Mencari Surga dengan Sepasang Sayap
Kejadian ini berlangsung disebuah tempat jauh
diluar angkasa. Menembus aliran waktu, karenanya ia tak pernah dicatat sebagai
sejarah dari tempat manapun. Menghempas realitas sejauh mungkin seakan mereka
tertandingi jauh dibawah dari yang mereka harapkan. Berdiri diatas kebimbangan
antara dunia tidak waras dan abnormal tetapi menjadikan dirimu luar biasa
spesial ketika berada disini.
Ini adalah kisah seorang temanku. Seorang
sahabatku lebih tepatnya. Yang menempatkan kedua sayapnya diatas awan
kemerahan, dengan langit sore yang membara dibelakangnya, ia benar-benar
membuat semua orang berdecak kagum dan memuji sebisa mungkin selama ia melayang
disana.
Oh, tentunya dia bukan pilot.
Maksudku, ia benar-benar terbang dengan
tangannya sendiri.
Suatu sore yang indah, baru saja kulihat
matahari kemerahan setengah terbenam dibalik cakrawala. Aku mendengar kepakan
berirama konstan dan terdengar berat sehingga terkesan ada seekor burung
raksasa yang melintas diatasmu.
Arus laut hanya maju-mundur seperti biasa,
pohon-pohon kelapa bergoyang ketika angin melintas tanpa henti di pantai, dan
seekor burung raksasa diantara kedua keajaiban Tuhan tersebut terlalu ajaib.
Tentu saja itu bukan burung raksasa, itu jauh terlalu fiktif, dia hanya orang
gila tertentu yang mencoba terbang. Jika suatu hari nanti aku menikah dan punya
anak, aku takkan menamainya dengan nama konyol seperti Cakra Wala, karena aku
punya firasat dia akan tumbuh abnormal dan bersayap seperti yang sebenarnya
terjadi sekarang ini.
Oh, pertumbuhan mental abnormal maksudku. Dan
jelas sayap tersebut buatan. Cakra yang sinting membuatnya dari berbilah-bilah
lidi dan beberapa bongkah kayu. Dan menempelkan kertas, kain, dan plastik agar
membuatnya membentang seperti sepasang sayap.
Tidak mungkin ia manusia bila punya sayap,
bukan?
Dan lebih tidak mungkin bila Cakra itu seorang malaikat.
Dan lebih tidak mungkin bila Cakra itu seorang malaikat.
Ia berteriak sambil melayang turun diatas
pasir, meneriakan namaku sekeras mungkin ketika melakukannya. Menarik mata
penduduk desa sambil lalu. Kenalan kami memang tertawa kecil ketika melihat
kejadian itu, tetapi tidak para pendatang baru yang menusukku dengan pandangan
dingin-kebingungan. Mereka sekarang barangkali sedang bertanya-tanya apakah ketidak
warasan anak ini merupakan salahku atau barangkali aku berada di kondisi
menyedihkan yang sama?
“Riki! Riki! Kau harus ikut denganku!”
“Oi, Cakra!”
Ia baru mengerti setelah melihatku menenteng
belasan ikan dengan kedua tangan dan sebuah jaring di punggung. Dan
kedatanganku dari dermaga desa bersama ayah yang sekarang baru tiba menyusulku
setelah mengikat perahu. Ayahku bukan seseorang yang punya kesabaran luar
biasa, atau lebih tepatnya ia tak punya kesabaran sama sekali, tetapi mungkin
karena Cakra-lah yang kutemui hingga ia tak marah-marah bila aku berhenti
dijalan. Ia tak pernah tenang sebelum ikan-ikan yang berharga ini tiba di pasar
besok pagi. Dan aku yang tak-becus-melakukan-apapun ini mungkin tak terlalu
becus juga untuk mengangkut ikan kerumah.
“Oh, Cakra rupanya, sudah selesai dengan
pekerjaanmu sore ini?”
Cakra menjawab dengan senyum sebelum pamit dan
berkata padaku untuk menemuinya setelah urusan ini di gudang kesayangannya.
Lalu berlari pergi. Sayap dari kayu dan kertas kesayangannya melambai-lambai
pergi dengan tatapan dari banyak orang mengiringinya. Mereka terbengong dan tak
pernah tahu benda apa itu sebenarnya. Serius, lebih baik tak perlu tahu, kau
akan menyesal bila terjebak di keadaan tersebut.
“Haaah, andai saja aku punya anak sejenius
dia”
Oi, anakmu mendengar dengan jelas ditambah lagi belasan kilo ikan membebani tubuhnya, kau jelas mencari gara-gara.
Oi, anakmu mendengar dengan jelas ditambah lagi belasan kilo ikan membebani tubuhnya, kau jelas mencari gara-gara.
“Oi, kau benar-benar lebih memilih pergi
melaut?” tanyanya tanpa menatapku.
“Apa aku punya pilihan lain?”
“Jangan bicara dengan nada seperti itu pada
Ayahmu! Nilaimu tinggi kan di sekolah?”
“Iya Ayah...”
“Lalu mengapa tak mencoba mencari kerja di
Ibukota dan biarkan kedua kakakmu yang bodoh pergi memancing beberapa ikan
untuk hari tua aku dan ibumu?”
“Justru aku harus melaut karena mereka berdua
juga disana...”
Dan dua orang bodoh diatas kapal. Artinya
kematian, karam, tenggelam, hancur.
“Yah, itu sih terserah kau. Tapi setidaknya
kau punya kemungkinan sedikit lebih tinggi dibanding semua anak lain ditempat
ini”
Aku hanya diam. Pembicaraan selesai.
Berbicara kepada seorang nelayan gila yang
pergi melaut dipagi hari dan pulang disore hari bukan hal yang bisa kau
selesaikan dengan mengoceh. Tentu saja itu mengakibatkan kami tak dapat
mengembangkan layar karena angin yang berlawanan. Motor kecil perahu kami harus
bekerja ekstra dan dibantu tenaga dayung seorang anak pintar beserta ayahnya
yang gila.
Dimalam hari kedua kakakkulah yang melaut,
bersama seorang relawan baik hati yang selalu menjaga mereka dari kebodohan,
lalu dipagi hari setelah mereka kembali aku dan ayah yang ambil alih. Punya
keluarga dengan empat orang anak memang menyulitkan, apalagi hidupmu dipantai
dan kau harus terus menerus bekerja seperti ini. Bisa membuatmu gila, aku tak
bohong.
Aku iri kepada Cakra yang menetap tinggal dirumah
tukang kayu setelah seluruh keluarganya pergi, ia jenius yang bisa melihat
‘bayangan-bentuk’ dibalik sebilah kayu, membentuk pahatan tanpa desain dengan
luar biasa baik, ia bahkan membuat sayapnya sendiri untuk terbang dari atas
tebing dari kayu, lidi, dan kertas. Namun selain hal itu, dia hanyalah seonggok
daging tak berotak.
Mungkin otakku terlalu kejam dalam memikirkan
banyak hal, Lien juga bilang lidahku terlalu tajam dan penggerutuanku tak ada
habisnya. Mungkin karena aku terlalu iri kepada segala yang ada disekitarku.
Aku merasa benar telah mengatakannya, sembari otakku berputar dengan kejahatan
muncul dari sana, Cakra melompat kembali dari atas tebing dan melayang diatas
laut. Tak pernah kurang dari satu kali aku selalu berharap ia tercebur ke laut
dan menghancurkan sayapnya, tetapi itu keterlaluan. Mengingat aku yang selalu
dianggapnya seorang sahabat dan lagipula itu percuma, ia hanya akan membuat
sayap lainnya.
Aku telah sampai di gudang, tempat ini
dipenuhi segala peralatan aneh Cakra mulai dari relief dan pahatan yang tak
dijual hingga sayap-sayap yang berjejer digantung disepanjang dinding, gudang
ini punya pintu kembar yang besar, sehingga barang-barang aneh Cakra dapat
masuk dengan mudah. Nampaknya pemiliknya sedang tenang merakit sesuatu yang
gila lainnya, sementara begitu aku mendengar kertas yang digunting, lalu sebuah
bingkai dari lidi dan kayu yang berbentuk seperti pesawat layang muncul
dihadapanku, berada ditengah gudang Cakra dan nyaris memakan seluruh tempat.
Dan ia besar.
Ini masalah. Ini jelas-jelas masalah besar.
“Hei, apa maksudnya ini?”
“Eh? Oh, kau disini juga akhirnya Riki!”
“Tunggu, tunggu, sebelum kau menyuruhku
membantu, biar kutanyakan padamu. Apa yang ingin kau perbuat dengan benda ini?”
“Ini pesawat layang”
“Aku tahu itu! Lalu hal aneh apa yang akan kau
perbuat dengan benda ini?”
Aku
akan terbang diatas langit diseluruh dunia. Aku ingin mengelilingi dunia
dengannya...”
“Baiklah, ayo kita buang”
“Haaaah? T..tunggu, mau kau kemanakan dia!?
Hei! Riki!” ucap Cakra sembari mengejarku yang menenteng bingkai pesawat hingga
didepan pintu gudang. Ini tak seberat yang kubayangkan, malah amat ringan
seakan-akan kau benar-benar bisa terbang dengannya. Ia hanya sepanjang dua kali
tinggi manusia normal dan selebar dua tangan yang terbentang.
“Woah, ternyata sudah jadi!”
Lien berdiri didepan gerbang. Gadis mengerikan
dengan niat jahat yang lebih sadis dibanding diriku. Entah bagaimana caranya,
ia selalu dapat menghasut Cakra dengan sesuatu yang konyol dan mengerjaiku. Ia
sebenarnya..ehm.. sedikit cantik. Angin pantai berhembus kemari dan membuat
rambut hitam panjangnya yang basah melambai sambil berkilauan. Tetapi mengatakan
hal barusan menandakan dia bagian dari kekonyolan ini. Dan itu berarti aku
hanya bisa menghembuskan nafas penuh keluhan dan menggerutu lagi.
“Jelaskan..”
“Apa? Aku? Oh, aku sih tidak menyuruh Cakra
melakukan apapun.., aku hanya tak sengaja meminjamkannya sebuah buku bergambar
dan sebuah buku lainnya”
“Kau jelas punya maksud buruk...”
“Oh, ayolah Riki! Lihat, anak kita menangis
karena kau rebut kebebasannya..”
“Riki! Pesawatku! Pesawatku!!” Itu Cakra yang
merengek.
“Aku masih 16 tahun dan tak berniat sedikitpun
punya anak seperti orang ini.., hei, pelan-pelan”
Cakra mungkin meringis sedikit ketika kubilang
akan membuang pesawatnya. Tapi ia kembali sehat ketika mengambil pesawat itu
kembali dan berlari menuju gudang.
“Hmm, berarti masih tertarik untuk punya istri
sepertiku?” ucap Lien mengedipkan salah satu matanya. Angin pantai berhembus
kemari dan membuat rambut hitam panjangnya yang basah melambai sambil
berkilauan, dan cahaya menyilaukan membuatku harus berpaling sekarang juga.
“Ayo Cakra, biar kubantu dengan talinya”
ucapku pada Cakra tanpa menjawab Lien yang tertawa terbahak-bahak. Dengan
manis.
Menghadapi orang seperti ini bukan hal yang
mudah. Kau harus selalu bisa menyembunyikan wajahmu yang kemerahan setelah
digoda seperti ini.
Setelah kami bertiga masuk, aku berjalan
kepojok gudang dan merasa tercengang melihat seberapa lihainya Cakra dalam menggunting.
Tanpa garis atau semacamnya ia terus menggerogoti kertas dan karton besar
menjadi bentuk pesergi dengan rapih. Aku awalnya tak percaya bahwa dia
melakukan ini hanya dengan berkhayal, tetapi setelah melihatnya seperti ini dan
berkali-kali melihat dia memahat untuk relief diatas kursi dan meja yang
menjadi kerjaannya. Mau tak mau harus percaya.
Dan aku akhirnya menemukan penyebab masalah
ini. Mereka adalah dua buah buku yang nampaknya masih bagus dengan label harga
yang masih menempel. Mereka menertawakanku, label-label itu. Berada disana
seakan mereka senang ketika aku mencoba melepasnya namun tak bisa. Aku
membolak-balik buku yang pertama. Ini adalah kisah penemu pesawat pertama kali
yang mencoba berkali-kali untuk terbang namun selalu gagal. Dan berhasil di
akhir kisah dengan sebuah pesawat layang. Wright bersaudara.
“Bagaimana cara kau mengeja, ehh, Wi..rg,
Wrihg...”
“Wright” ucap Lien. Angin pantai berhembus
kemari dan membuat rambut hitam panjangnya yang basah melambai sambil
berkilauan. Ia menatapku dari seberang gudang dengan kejahilan yang membara
dimatanya.
Aku diam. Belum siap melawan trik apapun di
kondisi lemah sehabis menjaring ikan ini.
Lalu di buku kedua. Perkembangan pesawat dari
awal hingga sekarang. Berikut dengan bagian-bagian penting yang dapat
membuatnya terbang digambarkan dengan detail yang nyaris sempurna. Dengan
halaman sebuah pesawat kuno yang mirip dengan pesawat buatan Cakra ditandai
dengan sebuah kertas yang ditempel. Sehingga siapapun yang membuka buku ini
mustahil untuk tidak membuka halaman tersebut.
“Oi! Kau benar-benar punya niat buruk
rupanya!”
Lien hanya cekikikan. Angin pantai berhembus
kemari dan membuat rambut hitam panjangnya yang basah melambai sambil
berkilauan.
Aku harus berhenti memperhatikan itu.
Menit berlalu, hingga jam terus berputar
sekalipun tak seorangpun dari kami yang memilikinya. Aku selalu mengerti
bagaimana matahari dan bulan terbit terbenam, aku juga mengerti mengapa bumi
bulat, tetapi aku tak mengerti mengapa aku membiarkan diriku ditempat ini
berjam-jam bersama makhluk jenius yang bodoh dan sumber dari segala kejahatan
yang menyamar sebagai seorang gadis cantik.
Selama ini aku menganggap diriku selalu
normal, sangat normal sehingga aku tak punya keahlian lain selain yang
diturunkan kepada ayahku. Dan membuatku semakin terasingkan ditempat ini.
Semua karena mereka jauh diatas dari permukaan
bumi. Keluarga Lien adalah orang terkaya di desa, nenek moyangnya pendiri desa
ini dan keluarganya harus menetap walaupun penjualan toko emas yang dikelola
keluarganya sudah bercabang nyaris diseluruh dunia. Aneh bila melihat sebuah
rumah tingkat tiga berpagar diantara gubuk-gubuk desa nelayan desa pinggir
pantai. Keluarganya juga membangun sekolah untuk kami dan rumah sakit untuk
kami, sehingga desa ini semakin ramai dengan nelayan dan pedagang dari desa
lain. Lien sendiri hidup seperti ratu,
namun tak pernah pergi dari tempat ini, karena ia bilang ia lebih senang berada
disini dibanding ketika bersekolah di kota.
Mungkin yang ia bilang sebenarnya, ia lebih
senang berada disini karena bisa menyiksa kami sesukanya.
Lalu Cakra adalah anak seniman yang dahulu
tinggal disini. Mereka tertutup, tak banyak keluar rumah kecuali mencari
inspirasi dan menjual karyanya. Konon terjadi hal mengerikan dirumah itu dan
membuatnya kebakaran hebat. Meninggalkan Cakra sendirian didunia. Mereka hanya
mewariskan sebuah gudang rahasia diatas tebing yang sedikit jauh dari desa yang
berisi banyak hal mistis. Untunglah kawan dari sang seniman membiarkan Cakra
tinggal bersama mereka sebagai tukang kayu. Dan terkadang menginap dirumahku
dan makan bersama keluargaku.
Dan aku. Anak nelayan.
“Hei, Cakra..., mengapa kau suka sekali
bermain terbang-terbangan seperti ini?” tanyaku sambil memotong tali dengan
gunting.
“Karena meny-..”
“Selain ‘karena menyenangkan’”
Sumpah, anak ini.
“Hmmm, mungkin aku merasa lebih hangat berada
diudara...”
“Itu jawaban yang tak menjelaskan apapun!”
“Entah bagaimana cara menjelaskannya. Ketika
diudara aku merasa lebih hangat, karena disana lebih dekat dengan tempat dimana
mereka berada”
“Mereka? Oh-”
“Ibuku dulu sering bilang bahwa surga berada
diatas langit. Karena itulah dia selalu melukis langit. Ahaha, mungkin alasan
yang konyol tetapi..., aku ingin sekali berkunjung kesana sekali-sekali,
sekalipun..., itu tak mungkin...”
“Hmmm, lalu.., hubungannya dengan pesawat
ini?” Tanyaku membelokan topik yang rawan.
“Kan sudah kubilang, aku ingin mengelilingi
langit diseluruh dunia dengan ini. Langit itu maha luas, aku tak mampu menebak
berapa meter panjangnya, dan bila surga sebesar itu hingga dapat menampung
jutaan orang-orang baik yang telah tiada. Pasti akan terlihat diatas langit
suatu hari nanti”
“Lalu kau akan mengetuk pintu surga dan
memanggil ibumu keluar?” tanya Lien.
“Ya...,kurasa..”
Aku meraba kepala Cakra dan mengacak-acak
rambutnya.
“Cakra yang melipat wajahnya itu tidak
mungkin. Siapa kau dan kau apakan Cakra sahabatku?”
“Hei, Riki..., dia itu setahun lebih tua
darimu.., tidak sopan memegang kepalanya..” Lien berkata sambil tersenyum. Angin
pantai berhembus kemari dan membuat rambut hitam panjangnya yang basah melambai
sambil berkilauan.
“Haaaa, sudahlah kalian berdua”
Semua itu logis saja..., barangkali..
Dia hanya ingin menemui ibunya lagi, sehingga
ia terbang dan menggapai awan-awan diangkasa. Berniat mengelilingi bumi
sekalipun hingga menemukan surga yang menjadi tempat dimana ibunya berada.
Sebuah cita-cita kekanak-kanakan yang mempertahankan kewarasannya setelah
kejadian mengerikan yang menimpanya beberapa tahun yang lalu.
Jika sang Pencipta itu benar-benar ada, dia
jelas membuat dunia ini terlalu luas. Hanya ingin bertemu seseorang yang
dicintai saja barangkali membutuhkan usaha yang cukup untuk membunuh diri sendiri. Dan jelas tak ada seorangpun
yang tahu dimana surga itu berada. Barangkali dengan pesawat supercepat yang
bisa mengelilingi bumi dalam beberapa detik saja masih tidak mungkin. Apalagi
dengan kayu dan lidi yang hanya akan bertahan hingga makan malam nanti?
Aku tak bisa memberitahukannya seperti itu.
Ketika Cakra teringat sesuatu tentang orang tuanya, ia mendadak sakit atau
mendadak gila. Tapi dengan menghancurkan harapan terakhirnya untuk bertemu
ibunya, ia mungkin bisa mati.
Sekalipun harapan itu sebuah kebohongan yang
tak logis.
Aku selama ini menganggap Cakra tidak
mengerti, tetapi nampaknya ia sendiri juga tahu soal kebohongan itu. Buktinya
ia selalu kembali pulang dan bukannya benar-benar mengarungi dunia.
“Po..pokoknya kalau kalian berdua nanti
menikah dan berkeluarga, jangan lupakan aku..”
Kami berdiri diatas tebing dengan angin yang
berhembus kencang menuju laut. Dan Cakra menyia-nyiakan kalimat terakhirnya
dengan mengatakan sebuah ketidakmungkinan tingkat luar biasa.
“Itu tidak akan ter-“
“Doakan kami yah! Anak pertama kami akan
kunamakan Cakra!”
“Oi! Tidak akan terjadi!”
Sayap Cakra semakin besar dan terlihat berat
karena kertas dan karton juga plastik untuk melayang sudah dipasang di
bingkainya. Melawan angin yang berusaha merobek kertas-kertas tersebut. Tetapi
itu tidak mungkin, kertas tersebut adalah peninggalan para seniman dan tak
mungkin hancur dengan mudah seperti impian mereka yang absolut.
Cakra berniat melompat dari tebing tertinggi
yang dapat kami temukan disekitar pantai, dibawah kami adalah bebatuan karang
terjal dan tajam. Aku tak mau mendengar atau berkata apa-apa lagi soal ini,
tetapi jelas Cakra takkan menemui ibunya kecuali sayap itu rusak ketika
melayang dan ia berakhir diatas karang yang menakutkan itu.
“Lihat nanti! Aku akan kembali beberapa tahun
kedepan dan kalian akan kaget ketika
melihat aku membawa ibuku kembali!”
“Aku tak sabar lagi!” teriakku yang berdiri
disamping Lien agak jauh dari tebing. Berteriak tak berarti semacam ini entah
bagaimana membuat hatiku berdebar-debar, seakan Cakra benar-benar ingin pergi
dan tak hendak kembali.
Tangan kami melambai karena Cakra mulai
melangkah dan menatap kebawah dengan yakin berkali-kali.
“Doakan kami Cakra! Agar keluarga kami damai
dan tentram!”
“Tidak akan terjadi!”
Yap, tidak-akan-pernah-terjadi.
“Aku pergi dulu! Ada dunia yang harus
kukelilingi!”
“Jangan telat pulang untuk makan malam! Malam
ini ibuku memasak sup dari gurita malang yang masuk ke jaring!”
“Oke!”
Aku tak suka mengganggu kesenangannya untuk
berkhayal, maksudku, makan malam itu perlu bukan?
Dilangit sore itu Cakra terbang lebih bebas
dan tinggi dengan pesawat layang yang identik dengan milik Wright bersaudara
yang dibuatnya sendiri. Berada diatas laut sudah sering bagiku, aku nelayan
lagipula, tetapi barangkali melihat laut dari atas sana akan sangat berbeda.
Aku berniat menanyakan seperti apa kelihatannya ketika ia sampai dirumah nanti
bersama keluargaku, didepan sup gurita yang sudah kubayangkan kelezatannya
semenjak menjaringnya di perahu kemarin.
Diperjalanan pulang dengan belasan kali
lenganku dipeluk dengan iseng oleh Lien yang tertawa genit dan membuat wajahku
kemerahan bermenit-menit. Aku berusaha menepis bila angin laut datang kembali
untuk melambaikan rambutnya, mereka tak pernah ada seperti keberadaan cinta.
Firasat burukku adalah Lien berniat ikut makan sup gurita kesayanganku. Dan itu
artinya takkan ada kebahagiaan lagi diatas meja makan.
Lalu di pantai muncul dari ombak yang mulai
pasang seorang Cakra, ia menyeret bangkai pesawat
kertas-kayu-plastik-karton-lidi dari laut sambil tersenyum iseng karena
menghancurkannya dalam beberapa menit.
Membuatku menggerutu sambil terdiam dan
perlahan senyumku merekah.
“Kau ini”
Aku mungkin perlahan mulai menyadari, mengapa
aku membuang waktu istirahatku yang amat singkat ini setelah menjaring
sepanjang siang yang terik hanya untuk bersama mereka. Sekecil-kecilnya
keberadaanku didunia mereka tak mungkin jadi masalah, mungkin aku hanya akan
menjala air laut seharian di hari tua nanti, menyia-nyiakan hidupku yang hanya
satu kali. Tetapi bila itu dapat membawa senyum mereka terus menerus, kurasa
sekaranglah waktuku untuk menikmati hidup. Melihat orang lain tersenyum dengan
ide gila mereka itu cukup menyenangkan ternyata.
0 komentar: