku tahu! Pokoknya aku mengerti semua orang harus meninggalkanku sendiri!
...........
                Pokoknya aku tahu mereka semua punya alasan sendiri!
Hei, anak baik tidak boleh ngambek.
Nggg..., tanganmu terlalu besar untuk mengelus kepalaku tahu. Wallace si beruang coklat besar.
Ahaha, ini sih karena kau terlalu kecil saja Tuan Putri Bintang Kecilku...
                Tapi aku kan imut!
Aku juga kan?


“Kalau Wallace tak ada imut-imutnya tuh!”
TOK TOK TOK
“Tuan Putri..., makan malam sudah siap...”
“Silahkan masuk Gisele, tidak kukunci!”
CKREK
Teng ting teng ting.
“Gisele! Mengapa aku harus makan Pasta setiap malam?”
“Itu perintah Tuanku, Tuan Putri. Beliau juga berpesan agar kau memakan sup buncisnya”
“Tidak disini tapi memerintahku! Hufttt, aku tidak akan memakan sup ini!”
“Aku minta maaf Tuan Putri, tapi ini perintah Ayahanda-mu sendiri. Bila tidak kau lakukan Beliau akan memarahiku..”
“Hmmph!”
“Mungkin bila Tuan Putri sering makan buncis, Ayahanda-mu akan pulang lebih sering.”
“Gisele curang! Trik yang sama seperti Wallace!”
“Wal-? Oh. B..baiklah Tuan Putri, saya permisi dulu..”
CKREK. DUM.

Pastanya enak?
                Nggg..., jangan muncul hilang muncul hilang terus-menerus. Menakutkan tahu.
Bentukku memang mengerikan Tuan Putri, tapi aku bersumpah aku takkan menyakitimu.
                Lagipula kau ini beruang! Beruang itu baik hati! Selalu punya senyum!
Sebenarnya hanya kau yang menganggapku beruang.
                Haaaah? Memangnya ada orang lain?
Eh? Maksudmu?
Ada orang lain ya! Pasti ada orang lain! Ketika kau sedang tak bersamaku, pasti kau bersama orang itu! Wallace jahat! Padahal aku tak punya teman lain selain dirimu!
Hei, mana mungkin aku begitu. Dan kau anggap apa Alicia selama ini?
                Orang yang suka mengambil buku gambarku!
Kan sudah kenalan dan sudah dekat. Aku melihat sendiri kok waktu itu.
                Berarti benar kan? Wallace punya teman lain kan? Wallace tak peduli lagi padaku!!!!
Tidak, aku tak mungkin seperti itu! Aku menyayangimu! Aku bersumpah akan melindungimu!
                Wallace pasti temannya Alicia juga!!!!!!!
Kok jadi dia? Hei.., aduh, jangan menangis dong, Tuan Putriku...
Dahulu aku pernah bersumpah kan padamu? Aku akan melindungimu hingga nanti kau tidak sendiri lagi. Aku akan menjagamu walaupun tubuhku hancur disaat melakukannya. Aku akan menjadi temanmu selama-lamanya.
                Huwaaa!!!
Aduh..., sial...
                ...............................
Tuan Putriku...
Ibu juga bilang tidak akan meninggalkanku!
Jadi..., aku tak boleh punya teman selain dirimu?
                Tidak!
Oke, tenang saja, tenang saja...
                Kau tidak boleh punya teman selain aku!
Iya..
                Dan aku juga takkan punya teman selain dirimu!
Oh, kalau itu aku harus menolak..
                Kenapa!!??
Tidak ada manusia yang tidak punya teman, Elistra-ku yang manis.
                Aku punya! Aku punya teman! Kau temanku!!
Maksudku..., teman manusia, yeah, itu dia!
                Hmmphh, pokoknya aku hanya ingin berteman denganmu saja!
Pokoknya Tuan Putri Elistra yang manis harus punya banyak teman!
                Tidak!!!
Kalau tidak, Ayahmu takkan pernah pulang lagi selamanya!
                Wallace jahat!!
Mengapa kau begitu keras kepala soal ini?
                Aku hanya tak mau Wallace hilang.
Aku takkan meninggalkanmu..
                Itu hanya sumpah, tapi kau pasti akan pergi nantinya!
Bagaimana kau bisa yakin?
                Jika aku punya teman...., jika aku merasa bahagia..., kau pasti akan pergi...
Kau hanya menduga. Aku berada disini untuk memastikan kebahagiaanmu, mustahil bila akulah yang menyebabkan kau tidak bahagia. Jika saja dunia seperti itu, aku lebih memilih untuk mati sekarang juga.
                Aku tak mau dengar! Aku tak mau dengar lagi!
Aku tak pernah mengatakan bahwa keberadaanmu membuatku tidak bahagia, aku malah selalu bahagia.
Dan kaulah penyebabnya. Kebahagiaan itu. Jika kau mati...., aku...
Tuan Putri....
Sekalipun kau bilang bahwa kau muncul karena ketidak bahagiaanku, tapi ketika kau berada disini akan membuatku bahagia. Maka itu menjadi hal terkecil dan paling tidak berarti untuk dibicarakan.
Tetapi bahagia bukan hal sesimple itu.
Simple kok. Aku sedih karena Ayah tak kunjung pulang. Aku sedih karena Ibu telah tiada. Tapi aku bahagia ketika kau disini, bahagia ketika kau bicara padaku, bahagia ketika kau mengelus kepalaku dengan tangan besarmu.
Tiga bahagia minus Dua sedih, aku hanya bahagia.
                Kumohon jangan tinggalkan aku...
Baiklah bila kau menganggapnya seperti itu Tuan Putri. Dan tentu saja, meninggalkanmu adalah hal paling mustahil yang dapat kulakukan.


1:47 pm Diposkan oleh Unknown 0

Friday, 27 September 2013

Eremophobia, Isolophobia, Monophobia


Cerita ini selalu diceritakan kembali dari mulut ke mulut. Tak ada yang tahu kepastiannya namun benar-benar terjadi.

Pernahkah kau membayangkan..

Suatu pagi ketika kau terbangun dari mimpi burukmu tentang hasil pertandingan baseball tim favoritmu yang berakhir menyedihkan.

Kau menyadari bahwa kau adalah manusia terakhir didunia ini?

Itu terjadi padaku.

Aku tidak berbohong, apalagi melebih-lebihkan. Aku benar-benar sendirian.

Sendirian bukan karena aku dikucilkan di sekolah, lebih konyol lagi bila kubilang aku sendirian karena orangtuaku jarang pulang kerumah.

Aku sendirian karena aku adalah manusia terakhir di bumi.

Kupikir hari itu adalah Selasa yang panjang, ketika aku terbangun sambil melompat dari ranjang, yang tanganku tuju pertama kali adalah kacamata. Aku termenung, melihat jam weker yang biasa membangunkanku pukul 06.30 tidak berdering karena sudah hancur berantakan dibawah meja.

Lebih termenung lagi ketika aku menghirup udara pagi yang sejuk, namun tak tercium sedikitpun bau masakan ibu yang biasanya menyerbak hingga aku dapat mengenakan seragamku sambil terburu-buru kelaparan.

Melesat melalui lorong dimana jam dinding berada, aku mendapati benda itu tak bergerak.

Aku mengetuk kamar adik perempuanku yang tertutup, karena tak ada jawaban aku hanya berteriak bahwa kita akan terlambat bila tak buru-buru.

Hingga ketika aku menuruni tangga, aku mendapati meja makan bersih tanpa apapun berada diatasnya. Disini jantungku tiba-tiba berdenyut keras hingga dapat kurasakan. Entah mengapa, sebuah asumsi mengerikan baru saja melintasi pikiranku.

Apa mereka semua sudah berangkat? Bila benar begitu, ini artinya akulah yang luar biasa telat bangun.
Ibu mungkin pergi ke supermarket, yeah, disaat itu aku berpikir sehat, tanpa sedikitpun mencampurnya dengan non-realitas dari film-film dan Manga.

Aku mencoba cek jam pada ponsel sebagai pilihan terakhir karena entah mengapa jam diseluruh rumahku hancur berantakan. Namun jantungku lagi-lagi berdenyut keras, dan khayalan mengerikan lagi-lagi melintas. Seakan tak pernah ada disana, seakan tak pernah ada data yang menyusun wujud dan imej angka dua digit, titik dua, angka dua digit, seakan aku telah meng-unninstalaplikasi penunjuk waktu. Aku membisikan kata pada diriku sendiri. ‘Hey nak, kau tidak akan pernah bisa melihat waktu lagi’.

Merinding, aku memutuskan untuk bergegas keluar rumah. Dari sinilah aku benar-benar yakin ada yang tidak beres terjadi. Ketika itu aku melihat sepatu kerja ayahku, sepatu sekolah adikku, bahkan sendal rumah ibuku masih berjejer rapih didalam rak, aku kebingungan sambil menggaruk belakang kepala dengan putus asa. Aku berbalik, barangkali aku salah, itu optimisme yang paling tidak bisa kupertahankan. Aku membuka kamar orangtuaku, dan benar-benar tak ada siapapun disana.

Jam dinding kamar mereka juga hancur.

Bulu kudukku berdiri, kubuka jendela kamar itu dengan tanganku yang bergetar tidak wajar.

Ketika itu bumi benar-benar sunyi.

Kemanapun aku memandang, tak ada satupun orang diluar sana. Masih tak percaya dengan fakta, aku berlari sekencang mungkin kearah televisi. Ia mampu menyala dengan baik tanpa rusak sedikitpun, lagipula ini TV bersatelit, tak mungkin sinyalnya terganggu. Namun ada satu masalah.

Di hari dimana kupikir aku adalah manusia terakhir didunia ini, kebetulan tak ada satupun stasiun televisi yang tayang. Diseluruh dunia? Ya, diseluruh dunia. Bukankah timingnya terlalu tepat? Tanyaku pada diri sendiri.
Aku menemukan sebuah channel yang mengudara, aku mencoba rileks sedikit untuk pertama kalinya dalam hari ini. Namun aku salah, ada sebuah konter dapur milik sebuah acara tertentu yang nampaknya sedang mencoba menjelaskan cara membuat Ramen manis, seperti merek sponsor acara itu. Masalah lainnya, kebetulan juga didalam acara tersebut tak ada satupun orang yang berdiri di konter untuk melakukan demonstrasi pembuatan makanan tersebut. Mengisyaratkan bahwa pada saat acara ini tayang, sebuah kejadian terjadi. Kejadian yang membuat seluruh manusia di bumi ini lenyap.

Kecuali aku.

Dengan masih mengenakan seragam, aku berjalan masuk kedalam kota. Berharap menemukan petunjuk dari fenomena mengerikan ini. Mobil-mobil berserakan ditinggal pemiliknya, banyak dari mereka yang mesinnya masih menyala, toko-toko kosong dengan pintu yang terbuka. Aku menatap kedalam sebuah supermarket, tanpa kasir ataupun penjaga dengan berton-ton makanan tersimpan disana. Tak lama kemudian aku melewati toko alat elektronik, tanpa penjualnya, tanpa penjaga juga.

Kujumpai sebuah gedung pencakar langit yang biasanya adalah sebuah kantor perusahaan bahan bakar, entah apa yang kupikirkan namun kukira dari atas sana akan kutemukan apa yang kucari.

Aku benar-benar menemukannya.

Aku tidak menemukan pentunjuk apapun, namun sekarang aku tahu aku benar-benar sendiri.

Dengan menggunakan lift, gedung setinggi 25 lantai mudah saja kau tempuh dalam waktu tak lebih dari 3 menit. Tapi yang jadi masalah adalah, ketika berada disana, akhirnya aku mengerti apa yang sedang kuhadapi.

Dari sini aku dapat memandang kota secara penuh, tanpa adanya satupun tanda-tanda kehidupan dari sebuah ras yang menguasai bumi beserta isinya. Aku mencoba santai, mencoba tak memikirkan apapun yang berhubungan dengan kejadian ini. Aku mencoba menganalisa kejadian ini, mencoba membayangkan apa yang mungkin terjadi dan apa yang sedang kuhadapi.

Bila barangkali diluar sana kutemukan satu orang saja, aku akan sangat bahagia. Barangkali bila ia perempuan ras kami akan terselamatkan, toh itu menjadi kewajiban. Dengan kotor kubayangkan apabila ternyata seorang gadis cantiklah perempuan terakhir di dunia.

Lalu kusisihkan pikiran tersebut, ketika mengingat kembali tentang bagaimana aku berada disini.

Aku tak melakukan apapun secara spesifik, aku hanya tidur, tidur tanpa mimpi setelah malam pendek dimana aku mengantuk secara tak wajar pada pukul 8 malam. Apa mungkin hal tersebutlah yang menyebabkan aku masih berada disini? Itu terlalu sepele bila kupikirkan dan kuasumsikan bahwa aku masih berada disini bukan karena aku beruntung.

Aku masih berada disini karena aku sial, mungkin pada pukul setengah 9 malam tadi, ada sebuah berita yang mengabarkan dunia akan kiamat, atau dunia akan segera hancur karena kejadian tertentu. Jadi manusia harus mengevakuasikan dirinya ketempat lain selain bumi. Lalu dimanakah tempat lain tersebut? Luar angkasa kah? Dimensi lain kah?

Atau terjadi epidemi luar biasa dimana manusia terjangkit virus mematikan yang membuat mereka mati-lenyap menjadi embun?

Atau alien menginvasi bumi di malam ketika aku tidur dan tentunya tanpa sepengetahuanku, lalu ketika dataku di proses, mereka membacaku sebagai seekor sapi dan bukan manusia sehingga aku tak dibawa pergi?

Tidak, itu terlalu fiktif, bahkan terlalu bodoh.

Well, bila aku satu-satunya manusia di bumi, itu juga berarti akulah satu-satunya orang yang menguasai bumi.
Itu hal positif yang pertama kali kukatakan.

Dan itu juga berarti satu hal yang pasti.

Aku bebas.

Suara kaca pecah mengiringi pendobrakanku yang sukses kedalam supermarket, aku mencoba bahagia, seperti seorang anak kecil yang kedapatan satu truk permen, kuangkat tanganku beserta kampak darurat yang kudapatkan didekat alarm kebakaran, akan jadi senjata yang ampuh bila kutemukan alien sungguhan atau barangkali makhluk dimensi lain.Ketika berada didalam supermarket dan menyadari semua yang berada disini adalah milikku. Aku luar biasa kegirangan.

Dengan gesit kuambil tiga troli dari tempat parkirnya, dan kuseret kemana-mana satu demi satu hingga mereka dipenuhi makanan. Sebuah produk rata-rata memiliki batas kadarluarsa beberapa bulan kedepan, namun banyak lainnya yang punya waktu yang sangat lama. Tapi aku tak pilih-pilih, kuambil yang sekiranya mencolok dan enak, mulai dari Ham mentah hingga keripik kentang yang menguarkan wangi surga daging ketika bungkusnya dibuka.

Berlaku juga untuk berkaleng-kaleng minuman. Dan ini adalah satu dari belasan supermarket di Distrik pembelanjaan.

Kuhampiri kembali toko elektronik yang pagi tadi kulewati, kurenggut semuanya, entah itu *SP, P*3, XBO*, *II, sesuatu yang diakhiri Vita, semuanya, segalanya! Dan semua kaset yang ada disana, aku tak peduli apa genrenya, semuanya kumasukan kesalah satu troli bersama alat elektronik lain.

Televisi hanya akan membuatku kehabisan tempat dalam troli, lagipula TV layar datar dirumah sudah menjanjikan, ketika itu kujumpai seperangkat komputer disebuah toko elektronik yang lebih besar dari yang kumasuki sebelumnya, mereka punya lambang semacam alien. Menarik, besok siang aku akan kembali disini, jadi jangan pergi kemana-mana dulu.

Ucapku, pada seperangkat komputer.

Aku mendorong tiga troli dengan membuatnya berbaris, butuh tenaga ekstra, namun bila tak dipikirkan takkan terasa lelahnya.

Sejam yang lalu ketika aku mulai menjarah, aku mencoba melupakan bahwa aku sendiri. Aku mencoba berpikir positif, aku mencoba mengatasinya. Namun fakta takkan pernah berubah, selamanya aku akan berada disini sendirian, diatas bumi yang ditinggalkan. Lalu mati suatu hari nanti.

Beberapa hari berlalu begitu saja.

Aku membuatnya dari papan-papan besar yang mampu kutemukan, lalu memakunya disana bersama dengan papan lain, dengan cat kutuliskan “Aku ada disini”.

Aku juga sudah mengecet ulang semua papan reklame besar didalam kota, menunjukan arah kerumahku, hingga suatu hari nanti ‘barangkali’ seseorang melewatinya.

Setiap hari ke supermarket yang berbeda, kukendarai sepeda motor apabila aku perlu pergi ketempat yang lebih jauh, kucoba belajar menyetir mobil dengan menghancurkan beberapa mobil kosong disana yang tidak kehabisan bensin. Aku idiot ketika belum menyadarinya, karena mobil-mobil tersebut ditinggalkan dalam keadaan menyala, banyak dari mereka yang kehabisan bensin hingga 3 hari pertama.

Aku mungkin bisa saja hidup beberapa bulan kedepan, hingga seseorang menemukanku.

Satu tahun berlalu.

Sering sekali kujumpai beberapa produk makanan yang sudah basi, bila barangkali tak berubah bentuk atau warna, aku tak keberatan memakannya dengan bayaran sedikit sakit perut. Mau bagaimana lagi? Aku sudah tidak makan dua hari ini.

Aku sudah menjelajahi beberapa kota terdekat, menjarah apapun yang masih ada, namun rasanya percuma.
Kuharap waktu tak berjalan sebagaimana seluruh jam didunia yang tak pernah berdetik lagi, namun harapan itu kupastikan kosong. Aku masih belum tahu mengapa jam-jam itu berhenti, bukan hanya di rumahku atau di kotaku, semua jam berhenti didunia tanpa terkecuali.

Setengah bulan berikutnya.

Selamat tinggal dunia. Ucapku pada diri sendiri.

Aku meringkuk kedinginan dipojok rumah, biasanya bila tidak sedang mencari makan aku menghabiskan waktu untuk bermain game, toh ada belasan konsol berbeda disini. Namun sekarang sudah berakhir, bahkan bola lampu takkan menyala lagi, listrik sudah tidak mengalir di bumi. Begitu juga semangatku untuk hidup sekitar 3 hari yang lalu. Yang bisa kulakukan hanyalah duduk dipojokan, membiarkan rasa lapar dan haus membunuhku.

Aku sudah tidak menemukan makanan yang bisa kumakan di supermarket. Berburu hewan beberapa kali kulakukan dalam beberapa minggu, entah itu anjing kelaparan atau tikus kurus, semua yang kutemukan akan kulahap, hingga sudah tak kutemukan mereka lagi dalam beberapa minggu terakhir. Aku tak bisa mengingat berapa hari aku tak makan apapun. Dan juga kuharap aku mati satu jam kedepan.

Mati, aku ingin mati.

DOK DOK DOK

Mataku terarah menuju pintu ketika suara itu terdengar, seorang manusia terakhir diatas bumi baru saja mendengar sebuah ketukan keras pada pintu rumahnya. Tapi itu tidak mungkin, pernah kuhadapi hal-hal semacam ini, seperti waktu kukira seseorang mengetuk jendelaku padahal ranting pohon, atau air yang menetes pada sebilah kayu ditambah sebuah gaung dan menjadi suara ketuk yang sempurna.

DOK DOK DOK

Suara ketukan ini lebih keras, tidak berirama seakan sebuah tangan dengan terburu-buru yang melakukannya. Aku tak pernah tahu lebih pasti bila tak mengeceknya. Ya, aku takkan pernah tahu. Lalu ketika aku berada disana, aku akan dikejutkan oleh sebuah tipuan alam lainnya yang terdengar seperti ketukan pintu.

DOK DOK DOK

Itu bukan manusia, aku ini manusia terakhir yang hidup di bumi. Sudah kubuktikan dengan berkeliling negeri ini ketika setengah tahun sendirian. Jujur saja aku tak pernah tahan keadaan itu namun aku tak bisa melakukan apapun lagi, aku sudah berusaha sekuat yang kubisa untuk tetap—

DOK DOK DOK

Itu manusia! Itu manusia yang juga hidup selama satu tahun ini, aku akan menghampirinya, akan kubuka pintu itu lalu terjun kearahnya, aku akan menciuminya, memeluknya, apapun untuknya walaupun dia bukan perempuan sekalipun. 

Aku tak mau sendirian. Aku tak mau sendirian lagi.

Aku ingin hidup.

Dengan sekuat tenaga aku mencoba berdiri, membawa kampakku yang tak pernah memercikan darah selain darah hewan, aku mungkin tak yakin dia manusia sekarang, semua sudah kupikirkan kembali, aku tak pernah melihat manusia sekelebatpun atau menyadari tanda-tanda kehidupan selama tinggal disini. Bisa saja dialah alien yang menginvasi bumi, atau makhluk dimensi lain yang mencoba menjarah dimensi ini.

Aku akan membunuhnya.

Tapi aku tak pernah sampai, kurasakan cahaya semakin dekat, dari atas langit, dari bawah tanah, cahaya bermunculan. Kematianpun mendekat.

Aku akan mati, kematian akan menjemputku.

Aku harus melihatnya, agar membuktikan aku ini bukan manusia terakhir.

Tapi dia bisa saja bukan manusia.

Lalu bagaimana bila bukan? Ayunkan kampak?

Kurasa cukup simple juga.

DOK DOK DOK

Langkah demi langkah kuambil, aku sudah tak kuat berjalan bila tak ada gedoran pintu itu.

Kau ingin hidup. Kau tak mau menyerah begitu saja.

Ayunkan kampak! Dia bukan manusia.

Dia manusia, aku bisa yakin itu.

Percuma saja, kau takkan pernah sampai pintu itu, kematian berbisik.

Aku akan menjemputmu disini.

Sudah kubilang dia bukan manusia! Buka pintunya, bunuh dia.

Kalian akan hidup bahagia selamanya, lalu mencari manusia yang selamat lainnya atau menyelamatkan ras dari kepunahan bila dia perempuan.

DOK DOK DOK

Dia alien! Dia monster dimensi 12! Kampakmu mematikan! Bunuh!
5:59 pm Diposkan oleh Unknown 4

Friday, 20 September 2013

Ursanodum


Cerita ini terjadi, benar-benar terjadi. Namun tak ada seorangpun yang tahu dimana, siapakah mereka, atau apakah yang terjadi setelahnya.

Rayre si hantaman petir melompat turun, seperti langit sendiri tunduk kepadanya, petirpun menyambar sembari palu perak magis miliknya menghantam tanah. Ledakan petir tersebut membuat sepetak lahan ditengah hutan ini menjadi lubang besar yang hancur, gempa kecil sempat terjadi sesaat setelah cahaya biru menyilaukan turun dari langit, orang yang pertama kali menyebut Rayre sebagai sang Penghacur rupanya tidak bercanda.

Datang tanpa diundang, meleburkan tanah selebar beberapa meter dan membuat lawan maupun kawan berhamburan pergi. Ditengah lubang retakan besar yang dibuat palunya, Rayre berdiri sambil memamerkan senyumnya.

Rupanya para beruang itu tak mau kalah pamer, disisi lain, sekitar 10 meter dari tempatku berdiri, sang Ursa-Shieldum legendaris yang berdiri dengan kaki belakangnya dan memegang perisai sebesar pintu rumah. Aura pertahanan membuatnya dan seekor lainnya tak tersentuh sedikitpun, bahkan tanah disekitarnya juga tidak retak sama sekali, malah membuat pola melengkung aneh panjang seakan-akan tadinya ada pelindung super kuat yang mampu menangkis hantaman Rayre. Ia juga membawa sebilah pisau yang digenggam erat oleh lengan beruang yang kekar itu.

Ursa lain yang dilindungi Shieldum, Ursa-Axetum, bergerak lebih cepat daripada yang bisa manusia duga. Sekalipun ia setinggi 9 kaki, berpakaian besi yang tampak berat, membawa kampak raksasa yang sudah pasti tidak akan bisa diangkat manusia, ia berlari kesamping lalu menyerbu kearah Rayre ditengah retakan. Retakan yang turun membantunya meluncur dengan berat badan juga baju zirahnya, alhasil, sebuah peluru besar haus darah meluncur dengan kecepatan tinggi.

Kampaknya sudah setengah terayun menuju leher Rayre sebelum dia bisa menghindar, untunglah ada manusia lain disana yang menerjang sang Axeltum dengan sebuah hantaman perisai, Redric datang menyelamatkan, gadanya berkilauan mengisyaratkan ia punya kekuatan sihir yang berlebih.

Ketika sang Axeltum terlontar menjauh, para Ursa dan manusia yang tadinya tercengang akibat petir Rayre mulai memasuki retakan luas dan menurun itu.

Menyadari Axeltum yang sedang tersungkur Rayre melompat, petir bercicit dibalik palu perak besar itu, hantaman yang bisa saja membunuh Axeltum dengan sekali ayun telah ia buat. Redric ikut berlari dibelakangnya, gadanya juga bersihir, tatapannya terkunci pada Axeltum yang telah bangkit dan hanya menunggu sambil tersenyum ala beruang, mengetahui ada yang aneh Redric memustuskan untuk waspada. Sang Shieldum legendaris menggandakan kekuatan pertahanannya. Sebuah dinding tak kasat mata membuat Rayre terhempas karena dihalangi sesuatu dijalan, listrik yang ada di palu peraknya lenyap sembari ia jatuh. Sebelum ia sempat kesal, Ursa lain melompat dari samping, seekor Ursa-Berskum, mereka yang bercakar merah sepanjang 40 cm, berniat mencabik Rayre sebelum kepalanya dihantam oleh gada Redric, cahaya putih terpancar ketika gada itu membuat sang Berskum menatap tanah. Redric tak berhenti sampai disitu, ia menghantam tangan sang beruang, yang dua kali lipat lebih besar dibanding tangannya, menggunakan perisai dan membuat si Berskum terlontar kebelakang beberapa meter, Redric melompat keatas Berskum, gadanya bersinar kembali berniat menghantam kepala Ursa tersebut namun gagal karena sang Ursa sendiri menghempas Redric dengan kekuatan tangannya.

Aku mengangkat tongkatku, melihat Shieldum legendaris dengan kekuatan magis itu mulai mendekat ditempat dimana teman-temanku berada dan Axeltum yang mulai mengayunkan kampaknya dengan buas kearah Rayre. Rayre hanya bisa menghindar, sementara pisau-pisau magis berterbangan dari tebasan-tebasan pedang sang Shieldum. Ia menguasai sihir layaknya manusia namun tak mampu bicara. Rayre mundur sejauh mungkin dari jangkauan dua Ursa itu, Redric kesulitan mengatasi cakar-cakar besar Berskum mengikis perisainya. Ursa-Howlum tiba-tiba berada dihadapanku.

Sementara ia mengambil ancang-ancang dan nafas, aku memantrakan perlindungan fisik paling kuat. Raungan Ursa bukan sihir, mereka tenaga dalam juga kekuatan. Howlum dan Shieldum jelas jenis yang berbahaya bukan main.

Angin ribut berbentuk corong keluar dari mulutnya, kekuatan dan daya hancur yang membuat angin memiliki bentuk seperti itu. Tanah terkelupas, daun-daun pergi melayang jauh, bahkan pohon ikut terbang, aku masih bisa berdiri dengan perlahan mengedipkan mata karena angin sedikit demi sedikit mampu menembus perisai ini, retakan yang tadi Rayre buat dihiasi sebuah bentuk corong unik yang lebih hancur dibanding lainnya, perisai super kuat ini bisa saja ia tembus bila ia lakukan ini sekali lagi.

Raungan tadi membuat Redric dan tiga ursa lain berhenti bergerak untuk menutup telinga, suaranya bisa membuatmu tuli, telingamu akan hancur bila diserang langsung, dan itulah yang akan terjadi padaku apabila aku bukan penyihir. Aku dengan mudah mampu membuat pelindung.

Tapi tidak Rayre, dia memang cukup jauh dari tempat dimana aku berdiri saat ini, ia mengambil kesempatan dengan bayaran dirinya akan mengalami ketulian sementara.
Rayre adalah sang hantaman petir, dirinya adalah sang petir itu sendiri, penguasa langit tunduk kepadanya. Dengan gerakan singkat ia menghantam kepala sang Axeltum diiringi petir menyambar dari langit, kekuatan ini tak sekuat pertama karena ia telah menyia-nyiakannya dengan hal yang tidak berguna seperti pamer. Namun tetap saja Axeltum lenyap menjadi abu setelah cahaya biru yang menyilaukan menghantamnya bersama sebuah palu perak.

Melihat temannya yang lenyap dibalik hujan debu dan abu, Shieldum meraung kesal, Rayre masih tersenyum ketika angin menghebuskan abu bekas tubuh Axeltum melalui sela-sela baju zirah ringannya. Shieldum kehilangan tampang santai dan dewasa miliknya sebagai seekor beruang, zirah berat yang menempel padanya menghalangi dirinya untuk berlari, namun pedangnya dapat berkelana sejauh angin berhembus.

Sebelum aku sempat mengucap mantra, sang Howlum berlari mendekat dengan keempat kakinya, ia tidak bersenjata atau bercakar merah, namun ia tetap akan menyerangku dengan insting buas seekor beruang.  Aku mengeluarkan Blue Sphere, sebuah bola kekuatan sihir murni, efektif, namun tak membuang banyak tenaga. Bola biru itu meluncur dari tanganku dan terbang dengan cepat kearah Howlum, meledak ketika bertubrukan dengannya, namun dari balik asap biru ia tetap berlari seakan tak ada yang terjadi.
Aku terkesiap, melihat sihir tak bekerja padanya aku sudah mulai ketakutan. Kurapalkan mantra lain yang lebih efektif, kuciptakan gelombang api yang dengan cepat melayang kearahnya.

Bulu-bulu sang Howlum tak hangus sedikitpun setelah disulut api yang cukup untuk membakar satu tubuh manusia dan akupun untungnya masih sempat untuk merapal mantra teleportasi.

Karena rahan penuh gigi tajam dan kuku pencabik hanya 5 cm dari tempat kuberdiri barusan.

Redric menghadapi sebuah serangan keras dari kanan, dan membuat suara aneh para perisainya ketika cakar merah itu tertancap disana, sang Berskum kesakitan ketika cakar kanannya hancur, ia bahkan sempat mundur beberapa langkah  dan menatap Redric yang tersenyum puas karena rencananya berhasil. Ia menggabungkan sihir dengan logam terkuat pantas saja bila perisainya tak mungkin ditembus. 

Redric hanya mampu merapal mantra penguat dan beberapa sihir dengan cahaya, namun ia yang terbaik dikelasnya.

Aku muncul didekat sana, bersamaan dengan lirikan Redric dan tanda bahwa ia mengerti aku merapal matra dan membuat pentacle dibawah kaki sang Berskum. Redric menghantamkan perisainya ketubuh Ursa tersebut, membuatnya kehilangan keseimbangan dan menghantam kepalanya lagi.

Ketika aku nyaris berhasil menyelesaikan mantra, aku melompat mundur sambil memasang perisai perlindungan fisik, semua karena sang Howlum menyerbu masuk pertempuran sambil mengambil  ancang-ancang akan berteriak.

Pentacle setengah jadi itu seharusnya akan membakar sang Berskum secara penuh, tentu saja, api neraka adalah api paling panas dan paling kuat dialam semesta. Andai saja terselesaikan Berskum hanya tinggal kenangan.

Namun ternyata aku salah melindungi diriku sendiri, segera saja sang Berskum mengelak dari tempat dimana ia berdiri, karena raungan Howlum yang kukira terarahkan padaku ternyata bertumpuan pada Redric. Aku tak mampu berbuat apa-apa dalam 0.5 detik, bahkan butuh waktu lebih lama dari itu untuk mantra sederhana. Perisai sihirku terpakai sia-sia karena Redric-lah yang menjadi korbannya, dia tercabik oleh angin mengerikan yang membuat kulit-kulitnya robek dibeberapa bagian, Redric melotot sementara darah segar menuruni telinganya. Lalu ia tersungkur tak bernyawa.

Aku mencoba mengambil kesempatan, karena takkan kubiarkan kematian temanku menjadi sia-sia, aku akan lupakan soal menghemat tenaga dengan alasan aku bisa saja mati disini bila tak kukerahkan seluruh kekuatanku. Pentacle dibuat dengan kalimat-kalimat sihir, dan bisa diubah sesuai dengan kemampuanmu. Pentacle pilar api yang gagal kubuat barusan bisa menjadi sumbu ledakan terbesar. Aku tak peduli bila ini akan mengikis nyawaku dan akal sehatku.

Tapi Berskum tak pernah tinggal diam, begitu aku sadar ia sudah berada dibelakangku dengan cakar kirinya yang masih utuh terayun, elakanku sedikit sia-sia dengan sebuah luka yang menyucurkan darah. Aku hanya bisa kabur sambil terus menjampikan mantra-mantra, Pentacle semakin tumbuh besar dan meluas, simbol-simbol aneh mulai menutupi gambar bintang ditengahnya, bercahaya merah api karena mantra api-lah yang sedang kubuat, dan tak berhenti sebelum melampaui seluruh lapangan ini.

Howlumtak bisa berteriak terus menerus, tapi ia berhasil mengendap-endap ditengah pertarungan antara Shieldum dan Rayre yang berlangsung sengit.

Rayre kehabisan tenaga petirnya, palu tersebut juga tak mampu menembus baju zirah dengan logam kuat milik Shieldum. Perisainya yang sebesar pintu rumah juga ikut menghantam udara bila Rayre berhasil mengelak. Pedang Shieldum tak banyak membantu, mungkin karena besar tubuhnya yang ditambah zirah berat sehingga ia tak bertujuan menambah kelincahan.

Rayre menggengam palu perak besar itu dengan kedua tangan, berharap kekuatan muncul kembali. Sementara disampingnya baru saja berteleportasi, seorang penyihir yang kesakitan, yakni diriku.

Barangkali aku bisa saja kabur sekarang juga,tapi ini kesempatan kami untuk menghabisi Shieldum legendaris itu bahkan sebelum perang dimulai. Karena dia bisa saja membuat ratusan orang lainnya mati. Belum lagi Howlum yang punya kekuatan yang sama dengan Resistum, memblokir sihir.

Aku masih membisikan mantra sementara Pentacle semakin membesar diatas tanah, ketiga Ursa yang tersisa nampak tersenyum dibalik moncong mereka, menyadari kami tersudut, sang Howlum berniat meraung kembali.

Tapi Pentaclenya belum cukup luas untuk sampai disini, ini adalah lingkar terluar dari tengah lapangan, dan aku membuat sumbu Pentacle ditengah sana. Tanpa perlu kuberitahu tentang itu, Rayre kembali menerjang. Palu peraknya tak berpetir, namun kali ini berkilau diterangi matahari. Dan manusia itupun tanpa sadar sedang menyerang tiga ekor Ursa sendirian.

Shieldum menyihir pisau-pisau udara lainnya, dengan mudah Rayre hindari, Berskum memang cepat, namun ia tak sekuat Rayre. Ketika Berskum mencoba menyerangnya dengan tangan kanan, ia malah membuat dirinya tersungkur saking kuatnya ia mengayunkan lengan dan semua karena ia lupa tak ada lagi kuku disana yang bisa mengenai Rayre yang melesat.

Target Rayre tak lain adalah sang Howlum, yang baru saja membuka mulutnya. Rupanya Rarye telat.

Sang hantaman petir hanya tinggal sejengkal lagi dari sang Howlum, namun apa daya, raungan kematian itu dilepas lagi,  selama beberapa detik aku bisa melihat Rarye melayang didepan moncong sang Ursa, melayang karena gelombang suara dan udara yang nyaris memiliki wujud, akupun tak sempat berbuat apa-apa lagi selain merapal mantra yang membesarkan pentacle, merasa menyesal ketika melihat tubuh Rayre tercabik-cabik oleh angin dan suara mematikan itu, akupun akhirnya melinangkan air mata pertama.
Aku tak mungkin menyia-nyiakan kesempatan ini, sembari Berskum mulai berlari mendekat, atau Shieldum mengayunkan pedang untuk menciptakan pisau anginya.
Pentacle ku berhasil dibuat.

Dengan setengah kehidupan yang kupunya, aku akan membiarkan lahan ini membara bersama dengan abu kawan-kawan seperjuangan.

Aku tak peduli apakah harus setan yang menjemputku suatu hari nanti ataukah setan yang mengaku malaikat. Aku tak takut lagi akan kematian.

Sambil diiringi sebuah pemindahan dimensi secara paksa, dari dalam Pentacle menyembur api-api neraka tercinta.

Dan pentacle yang kumaksud sekarang ini berdiameter satu lapangan dimana kami bertarung semenjak tadi. Api menyembur keatas, menciptakan sebuah pusaran yang membakar makhluk apapun diatasnya.

Tak ada yang kulihat selain warna merah tanpa ujung, gemuruh api yang menjilati seisi hutan, membakar segala yang ada. Api merajalela, seperti badai besar namun apilah yang berputar tanpa henti.

Kuangkat tongkatku lebih tinggi, api semakin panas, semakin kuat berputar, membakar segala yang ada diatas pentacle kecuali sang pemanggilnya.

Lalu perlahan menghilang, diiringi hujan abu dari kayu-kayu dan rumput yang telah dibakarnya, seperti salju, turun dari langit, namun mereka tak indah sama sekali.

Hatiku luar biasa mencelos, api neraka barusan, sihir yang akan membuatku merasakan panasnya neraka suatu hari nanti, api yang masih terus meluas dan membakar hutan ini, api yang bisa saja menghabisi sepuluh batalion dalam sekejab dan tanpa sisa.

Tak membakar bulu mereka sedikitpun.

Mereka terdiam, terlihat mengejek, bayangkan saja ketika beruang belajar untuk tersenyum. Mereka bahkan tidak kehilangan baju zirah sama sekali, setidaknya besi lumer, namun apa yang kulihat ini benar-benar diluar harapan.

Nampaknya bukan sang Howlum saja yang tak bisa terkena sihir, ini pasti pengaruh perlindungan Shieldum, yang ia berikan kepada kawanannya. Ia takkan dipanggil legendaris bila tak mampu menahan banyak sihir seperti ini.

Dan mereka bertiga tak terluka sama sekali. Barangkali aku mengerti sekarang, ketika Shieldum berteriak kesal pada saat Axeltum mati, itulah saat dimana ia memanggil sihirnya yang terkuat, perlindungan semacam ini.


Tiga bilah kuku tajam berwarna merah menusuk jantungku. Kurasakan nafas hangat dari sela-sela taring besar Berskum sebagai sensasi terakhir.

Lalu kegelapan.
6:09 pm Diposkan oleh Unknown 0

Saturday, 14 September 2013

Kisah Holografi Satelit Dyne




“Baiklah Mina, sekarang cari sebuah jendela yang bisa dibuka, atau setidaknya carikan aku ventilasi”

Mina membukakan jendela tanpa banyak tanya, mungkin dia mengerti mengapa aku harus lakukan hal itu. Dari layar [RHEA] aku dapat tersambung ke Host utama milik [DIONE].

“[DIONE] adalah Nanosized Projector, sebuah proyektor yang berukuran sangat kecil. Sedikit lebih besar dari debu pada ukuran rata-rata, dan dalam jumlah yang sangat banyak sehingga mampu menciptakan gambar sebesar apapun”

12:23 am Diposkan oleh Unknown 0

Thursday, 5 September 2013

Bunga itu tumbuh ketika bunga lain gugur





Tidak semua perang dapat dimenangkan. Ketika kekalahan terjadi, kau jelas harus mundur dan bukannya membiarkan pejuang yang tersisa dibantai oleh jumlah yang tak sepadan.

Itu cukup simple, bahkan petarung yang baru 9 kali memegang pedang pun tahu itu.Bila Jendral beserta ahli strategi sudah berkata demikian, tak ada satupun Ksatria yang membantah.

Jelas, tak ada orang waras didunia ini yang mau mati.


Hari ini kami mengalami kekalahan yang luar biasa. Sekitar 1200 dari 7000 orang mati sia-sia tanpa dapat merebut teritori seinci pun.


5:27 pm Diposkan oleh Unknown 2

Tuesday, 20 August 2013

Kisah sang Bulan


Seketika bulan naik ke angkasa, ia bulat, bersinar ditengah gelapnya angkasa tanpa bintang dan harapan. 

Sekalipun wujud buruknya, permukaannya yang tampak seperti lubang-lubang, nyata dan benar-benar ada, takkan pernah hal ini membuat kami tak takjub melihatnya. Cahaya bulan terlihat keemasan bila dilihat dari sini. Entah mengapa hal itu terjadi, tetapi jelas, berada di depan lubang sebesar bola mata pada dinding tebal tempat kami terkurung hanya untuk mengintip kearah langit yang luas termasuk tindakan bodoh, namun itu terjadi bukan karena kami punya pilihan.

Malam sudah turun bersama kegelapan, bulan pun datang pada akhirnya, mengusir kegelapan pergi dari langit. Menyinari kami semua.

Pilihan kami tak terlalu banyak. Untuk melihat dunia luar dengan jelas adalah larangan bagi kami. Sudah belasan tahun bagi beberapa orang disini dan lima tahun bagiku. Dan jelas-jelas tak mungkin kami diberi kenyamanan, terlihat dari perut kami yang keroncongan dan tulang rusuk kami yang semakin jelas terlihat, karena Mereka hanya memberi kami makan agar kami tetap hidup, lalu meyakiti kami lagi setelahnya. Kulit kami pucat dan terkadang berbeda dari kulit manusia, hal yang sama terjadi pada kebebasan kami yang terikat pada sebuah bola besi dan cincin baja yang melingkar di kaki kami. Seutas rantai baja menyambungkannya dengan kuat. Kami hidup terpisah satu sama lain, dipisahkan antar sel khusus yang dibuat hanya untuk kami.

Dunia terkadang mengerikan. Namun tak seorangpun yang tahu bila tempat ini adalah sumbernya.

Sel ini, mungkin aku terlalu beruntung ditempatkan disini. Tempat ini tak separah yang lainnya. Aku nyaris yakin ada sekitar sembilan belas sel di ruangan besar ini. Lima diantaranya berada di tengah, dilapisi dengan dinding tambahan, lalu belasan lainnya berbatasan langsung dengan dunia luar karena berada dipinggiran. Dan sel dimana diriku berada adalah salah satunya, tempat ini tidak separah lima sel yang berada ditengah, aku punya meja dan kursi setidaknya, rantai yang mengikat hanyalah bola besi dan cincin baja, dan ventilasi lumayan besar yang dibatasi jeruji besi yang sama yang mengurungku. Aneh bukan bila mengurung seorang gadis dengan tangan terluka disebuah neraka semacam ini? Ya, tentunya karena aku bukan gadis biasa.

Aku bukanlah manusia lagi setelah Mereka melakukan hal yang tidak pernah kumengerti sedikitpun kepadaku. Mereka mengurungku disini hanya karena tangan kiriku sudah gosong dan kehilangan jari-jarinya, dan tak sedikitpun dapat kurasakan seperti sebuah cacat dari penyakit. Namun tanganku ini hilang bukan karena penyakit ataupun kecelakaan. Bukan juga karena niat jahat seorang pembunuh, ‘Mereka’ jauh lebih buruk dibandingkan itu. Mereka selalu butuh bahan percobaan untuk dipelajari.

Bila saja malam itu aku tak menolong sang lelaki bulan mungkin aku takkan berakhir di tempat ini. Aku adalah monster, itu yang kupelajari setelah membakar habis desaku sendiri bersamaan dengan tangan kiriku. Dan alasanku menjadi monster bukan karena aku memilihnya. Atau bukan karena kekuatanku semenjak kecil, aku ini sebenarnya gadis biasa.

Andai saja ketika itu aku bisa memilih. Andai saja bukan karena rasa indah yang muncul begitu saja dan membutakanku seketika. Andai saja tak kuraih tangan pucat si lelaki bulan di malam gelap itu dan membawanya pulang. Andai saja malam itu bulan yang sebenarnya muncul dan bukannya digantikan oleh seorang pemuda dibawah pohon Ek. Mungkin aku takkan berada disini sekarang.

Ketika angin malam bertiup melalui celah di dinding, ia dengan baik hati membawa kesegaran ditengah sebuah neraka dan aroma lembab hutan yang kurindukan. Membawaku kepada masa lalu yang nampaknya tertimbun dibalik gulungan daging panjang menjijikan yang tak lagi bereaksi dengan cepat terhadap apapun perintahku kecuali ketika aku ingin berteriak. Dahulu ia dipanggil otak dan fungsinya untuk berpikir. Ia dengan baik hati masih melindungi sisa-sisa ingatanku ketika aku masih manusia dulu sekalipun ia disetrum setiap aku dipanggil keluar sel. Lalu mereka semua menyeruak, memaksa otak untuk memuntahkan segala yang bisa diingatnya.

Padahal dahulu aku tak pernah tahu atau ingin tahu dimana keberadaan desa ini sebenarnya. Sekarang aku merasakan akibatnya, tak pernah diriku tahu mengapa dunia itu bulat atau mengapa air bisa beriak dan menumbuhkan gelembung. Aku tak pernah cerdas. Aku tak mau sekolah sekalipun ayah dan ibu mampu membayarnya. Dan kubiarkan adik laki-lakiku sekolah di desa timur yang mulai mirip kota. Yang kutahu hanyalah cara menjadi perempuan yang patuh dan bisa melakukan banyak hal sebagai calon Ibu. Seperti ibuku dan nenekku. Dan akupun nantinya akan siap melayani segala perintah sang Ayah dari anakku. Namun sebelum itu, aku harus tumbuh terlebih dahulu. Disanalah masalah yang selalu kuhadapi. Aku bukan perempuan yang mencoba menjadi wanita, malah aku selalu ingin kembali menjadi gadis lagi.

Ayah bilang aku nyaris tak anggun, terlalu banyak tertawa dan tersenyum terhadap sesuatu yang biasa walaupun banyak orang bilang mereka suka menyaksikan senyumku yang hangat. Aku juga lincah, mungkin karena semenjak kecil lebih sering menghabiskan waktu bersama para laki-laki dan permainan bodoh mereka. Dan tak sedikit mereka yang tadinya temanku mencoba memenangkan hatiku ini.

Ketika mengusap mata malam itu, dibawah sebuah saung diatas sawah warga, aku mendapati diriku telah tertidur dengan kendi kosong disampingku. Sekalipun langit sudah gelap, ayah hanya akan menamparku bila kembali kerumah tanpa membawa air, jadi aku berjalan menyelusuri hutan yang gelap.

Lalu aku bertemu dengannya, dibawah sebuah pohon Oak yang rimbun dan teduh disiang hari namun mengerikan, gelap, dan lebat dimalam hari, tersungkur tak berdaya dengan kulit pucat sepucat jubah putih aneh yang tak pernah kulihat sebelumnya, menatapku dengan mata yang mengharapkan kematian lebih indah dan mengulurkan tangannya.

Lalu kutegaskan untuk mengulurkan tanganku.

Ayahku hanya melempar sedikit gelas besi yang meleset dan juga membanting sendok ketika aku tiba dirumah dengan seorang laki-laki misterius alih-alih sekendi penuh air. Malah kendi tersebut kutinggalkan dibawah pohon Oak. Tapi ibuku yang selalu baik hati menerimanya dan merawatnya.

Ia laki-laki secara pasti, ia tak mampu mengenali bahasa kami, dan hanya makan dan minum lalu tidur seharian hanya dengan beralaskan jubahnya dan diselimuti secarik kain yang kuyakin bahkan tidak menghangatkannya.

Aku iri dengan kulit putih pucatnya yang nampak cantik ketika disinari sinar bulan. Itu yang muncul dikepalaku ketika lelaki misterius itu muncul ditengah jalan di malam hari sepulang aku mengambil kendiku yang sekarang dipenuhi air. Kurasa sudah seminggu ia menumpang dirumah kami tanpa diketahui siapapun di desa, lalu sekarang yang ingin ia lakukan tak bisa kubayangkan sama sekali di kepalaku ini.

Sinar bulan menyinarinya, rambutnya panjang berwarna keemasan benar-benar melambangkan bahwa dia itu bulan sekaligus sinarnya, ia bergerak-gerik seakan mencoba berkomunikasi denganku yang kutahu itu mustahil, lalu ketika ia menunjuk pegunungan disana dengan kesal setengah mati, aku akhirnya mengetahui siapa ia sebenarnya.

Sudah menjadi buah bibir selama belasan bulan di desaku. Bahwa beberapa bangunan dari ‘manusia kota’ yang asing muncul di kaki gunung dan kami dilarang mendekatinya. Manusia kota selalu menjadi sosok mengerikan bagi kami, dan yang ada didepanku bisa dibilang mengerikan, atau cantik, barangkali lebih tepat terlalu cantik sehingga mengerikan. Sekalipun kutahu ia lelaki maskulin.

Lalu ia menunduk dengan aneh untuk berpamit dan mencoba berjalan kearah pegunungan. Bahkan petarung didesa kami yang kekar dan punya insting pemburu yang luar biasa belum tentu selamat bila harus berjalan dengan lunglai sehabis sembuh dari penyakit, tanpa senjata apapun, ditengah malam yang gelap, menembus hutan yang penuh dengan hewan buas, dan hanya bisa tampil cantik. Aku tahu jalan memutar yang tidak terlalu berbahaya milik para pedagang!. Seru hatiku sendiri ketika aku menyuruhnya berhenti dengan berteriak dan menunggu disini.

Aku berlari dengan cepat, hatiku berdebar-debar tak karuan, sosok lelaki cantik-pucat-tampan itu sudah terlalu sempurna bagi diriku yang terlalu biasa ini. Aku masuk kerumah dengan perlahan, menaruh kendi air ditempatnya, mengambil persediaan roti untuk seminggu dan sekendi kecil air dan berlari terburu-buru keluar.

Lelaki itu terkejut bukan main ketika aku menarik tangannya dan mengajaknya berlari bersama. Dengan senyum manis yang kuarahkan kepadanya, ia nampak kebingungan selama beberapa detik pertama, lalu membalas senyumku dengan ketampanan yang akan melelehkan ribuan gadis sekaligus tanpa mengurangi kekuatannya sedikitpun. Aku berlari bersamanya, melompati pagar desa kearah hutan, berjalan diantara pepohonan selama beberapa saat, lalu menemukan jalan para pedagang.

Ia nampak senang sama sepertiku, selama beberapa menit kami berjalan aku keheranan rasa hangat macam apa yang tumbuh diantara kami. Tangan kami yang saling terkait di jari satu sama lain menjadi saksinya, menjadi sumber utamanya barangkali. Sekalipun saling berbicara hanya akan membuang-buang waktu, dan gestur menjadi hal yang terkadang sia-sia. Mungkin banyak hal yang berbeda dalam bahasa kami, mungkin dalam bahasaku banyak sekali yang tak terdapat didalam bahasanya. Namun kami beruntung karena senyum selalu mencerminkan sebuah arti yang bahagia.

Dan dia kegirangan hingga lepas kendali ketika melihat sebuah mobil bak terbuka dengan alat aneh diatasnya. Seakan ia tahu benda aneh itu pasti sampai ketempat dimana ia seharusnya berada, dan tahulah aku bahwa aku mencium bau keanehan yang tak wajar pada orang ini. Ia melambai-lambai kepada mobil dan akhirnya binatang besi itu mendekat kearah kami dan jujur saja, jantungku nyaris copot ketika ia bersuara seperti dengkingan keras burung yang dipotong.

Aku tak pernah tahu berada disebuah mobil akan berguncang seperti ketika gunung selatan meletus. Pada awalnya aku mengira itu benar-benar terjadi lagi, namun ketika aku melihat lelaki bulan itu santai-santai saja dan si kusir mobil bahkan berkata-kata panjang kepadanya dengan logat aneh, aku memutuskan itulah yang terjadi ketika menaiki binatang milik manusia kota.
Dengan menaiki binatang ini, kami tiba lebih cepat dari dugaan kami. Untunglah begitu karena roti yang kusediakan tidak akan bertahan lama mengingat nafsu makan besar si lelaki bulan. Tetapi ia tampak malu-malu ketika memintanya padahal aku membawa roti ini hanya untuknya.

Lalu sebuah bangunan dari beton dan besi muncul dihadapan kami, si lelaki bulan tersenyum ketika menatapnya sebelum menatapku dengan penuh terima kasih. Lalu menarik tanganku sambil berjalan masuk sehingga terlalu panik bagiku. Memasuki gedung ini, aku hanya dapat merasakan kesedihan. Aku selalu dapat merasakan ketika roh dari mereka yang sudah tiada memperingati manusia, mereka kelewat baik, sebelum terjadi bencana gunung selatan mereka berusaha memberitahu kami. Dan ketika ada peperangan didekat sini mereka juga memperingati kami.

Pintu itu terbuka sendiri! Itu yang pertama muncul dikepalaku. Sebelum arwah seorang gadis muncul dan menyuruhku pergi. Mencoba pergi adalah yang kulakukan, tetapi ketika sang lelaki bulan keheranan dan kembali menatapku. Ia mungkin hanya mengira aku ketakutan. Lalu dengan indah tersenyum lagi dan membuatku tak bergerak sama sekali. Semakin kami memasuki gedung ini, melewati sebuah tangga berjalan mengerikan, disambut sebuah benda yang bisa berbicara dan si lelaki bulan berbicara kearahnya, semakin banyak arwah yang muncul hingga ada sekitar empat orang.

Tetapi digenggam lelaki bulan membuatku lupa segalanya, rasa hangat dari tangannya yang terus mengalir menuju tubuhku tak dapat kuhentikan. Akhirnya kami sampai disebuah ruang dimana seorang lelaki duduk dengan luwesnya diatas sebuah kursi dari kulit aneh berwarna hitam legam.

Kukira sudah beberapa menit terlewati ketika mereka saling menyapa, dan yang sekarang terjadi bukannya aneh lagi. Muncul ekspresi keras di wajah tampan lelaki bulan, dan ia menggerakan tangannya seakan menolak sesuatu. Lalu tiba-tiba ia berteriak kepada lelaki diatas kursi hitam dengan keras sehingga mungkin seluruh hutan dapat mendengarnya.

Lelaki diatas kursi tenang-tenang saja, ia dengan sombong mengangkat benda aneh yang diletakan diantara telinga dan mulutnya.

Dan seketika belasan arwah menyuruhku kabur secepat mungkin. Namun kurasa ini setinggi diatas pohon bila harus melompat dari jendela seperti yang dikatakan seorang arwah gadis kota. Kesedihan dari arwah meliputi tubuhku yang sekarang gemetaran karenanya. Rasa takut yang kurasakan semenjak menginjakan kaki di bangunan putih ini terwujudkan dengan sebaris penjaga-penjaga gedung yang mengacungkan senjatanya kepada lelaki bulan, dan salah seorangnya mengunci pergelangan tanganku dengan sesuatu dari besi.

Lelaki bulan mengamuk, berteriak sekeras mungkin menunjuk kearah lelaki diatas kursi hitam. Dan mulai mengayunkan sebuah kursi tempat ia duduk barusan dengan membabi buta sementara tubuhnya dibanting ketanah oleh seorang penjaga. Aku yang diseret keluar menatapnya kebingungan sementara ia nampak ingin menangis dengan wajah penuh menyesalan dan tangan yang menggapai kearahku seperti ketika kami pertama kali bertemu.

Sepanjang kami berjalan dilorong, aku melihat belasan arwah lain menangisi diriku, seakan sudah terlalu terlambat bagiku untuk melakukan apapun dan mereka menyesal akan itu. Hingga sampai disebuah ruang yang penuh dengan sel jeruji besi dan sesuatu yang menguarkan aura kesedihan.

Aku mengintip kearahnya, dan ya, ia adalah seorang manusia dengan sisik dan ekor ular, menunduk mengutuk siapapun yang berani menatapnya. Sel disampingnya lebih mengerikan. gadis bahkan tak punya mata lagi, hanya dua lubang kosong di kepalanya sedangkan empat pasang mata tumbuh di tangan dan kakinya.

Lalu aku dilempar kesebuah sel. Dan tak ada suara lain yang kudengar setelah sel dikunci. Nampaknya mereka sempat menusuk lenganku dengan sesuatu seperti pisau setipis jarum yang bisa mengeluarkan cairan tertentu sehingga aku tertidur.

Inilah yang terjadi ketika aku terbangun. Aku berada diatas sebuah papan miring diruangan tertentu yang baunya seperti obat tumpah dengan tangan dan kakiku diikat sekuat mungkin dan belasan orang mengerumuniku seakan aku ini sesuatu yang lezat. Aku menyadari kemudian, jubah mereka, mirip dengan yang dikenakan oleh lelaki bulan, putih bersih namun milik mereka penuh dengan bercak merah seperti darah.

Seperti darah.

Aku menyadari hidupku mungkin tak lama lagi akan berakhir, aku juga menyadari arwah-arwah mengerubungi tempat ini dengan penuh amarah, namun mereka tak mampu berbuat apapun diatas sana. Banyak dari mereka menatapku dengan sedih karena mereka tahu aku bisa melihat mereka, sebagaimana mereka melihatku dengan rasa maaf dan bersalah.

Namun para jubah putih tidak, mereka dengan mata dingin mengacuhkan suaraku yang penuh tanya, mereka mungkin tak mengerti apa yang kukatakan. Tapi aku benar-benar yakin bahwa kematian sudah dekat. Jadi aku tak bergerak dan membiarkan semua terjadi.

Aku dikejutkan oleh sengatan listrik, mereka melakukan itu entah untuk apa, lalu mereka terang-terangan membelah daging ditangan kiriku dan mengacuhkan teriakanku. Lalu meletakan sesuatu seperti batu yang berkilauan di dalam sayatan barusan dan membuat tubuhku rasanya seperti terbakar. Dan sebuah sayatan lagi di perut. Dengan rasa sakit yang tak bisa lagi kutahan, aku memejamkan mata dan akhirnya kegelapan menyelimuti.

Ketika diriku sadar, aku sedang berada dialun-alun desa.

Desa yang kurindukan.

Dimana aku tumbuh sebagai gadis baik yang sedikit pemalas dan tukang tidur.

Alun-alun kota dibanjiri api yang meraung, seperti telah diterjang badai api besar yang menelan segalanya. Saung-saung diatas sawah, lumbung-lumbung padi, rumah-rumah disekitarnya, seluruh desa kuyakini telah musnah. Tapi aku tak bergerak.

Rumahku diselimuti api, kendi-kendi air pecah, segala yang berada didalamnya barangkali sudah menjadi abu dan terbang kelangit bersama arwah-arwah penduduk desa yang malang. Tapi aku masih tak bergerak.
Aku melihat sosok-sosok diluar sana. Mereka terbakar dengan sematang mungkin hingga tak mampu berteriak lagi. Sekilas aku melihat ayah dan ibu diantara para mayat yang terbakar, namun aku tak yakin lagi ketika mereka menjadi abu dan tak mungkin lagi dikenali. Diam tak bergerak, didalam hatiku muncul sebuah firasat buruk. Firasat yang sangat buruk.

Ini perbuatanku.

Sementara aku menatap keatas langit yang kemerahan, tangan kiriku juga dibakar api yang sama, bedanya ia tak pernah terbakar habis sekalipun jari-jariku sudah tiada. Batu merah milik para jubah putih berkilau kemerahan dibalik dagingku yang terbakar dan gosong. Rasanya hangat. Mengacungkannya saja bisa mendatangkan semburan sejauh 10 meter.

Tetapi itu semua sudah sangat lama terjadi.

Sambil mencari tahu didalam hati apakah aku ini, aku menatap ke bulan yang sama yang kutatap setiap hari. Dari celah dinding dimana aku tak pernah gagal untuk mencarinya kembali.

Aku sudah mulai lupa banyak hal mulai dari wajah ibuku dan ayahku hingga kehangatan sang lelaki bulan. Aku sudah tak ingat seperti apa desaku yang kuyakini tak pernah ada di catatan manusia kota manapun. Dan soal diriku, arwah-arwah meninggalkanku, membenciku selama-lamanya. Aku seharusnya bagian dari mereka namun kurasa aku takkan menjadi mereka selama diriku berada disini dengan tangan yang membusuk dan tak bisa hancur. Batu merah itu masih disana, sekalipun tak berbentuk, ia berkilau kemerahan dan ketika amarahku muncul, ia akan memanas dan menyakitkan. Aku sudah tak punya harapan, aku tak punya masa depan yang indah dan bisa kuharapkan, masa kini yang hampa ditengah ruang sempit dengan meja dan kayu yang sudah gosong, dan bahkan masa lalu, mereka semua dilahap api kehancuran yang tak pernah kuinginkan.


Aku hanya punya satu impian indah yang kuharap muncul dimasa depan. Berharap sang bulan menyelamatkanku dari sini.
6:59 am Diposkan oleh Unknown 2