TOP NEWS

Tolong Tinggalkan Komentar yang Baik Sebagai Jejak Kedatangan Anda.

Tuesday, 6 August 2013

Mencari Surga dengan Sepasang Sayap

Kejadian ini berlangsung disebuah tempat jauh diluar angkasa. Menembus aliran waktu, karenanya ia tak pernah dicatat sebagai sejarah dari tempat manapun. Menghempas realitas sejauh mungkin seakan mereka tertandingi jauh dibawah dari yang mereka harapkan. Berdiri diatas kebimbangan antara dunia tidak waras dan abnormal tetapi menjadikan dirimu luar biasa spesial ketika berada disini.


Ini adalah kisah seorang temanku. Seorang sahabatku lebih tepatnya. Yang menempatkan kedua sayapnya diatas awan kemerahan, dengan langit sore yang membara dibelakangnya, ia benar-benar membuat semua orang berdecak kagum dan memuji sebisa mungkin selama ia melayang disana.

Oh, tentunya dia bukan pilot.

Maksudku, ia benar-benar terbang dengan tangannya sendiri.

Suatu sore yang indah, baru saja kulihat matahari kemerahan setengah terbenam dibalik cakrawala. Aku mendengar kepakan berirama konstan dan terdengar berat sehingga terkesan ada seekor burung raksasa yang melintas diatasmu.

Arus laut hanya maju-mundur seperti biasa, pohon-pohon kelapa bergoyang ketika angin melintas tanpa henti di pantai, dan seekor burung raksasa diantara kedua keajaiban Tuhan tersebut terlalu ajaib. Tentu saja itu bukan burung raksasa, itu jauh terlalu fiktif, dia hanya orang gila tertentu yang mencoba terbang. Jika suatu hari nanti aku menikah dan punya anak, aku takkan menamainya dengan nama konyol seperti Cakra Wala, karena aku punya firasat dia akan tumbuh abnormal dan bersayap seperti yang sebenarnya terjadi sekarang ini.

Oh, pertumbuhan mental abnormal maksudku. Dan jelas sayap tersebut buatan. Cakra yang sinting membuatnya dari berbilah-bilah lidi dan beberapa bongkah kayu. Dan menempelkan kertas, kain, dan plastik agar membuatnya membentang seperti sepasang sayap.

Tidak mungkin ia manusia bila punya sayap, bukan? 

Dan lebih tidak mungkin bila Cakra itu seorang malaikat.


Ia berteriak sambil melayang turun diatas pasir, meneriakan namaku sekeras mungkin ketika melakukannya. Menarik mata penduduk desa sambil lalu. Kenalan kami memang tertawa kecil ketika melihat kejadian itu, tetapi tidak para pendatang baru yang menusukku dengan pandangan dingin-kebingungan. Mereka sekarang barangkali sedang bertanya-tanya apakah ketidak warasan anak ini merupakan salahku atau barangkali aku berada di kondisi menyedihkan yang sama?

“Riki! Riki! Kau harus ikut denganku!”

“Oi, Cakra!”

Ia baru mengerti setelah melihatku menenteng belasan ikan dengan kedua tangan dan sebuah jaring di punggung. Dan kedatanganku dari dermaga desa bersama ayah yang sekarang baru tiba menyusulku setelah mengikat perahu. Ayahku bukan seseorang yang punya kesabaran luar biasa, atau lebih tepatnya ia tak punya kesabaran sama sekali, tetapi mungkin karena Cakra-lah yang kutemui hingga ia tak marah-marah bila aku berhenti dijalan. Ia tak pernah tenang sebelum ikan-ikan yang berharga ini tiba di pasar besok pagi. Dan aku yang tak-becus-melakukan-apapun ini mungkin tak terlalu becus juga untuk mengangkut ikan kerumah.
“Oh, Cakra rupanya, sudah selesai dengan pekerjaanmu sore ini?”

Cakra menjawab dengan senyum sebelum pamit dan berkata padaku untuk menemuinya setelah urusan ini di gudang kesayangannya. Lalu berlari pergi. Sayap dari kayu dan kertas kesayangannya melambai-lambai pergi dengan tatapan dari banyak orang mengiringinya. Mereka terbengong dan tak pernah tahu benda apa itu sebenarnya. Serius, lebih baik tak perlu tahu, kau akan menyesal bila terjebak di keadaan tersebut.

“Haaah, andai saja aku punya anak sejenius dia”

Oi, anakmu mendengar dengan jelas ditambah lagi belasan kilo ikan membebani tubuhnya, kau jelas mencari gara-gara.


“Oi, kau benar-benar lebih memilih pergi melaut?” tanyanya tanpa menatapku.

“Apa aku punya pilihan lain?”

“Jangan bicara dengan nada seperti itu pada Ayahmu! Nilaimu tinggi kan di sekolah?”

“Iya Ayah...”

“Lalu mengapa tak mencoba mencari kerja di Ibukota dan biarkan kedua kakakmu yang bodoh pergi memancing beberapa ikan untuk hari tua aku dan ibumu?”

“Justru aku harus melaut karena mereka berdua juga disana...”

Dan dua orang bodoh diatas kapal. Artinya kematian, karam, tenggelam, hancur.

“Yah, itu sih terserah kau. Tapi setidaknya kau punya kemungkinan sedikit lebih tinggi dibanding semua anak lain ditempat ini”

Aku hanya diam. Pembicaraan selesai.

Berbicara kepada seorang nelayan gila yang pergi melaut dipagi hari dan pulang disore hari bukan hal yang bisa kau selesaikan dengan mengoceh. Tentu saja itu mengakibatkan kami tak dapat mengembangkan layar karena angin yang berlawanan. Motor kecil perahu kami harus bekerja ekstra dan dibantu tenaga dayung seorang anak pintar beserta ayahnya yang gila.

Dimalam hari kedua kakakkulah yang melaut, bersama seorang relawan baik hati yang selalu menjaga mereka dari kebodohan, lalu dipagi hari setelah mereka kembali aku dan ayah yang ambil alih. Punya keluarga dengan empat orang anak memang menyulitkan, apalagi hidupmu dipantai dan kau harus terus menerus bekerja seperti ini. Bisa membuatmu gila, aku tak bohong.

Aku iri kepada Cakra yang menetap tinggal dirumah tukang kayu setelah seluruh keluarganya pergi, ia jenius yang bisa melihat ‘bayangan-bentuk’ dibalik sebilah kayu, membentuk pahatan tanpa desain dengan luar biasa baik, ia bahkan membuat sayapnya sendiri untuk terbang dari atas tebing dari kayu, lidi, dan kertas. Namun selain hal itu, dia hanyalah seonggok daging tak berotak.

Mungkin otakku terlalu kejam dalam memikirkan banyak hal, Lien juga bilang lidahku terlalu tajam dan penggerutuanku tak ada habisnya. Mungkin karena aku terlalu iri kepada segala yang ada disekitarku. Aku merasa benar telah mengatakannya, sembari otakku berputar dengan kejahatan muncul dari sana, Cakra melompat kembali dari atas tebing dan melayang diatas laut. Tak pernah kurang dari satu kali aku selalu berharap ia tercebur ke laut dan menghancurkan sayapnya, tetapi itu keterlaluan. Mengingat aku yang selalu dianggapnya seorang sahabat dan lagipula itu percuma, ia hanya akan membuat sayap lainnya.

Aku telah sampai di gudang, tempat ini dipenuhi segala peralatan aneh Cakra mulai dari relief dan pahatan yang tak dijual hingga sayap-sayap yang berjejer digantung disepanjang dinding, gudang ini punya pintu kembar yang besar, sehingga barang-barang aneh Cakra dapat masuk dengan mudah. Nampaknya pemiliknya sedang tenang merakit sesuatu yang gila lainnya, sementara begitu aku mendengar kertas yang digunting, lalu sebuah bingkai dari lidi dan kayu yang berbentuk seperti pesawat layang muncul dihadapanku, berada ditengah gudang Cakra dan nyaris memakan seluruh tempat. Dan ia besar.

Ini masalah. Ini jelas-jelas masalah besar.

“Hei, apa maksudnya ini?”

“Eh? Oh, kau disini juga akhirnya Riki!”

“Tunggu, tunggu, sebelum kau menyuruhku membantu, biar kutanyakan padamu. Apa yang ingin kau perbuat dengan benda ini?”

“Ini pesawat layang”

“Aku tahu itu! Lalu hal aneh apa yang akan kau perbuat dengan benda ini?”

 Aku akan terbang diatas langit diseluruh dunia. Aku ingin mengelilingi dunia dengannya...”

“Baiklah, ayo kita buang”

“Haaaah? T..tunggu, mau kau kemanakan dia!? Hei! Riki!” ucap Cakra sembari mengejarku yang menenteng bingkai pesawat hingga didepan pintu gudang. Ini tak seberat yang kubayangkan, malah amat ringan seakan-akan kau benar-benar bisa terbang dengannya. Ia hanya sepanjang dua kali tinggi manusia normal dan selebar dua tangan yang terbentang.

“Woah, ternyata sudah jadi!”

Lien berdiri didepan gerbang. Gadis mengerikan dengan niat jahat yang lebih sadis dibanding diriku. Entah bagaimana caranya, ia selalu dapat menghasut Cakra dengan sesuatu yang konyol dan mengerjaiku. Ia sebenarnya..ehm.. sedikit cantik. Angin pantai berhembus kemari dan membuat rambut hitam panjangnya yang basah melambai sambil berkilauan. Tetapi mengatakan hal barusan menandakan dia bagian dari kekonyolan ini. Dan itu berarti aku hanya bisa menghembuskan nafas penuh keluhan dan menggerutu lagi.

“Jelaskan..”

“Apa? Aku? Oh, aku sih tidak menyuruh Cakra melakukan apapun.., aku hanya tak sengaja meminjamkannya sebuah buku bergambar dan sebuah buku lainnya”

“Kau jelas punya maksud buruk...”

“Oh, ayolah Riki! Lihat, anak kita menangis karena kau rebut kebebasannya..”

“Riki! Pesawatku! Pesawatku!!” Itu Cakra yang merengek.

“Aku masih 16 tahun dan tak berniat sedikitpun punya anak seperti orang ini.., hei, pelan-pelan”

Cakra mungkin meringis sedikit ketika kubilang akan membuang pesawatnya. Tapi ia kembali sehat ketika mengambil pesawat itu kembali dan berlari menuju gudang.

“Hmm, berarti masih tertarik untuk punya istri sepertiku?” ucap Lien mengedipkan salah satu matanya. Angin pantai berhembus kemari dan membuat rambut hitam panjangnya yang basah melambai sambil berkilauan, dan cahaya menyilaukan membuatku harus berpaling sekarang juga.

“Ayo Cakra, biar kubantu dengan talinya” ucapku pada Cakra tanpa menjawab Lien yang tertawa terbahak-bahak. Dengan manis.

Menghadapi orang seperti ini bukan hal yang mudah. Kau harus selalu bisa menyembunyikan wajahmu yang kemerahan setelah digoda seperti ini.

Setelah kami bertiga masuk, aku berjalan kepojok gudang dan merasa tercengang melihat seberapa lihainya Cakra dalam menggunting. Tanpa garis atau semacamnya ia terus menggerogoti kertas dan karton besar menjadi bentuk pesergi dengan rapih. Aku awalnya tak percaya bahwa dia melakukan ini hanya dengan berkhayal, tetapi setelah melihatnya seperti ini dan berkali-kali melihat dia memahat untuk relief diatas kursi dan meja yang menjadi kerjaannya. Mau tak mau harus percaya.

Dan aku akhirnya menemukan penyebab masalah ini. Mereka adalah dua buah buku yang nampaknya masih bagus dengan label harga yang masih menempel. Mereka menertawakanku, label-label itu. Berada disana seakan mereka senang ketika aku mencoba melepasnya namun tak bisa. Aku membolak-balik buku yang pertama. Ini adalah kisah penemu pesawat pertama kali yang mencoba berkali-kali untuk terbang namun selalu gagal. Dan berhasil di akhir kisah dengan sebuah pesawat layang. Wright bersaudara.

“Bagaimana cara kau mengeja, ehh, Wi..rg, Wrihg...”

“Wright” ucap Lien. Angin pantai berhembus kemari dan membuat rambut hitam panjangnya yang basah melambai sambil berkilauan. Ia menatapku dari seberang gudang dengan kejahilan yang membara dimatanya.
Aku diam. Belum siap melawan trik apapun di kondisi lemah sehabis menjaring ikan ini.

Lalu di buku kedua. Perkembangan pesawat dari awal hingga sekarang. Berikut dengan bagian-bagian penting yang dapat membuatnya terbang digambarkan dengan detail yang nyaris sempurna. Dengan halaman sebuah pesawat kuno yang mirip dengan pesawat buatan Cakra ditandai dengan sebuah kertas yang ditempel. Sehingga siapapun yang membuka buku ini mustahil untuk tidak membuka halaman tersebut.
“Oi! Kau benar-benar punya niat buruk rupanya!”

Lien hanya cekikikan. Angin pantai berhembus kemari dan membuat rambut hitam panjangnya yang basah melambai sambil berkilauan.

Aku harus berhenti memperhatikan itu.

Menit berlalu, hingga jam terus berputar sekalipun tak seorangpun dari kami yang memilikinya. Aku selalu mengerti bagaimana matahari dan bulan terbit terbenam, aku juga mengerti mengapa bumi bulat, tetapi aku tak mengerti mengapa aku membiarkan diriku ditempat ini berjam-jam bersama makhluk jenius yang bodoh dan sumber dari segala kejahatan yang menyamar sebagai seorang gadis cantik.

Selama ini aku menganggap diriku selalu normal, sangat normal sehingga aku tak punya keahlian lain selain yang diturunkan kepada ayahku. Dan membuatku semakin terasingkan ditempat ini.

Semua karena mereka jauh diatas dari permukaan bumi. Keluarga Lien adalah orang terkaya di desa, nenek moyangnya pendiri desa ini dan keluarganya harus menetap walaupun penjualan toko emas yang dikelola keluarganya sudah bercabang nyaris diseluruh dunia. Aneh bila melihat sebuah rumah tingkat tiga berpagar diantara gubuk-gubuk desa nelayan desa pinggir pantai. Keluarganya juga membangun sekolah untuk kami dan rumah sakit untuk kami, sehingga desa ini semakin ramai dengan nelayan dan pedagang dari desa lain.  Lien sendiri hidup seperti ratu, namun tak pernah pergi dari tempat ini, karena ia bilang ia lebih senang berada disini dibanding ketika bersekolah di kota.

Mungkin yang ia bilang sebenarnya, ia lebih senang berada disini karena bisa menyiksa kami sesukanya.
Lalu Cakra adalah anak seniman yang dahulu tinggal disini. Mereka tertutup, tak banyak keluar rumah kecuali mencari inspirasi dan menjual karyanya. Konon terjadi hal mengerikan dirumah itu dan membuatnya kebakaran hebat. Meninggalkan Cakra sendirian didunia. Mereka hanya mewariskan sebuah gudang rahasia diatas tebing yang sedikit jauh dari desa yang berisi banyak hal mistis. Untunglah kawan dari sang seniman membiarkan Cakra tinggal bersama mereka sebagai tukang kayu. Dan terkadang menginap dirumahku dan makan bersama keluargaku.

Dan aku. Anak nelayan.

“Hei, Cakra..., mengapa kau suka sekali bermain terbang-terbangan seperti ini?” tanyaku sambil memotong tali dengan gunting.

“Karena meny-..”

“Selain ‘karena menyenangkan’”

Sumpah, anak ini.

“Hmmm, mungkin aku merasa lebih hangat berada diudara...”

“Itu jawaban yang tak menjelaskan apapun!”

“Entah bagaimana cara menjelaskannya. Ketika diudara aku merasa lebih hangat, karena disana lebih dekat dengan tempat dimana mereka berada”

“Mereka? Oh-”

“Ibuku dulu sering bilang bahwa surga berada diatas langit. Karena itulah dia selalu melukis langit. Ahaha, mungkin alasan yang konyol tetapi..., aku ingin sekali berkunjung kesana sekali-sekali, sekalipun..., itu tak mungkin...”

“Hmmm, lalu.., hubungannya dengan pesawat ini?” Tanyaku membelokan topik yang rawan.

“Kan sudah kubilang, aku ingin mengelilingi langit diseluruh dunia dengan ini. Langit itu maha luas, aku tak mampu menebak berapa meter panjangnya, dan bila surga sebesar itu hingga dapat menampung jutaan orang-orang baik yang telah tiada. Pasti akan terlihat diatas langit suatu hari nanti”

“Lalu kau akan mengetuk pintu surga dan memanggil ibumu keluar?” tanya Lien.

“Ya...,kurasa..”

Aku meraba kepala Cakra dan mengacak-acak rambutnya.

“Cakra yang melipat wajahnya itu tidak mungkin. Siapa kau dan kau apakan Cakra sahabatku?”

“Hei, Riki..., dia itu setahun lebih tua darimu.., tidak sopan memegang kepalanya..” Lien berkata sambil tersenyum. Angin pantai berhembus kemari dan membuat rambut hitam panjangnya yang basah melambai sambil berkilauan.

“Haaaa, sudahlah kalian berdua”

Semua itu logis saja..., barangkali..

Dia hanya ingin menemui ibunya lagi, sehingga ia terbang dan menggapai awan-awan diangkasa. Berniat mengelilingi bumi sekalipun hingga menemukan surga yang menjadi tempat dimana ibunya berada. Sebuah cita-cita kekanak-kanakan yang mempertahankan kewarasannya setelah kejadian mengerikan yang menimpanya beberapa tahun yang lalu.

Jika sang Pencipta itu benar-benar ada, dia jelas membuat dunia ini terlalu luas. Hanya ingin bertemu seseorang yang dicintai saja barangkali membutuhkan usaha yang cukup untuk membunuh  diri sendiri. Dan jelas tak ada seorangpun yang tahu dimana surga itu berada. Barangkali dengan pesawat supercepat yang bisa mengelilingi bumi dalam beberapa detik saja masih tidak mungkin. Apalagi dengan kayu dan lidi yang hanya akan bertahan hingga makan malam nanti?

Aku tak bisa memberitahukannya seperti itu. Ketika Cakra teringat sesuatu tentang orang tuanya, ia mendadak sakit atau mendadak gila. Tapi dengan menghancurkan harapan terakhirnya untuk bertemu ibunya, ia mungkin bisa mati.

Sekalipun harapan itu sebuah kebohongan yang tak logis.

Aku selama ini menganggap Cakra tidak mengerti, tetapi nampaknya ia sendiri juga tahu soal kebohongan itu. Buktinya ia selalu kembali pulang dan bukannya benar-benar mengarungi dunia.

“Po..pokoknya kalau kalian berdua nanti menikah dan berkeluarga, jangan lupakan aku..”

Kami berdiri diatas tebing dengan angin yang berhembus kencang menuju laut. Dan Cakra menyia-nyiakan kalimat terakhirnya dengan mengatakan sebuah ketidakmungkinan tingkat luar biasa.

“Itu tidak akan ter-“

“Doakan kami yah! Anak pertama kami akan kunamakan Cakra!”

“Oi! Tidak akan terjadi!”

Sayap Cakra semakin besar dan terlihat berat karena kertas dan karton juga plastik untuk melayang sudah dipasang di bingkainya. Melawan angin yang berusaha merobek kertas-kertas tersebut. Tetapi itu tidak mungkin, kertas tersebut adalah peninggalan para seniman dan tak mungkin hancur dengan mudah seperti impian mereka yang absolut.

Cakra berniat melompat dari tebing tertinggi yang dapat kami temukan disekitar pantai, dibawah kami adalah bebatuan karang terjal dan tajam. Aku tak mau mendengar atau berkata apa-apa lagi soal ini, tetapi jelas Cakra takkan menemui ibunya kecuali sayap itu rusak ketika melayang dan ia berakhir diatas karang yang menakutkan itu.

“Lihat nanti! Aku akan kembali beberapa tahun kedepan  dan kalian akan kaget ketika melihat aku membawa ibuku kembali!”

“Aku tak sabar lagi!” teriakku yang berdiri disamping Lien agak jauh dari tebing. Berteriak tak berarti semacam ini entah bagaimana membuat hatiku berdebar-debar, seakan Cakra benar-benar ingin pergi dan tak hendak kembali.

Tangan kami melambai karena Cakra mulai melangkah dan menatap kebawah dengan yakin berkali-kali.
“Doakan kami Cakra! Agar keluarga kami damai dan tentram!”

“Tidak akan terjadi!”

Yap, tidak-akan-pernah-terjadi.

“Aku pergi dulu! Ada dunia yang harus kukelilingi!”

“Jangan telat pulang untuk makan malam! Malam ini ibuku memasak sup dari gurita malang yang masuk ke jaring!”

“Oke!”

Aku tak suka mengganggu kesenangannya untuk berkhayal, maksudku, makan malam itu perlu bukan?
Dilangit sore itu Cakra terbang lebih bebas dan tinggi dengan pesawat layang yang identik dengan milik Wright bersaudara yang dibuatnya sendiri. Berada diatas laut sudah sering bagiku, aku nelayan lagipula, tetapi barangkali melihat laut dari atas sana akan sangat berbeda. Aku berniat menanyakan seperti apa kelihatannya ketika ia sampai dirumah nanti bersama keluargaku, didepan sup gurita yang sudah kubayangkan kelezatannya semenjak menjaringnya di perahu kemarin.

Diperjalanan pulang dengan belasan kali lenganku dipeluk dengan iseng oleh Lien yang tertawa genit dan membuat wajahku kemerahan bermenit-menit. Aku berusaha menepis bila angin laut datang kembali untuk melambaikan rambutnya, mereka tak pernah ada seperti keberadaan cinta. Firasat burukku adalah Lien berniat ikut makan sup gurita kesayanganku. Dan itu artinya takkan ada kebahagiaan lagi diatas meja makan.
Lalu di pantai muncul dari ombak yang mulai pasang seorang Cakra, ia menyeret bangkai pesawat kertas-kayu-plastik-karton-lidi dari laut sambil tersenyum iseng karena menghancurkannya dalam beberapa menit.
Membuatku menggerutu sambil terdiam dan perlahan senyumku merekah.

“Kau ini”

Aku mungkin perlahan mulai menyadari, mengapa aku membuang waktu istirahatku yang amat singkat ini setelah menjaring sepanjang siang yang terik hanya untuk bersama mereka. Sekecil-kecilnya keberadaanku didunia mereka tak mungkin jadi masalah, mungkin aku hanya akan menjala air laut seharian di hari tua nanti, menyia-nyiakan hidupku yang hanya satu kali. Tetapi bila itu dapat membawa senyum mereka terus menerus, kurasa sekaranglah waktuku untuk menikmati hidup. Melihat orang lain tersenyum dengan ide gila mereka itu cukup menyenangkan ternyata.



Dengan keadaan seperti ini mana mungkin aku pergi ke Ibukota, aku punya satu orang aneh yang harus kuurus dan satu orang genit yang butuh diriku untuk digodai.

0 komentar: