Fakta Bahwa Cinta itu Buta
Kejadian ini tak pernah terjadi didalam
kenyataan. Tak ada jalan satupun yang akan menghubungkan dunia dimana cerita
ini berlangsung dengan dunia nyata. Secara sains atau magis maupun imajinatif.
Langkah manusia sangatlah pendek, tidak bisa
dibandingkan dengan cepatnya alam semesta membentang terus selama jutaan abad
yang telah berlalu, membandingkannya dengan burung elang yang menukik turun dari
langit dan langkah sia-sia penyelamatan diri kelinci mangsanya saja belum tentu
berhasil. Manusia hanya makhluk kecil dari alam yang luas yang bahkan manusia
takkan mungkin pernah tahu dimana ujungnya.
Langkah kecilku menggema di lorong redup.
Mempunyai irama tertentu walaupun yang kakiku lakukan hanya berjalan, kejadian
kecil tak berarti semacam inilah yang membuat dunia terasa lebih luas dari yang
kita sadari. Aku menguap kebosanan. Siang ini tak terlalu panas karena banyak
awan di langit, melangkah pelan membuat tempat tujuanku terasa lebih jauh,
melangkah lebih cepat membuat siang yang sejuk menjadi panas. Tetapi aku tak
punya pilihan lain.
Toh, aku sudah tak sabar tiba disana.
Hanya orang-orang tidak beruntung yang
mendapatkan kamar paling belakang di sebuah rumah sakit sebesar ini, tempat ini
menyediakan fasilitas rehabilitasi yang benar-benar modern dengan harga
terjangkau, banyak dari penderita penyakit yang sekiranya membutuhkan waktu
lama untuk diobati tinggal disini alih-alih dirumah, tak terkecuali penderita
cacat yang mungkin dapat disembuhkan dengan cara tertentu atau alat bantu
mereka membutuhkan perawatan khusus. Tetapi karena ia harus berada disini
semenjak masih disuapi orang tuanya, kurasa ia tak punya pilihan.
Pilihan hanya dimiliki oleh orang serba
kecukupan. Dari segi harta maupun jiwa. Mereka benar-benar tak muncul bagi
orang biasa, apalagi bagi orang yang tidak beruntung. Padahal manusia
diciptakan dengan cara yang sama, jiwa juga berharga sama ditiap tubuhnya,
namun mengapa rasanya takdir menentukan dengan cara yang tidak adil.
Tentu saja harga sekuntum jiwa tidak ternilai sekalipun banyak orang yang membuatnya menjadi tak bernilai. Mereka seperti bunga yang indah bila dapat tumbuh dengan baik. Sekuntum jiwa yang tidak layu karena dipupuki kebaikan dan disirami harapan masa depan cerah.
Tentu saja harga sekuntum jiwa tidak ternilai sekalipun banyak orang yang membuatnya menjadi tak bernilai. Mereka seperti bunga yang indah bila dapat tumbuh dengan baik. Sekuntum jiwa yang tidak layu karena dipupuki kebaikan dan disirami harapan masa depan cerah.
Bukannya dengan mendemonstrasikan kefrustasian
mereka didepan umum.
Mereka mungkin putus asa, orang-orang itu. Tak
lagi mensyukuri telah diberkahi kelengkapan sebagai manusia atau kewarasan yang
cukup untuk berpikir jahat, mereka jelas tak sadar Tuhan memberikan berkah yang
berlebih dan mereka menyia-nyiakan itu secepat yang mereka bisa. Mencuri,
merampok, prostitusi, pembunuhan, mabuk-mabukan, membiarkan zat adiktif
merasuki tubuh untuk kesenangan sesaat, menjadi sampah diantara sampah, dan
mencoba kabur dari kenyataan dengan membunuh diri.
Apakah dunia sekejam itu sehingga kalian harus menyerah?
Apakah dunia sekejam itu sehingga kalian harus menyerah?
Keberuntungan selalu dapat diubah, bekerja
keras hingga titik darah penghabisan dan mendapatkan pilihan-pilihan untuk
hidup adalah salah satu jalannya.
Sambil berpikir keras tanpa memperdulikan
panasnya tempat ini, aku lupa sudah beberapa menit berdiri didepan pintu. Tanpa
mengetuk dulu adalah elemen kejutan yang sengaja kucari, namun percuma begitu
mendengar derit pintu keras dan membuat malaikat cantik itu menengok kearahku
tanpa memandangku.
“Seekor monyet saja akan mengetuk pintu bila
dia mengunjungi temannya yang sakit”
“Memangnya kau bisa yakin siapa aku ini?”
“Mana mungkin tidak yakin, kan hanya kau yang
bisa melampaui monyet soal berkunjung”
Ia duduk diatas kasur, dengan pakaian yang
sama seperti yang ia kenakan 3 hari yang lalu sehingga berkesan seakan ia tak pernah menggantinya
setiap hari. Sebenarnya tak perlu, ia itu malaikat tak bersayap. Turun kebumi
untuk mencari cinta hingga aku menemukannya sebulan yang lalu sekalipun ia tak
menganggap aku ini apa-apa. Yah, itu barangkali sudah biasa untuk orang seperti
dirinya. Rambutnya hitam panjang berkilauan, wajahnya bersih dan manis walaupun
lebih pucat untuk seukuran manusia, tetap saja ia tak tumbuh banyak walaupun
lebih tua dariku.
Dan aku keheranan dengan benda yang
dipegangnya.
“Apa maksudnya ini?” kutanyakan dengan sangat
kebingungan ketika melihat ia menatapi isi sebuah buku yang dibukanya dengan
kedua tangan. Buku itu terbalik namun ia tidak kelihatan sedang bercanda.
“Oh, ini? Kurasa aku menemukan hobi baru”
“Hooo, lalu seperti apa ceritanya?”
Rosa buta sejak lahir, membaca adalah hobinya
yang baru. Itu sebuah kalimat dengan kerancuan tingkat luar biasa tinggi, tapi
bisa dikatakan bahwa hanya Rosa seorang yang mampu berbuat semacam itu, dan terpaksa
kuakui hal seperti inilah yang membuatku tergila-gila padanya.
“Gadis
muda yang harus berjuang untuk membela negaranya disuatu tempat di negeri
barat” ucapnya dengan tatapan kosong, semerta-merta membalikan halaman dengan
lugu hingga membuatku ingin tertawa.
“Jadi..., orang aneh mana yang memberikanmu
sebuah buku?”
Seharusnya semua orang bisa tahu dari pemberitahuan yang berada di kasur Rosa yang menjelaskan keberadaannya sebagai gadis buta, lalu ada orang asing tertentu yang sudah kehilangan akal dan memberikannya sebuah buku.
Seharusnya semua orang bisa tahu dari pemberitahuan yang berada di kasur Rosa yang menjelaskan keberadaannya sebagai gadis buta, lalu ada orang asing tertentu yang sudah kehilangan akal dan memberikannya sebuah buku.
“Ia datang tadi pagi. Dari etikanya sebagai
tamu yang mengetuk pintu, aku bisa tahu dia jauh berbeda dibanding seseorang.
Tak lama kemudian ia menjelaskan dirinya adalah penulis yang mempromosikan
sendiri bukunya kemana-mana dan dengan terburu-buru menjelaskan padaku
bagaimana kisah ini berlangsung. Lalu aku diberi ini tanpa disuruh membelinya”
“Boleh kulihat?” ucapku lalu ia menyodorkan
buku ke arah yang salah. Dengan tersenyum kecil kuraih buku itu dari tangannya
yang dingin dan kecil.
Mawar
Ditengah Badai Pasir. Aku mengerti mengapa si penulis
memberikan buku ini begitu saja kepada Rosa. Rosa pasti memberitahukan namanya
duluan seperti yang terjadi ketika aku dan dia bertemu untuk pertama kalinya
ditempat ini.
Tapi bunga sekecil mawar tak mungkin menggantikan
keindahan Rosa dimataku.
Barangkali ia tidak terlalu pintar, si penulis
itu. Rosa memang suka dengan kisah tetapi ia tak bisa sedikitpun membaca abjad.
Lupakan soal membaca, ia buta walaupun bumi ini terbelah menjadi dua. Biasanya
ibu Rosa memberikan novel audio padanya atau setidaknya membacakan buku sendiri,
kemungkinan terakhir bagi Rosa untuk membaca adalah membaca huruf Braile, yang
takkan kau temukan novel atau setidaknya buku cerita dengan huruf tersebut di
pasaran publik. Mungkin si penulis terlalu semangat ketika ada gadis yang
sebenarnya sedang kebingungan tetapi terlihat sedang mendengarkan dengan penuh
perhatian sehingga ia memberikan bukunya dengan cuma-cuma.
“Setelah memegang benda itu pandanganku soal
buku mulai berubah..”
“Mengapa bisa begitu?”
“Aku tak pernah mengira sebuah buku itu tak
terlalu besar dan tebal. Tadinya kukira orang menuliskan seluruh kisah diatas
secarik kertas raksasa”
Maklum saja ia berkata seperti itu. Rosa buta
semenjak lahir, apa yang ada sebenarnya mungkin selalu berbeda dengan apa yang
ia bayangkan dalam dunianya yang gelap. Ia bahkan tak pernah melihat betapa
cantik dirinya sehingga aku harus menghela nafas dengan keras.
“Lalu persepsiku tentang perpustakaan berubah
sepenuhnya”
“Senang mendengar itu....”
Rosa sering tiba-tiba tersenyum sendiri dan
membuat merinding orang yang ada disekitarnya. Kurasa ia sedang mengkhayalkan
sesuatu yang luar biasa dan jelas tak mungkin serupa dengan kenyataan. Seperti
sekarang ini, aku yakin apapun yang berada di kepalanya jauh lebih gaduh
dibanding peperangan. Ibaratnya Rosa menciptakan sebuah dunia sendiri jauh
didalam kegelapan yang selalu ditatapnya, Rosa menentukan sendiri seperti apa
bentuk dan rupa benda, manusia, juga segala hal didunia ini agar ia bisa
membedakan satu dengan yang lain.
“Kau mungkin sadar, bahwa aku barangkali sudah
melihat seluruh alam semesta secara tidak langsung melalui beberapa hal..,
tetapi ada sesuatu yang membuatku penasaran”
“Memangnya kau sudah pernah melihat sebanyak
itu?” lupakan soal itu, melihat saja kau tak pernah. Aku benar-benar tak
percaya itu yang hatiku katakan jauh didasarnya.
“Dunia ini tak seluas yang kau bayangkan
sebenarnya, lewat banyak hal aku berkelana hingga kesudut-sudut yang kau bahkan
tak bisa bayangkan”
“Absurb sekali, kau kira dunia hanya seluas
bangsal diujung rumah sakit?”
“Kejam. Kau tipe laki-laki yang tak pernah
membiarkan seorang gadis bermimpi rupanya”
“Tidak, aku hanya realistis-”
“Aku lebih memilh kebutaan daripada menjadi
anak perempuanmu. Mereka mungkin akan menangis terus menerus hingga kau
beristirahat dalam kuburmu untuk selama-lamanya”
“Baiklah! Baiklah, mari kita dengarkan duniamu
ini lagi”
Rosa tersenyum menampakan giginya yang bersih,
menatap kosong dalam kegelapan abadi disana, tak pernah tahu aku sedang
menatanya sedalam orang yang sedang digilai cinta.
“Kurasa akhirnya aku tahu seperti apa warna
biru itu”
Aku kaget mendengarnya.
“Sebelum aku mendengar lebih lanjut, aku harus
mengatakan bahwa warna biru tak ada hubungannya dengan musik blues dan apapun yang dekat dengan itu.
Hanya untuk mengesampingkan kesalahpahaman saja, kau tahulah..” ucapku sebelum
lebih lanjut.
“Siapa orang idiot yang pernah menyamakan
warna dengan musik?”
“Oke”
Mendengar nadanya yang tiba-tiba serius
membuatku sedikit percaya. Tapi tentu saja aku tak akan pernah yakin.
“Aku melihatnya didalam mimpi dan terkadang
disini”
Ini yang lebih tidak mungkin, pada dasarnya
Rosa tak pernah sekalipun tahu warna biru itu seperti apa karena ia buta
semenjak lahir. Otaknya takkan bekerja untuk memproyeksikan warna tersebut
dalam dunia khayalnya sebaik apapun ia mampu berkhayal. Yang kutebak, Rosa
hanya pernah melihat warna hitam yang selalu menemaninya setiap detik didunia
ini dan putih ketika ia kedatangan sinar terang dari luar matanya. Rosa
mengenal bentuk dan wujud secara tidak langsung dari indra perabanya yang
selalu bekerja lebih baik, juga lewat pengajaran tunanetra ia jelas mengenal
seperti apakah dunia itu. Lewat buku dan kisah berhuruf Braille Rosa mengerti
bagaimana dunia ini berjalan sekalipun ia hanya dapat membayangkannya dari
kasur ini.
Jika hal-hal kecil tersebut disatukan, Rosa
tak perlu punya mata untuk membuat dunia sendiri. Bentuk-bentuk abstrak yang ia
ketahui lewat sentuhan tangan dan kata-kata dalam kisah, walaupun sedikit
meleset, seperti contohnya buku yang tadinya ia pikir selembar kertas yang luar
biasa besar karena mampu memuat ribuan huruf, ia mungkin mengira pohon punya
tangan atau ikan punya kaki, namun bentuk-bentuk tersebutlah yang ada didunia
Rosa.
Rosa hanya tahu hitam dan putih, kedua warna tersebut mewarnai dunia abstraknya dengan mengerikan.
Dan suara-suara yang tak pernah ia ketahui darimana asalnya menghantui disana, sebagai tunanetra indra pendengaran Rosa mampu mengenal manusia lewat perbedaan suara sebagaimana mata biasanya membedakan rupa.
Sesungguhnya dunia Rosa amat hampa dan
mengerikan, aku tak pernah mengerti bagaimana ia bertahan selama ini, ia bahkan
sudah hidup lebih lama dibanding diriku.
Tetapi masuknya pengetahuan tentang warna lain adalah tidak mungkin. Rosa mengenal nama warna, biasanya ada pada deskripsi benda dalam cerita seperti langit yang biru, daun yang hijau, mobil yang putih, atau hitamnya kegelapan.
Dan ia mengakui pernah melihat hal tersebut secara langsung. Lewat mimpi. Bukankah kau takkan memimpikan apa yang kau tak ketahui? Sekalipun kau memimpikan matahari yang menabrak bumi, setidaknya kau tahu seperti apa Matahari dan seperti apa Bumi.
“Hoo, mimpi ya? Seperti apa mimpimu tuan
putri?”
“Biru, hari itu dipenuhi warna biru hingga
dalam mimpiku biru masih dapat kulihat dan kurasakan”
“Aku benar-benar tak mendapat informasi apapun
dari kalimatmu barusan”
“Oh, mungkin kau tahu warna biru itu seperti
apa bukan? Kau dapat melihatnya dengan jelas lagipula. Tapi aku benar-benar
melihat biru di hari itu”
Benar-benar tak dapat kumengerti.
“Langit itu biru bukan? Aku membacanya
dimana-mana dan aku tahu di langit juga ada awan yang perlahan merayap
dibawahnya. Ibu selalu bilang awan seperti kapas putih yang terbang dan aku
bisa bayangkan bagaimana benda tersebut melayang di angkasa, dihadapan langit
biru yang tenang”
Jadi intinya dia tahu warna putih dan bentuk
kapas hingga ia tahu langit itu diam dan tak bergerak?
“Langit biru yang tenang, semilir angin
membawa kapas-kapas diudara melayang perlahan, hangatnya sinar matahari dari
langit yang membuat mataku dipenuhi cahaya keputihan bila memandang kearahnya.
Ketika itu terjadi aku bisa melihat seperti apa warna biru itu”
Apa maksudnya itu, dia dapat melihat warna
biru hanya karena merasakan hal-hal barusan?
Barangkali itulah Sinestesia yang tak pernah kusangka akan terjadi.
Barangkali itulah Sinestesia yang tak pernah kusangka akan terjadi.
Sinestesia terkenal sebagai sebuah majas dalam
pelajaran sastra namun sebenarnya hal tersebut adalah sebuah fenomena
psikologis yang hanya dapat terjadi didalam otak manusia. Sinestesia adalah
ketika seorang manusia merasakan apa yang seharusnya tak bisa dirasakan sebuah
indra melalui indra lainnya. Sering sekali terjadi, seperti ketika merasakan
asamnya jeruk nipis di lidah hanya karena mencium baunya atau melihatnya, juga
ketika melihat benda bewarna merah akan membuatmu merasakan rasa manis, dan
yang umum adalah merasakan dingin yang tak wajar didalam ruangan gelap.
Aku tadinya tak percaya hal ini, terkadang pengetahuan
tentang alam bawah sadar manusia membuat semua hal logis terkesampingkan dan
mustahil dunia dapat berputar tanpa logika secara keseluruhan.
Tetapi karena Rosa-lah yang terkait, juga
hidupnya didalam dunia khayal, kurasa aku harus percaya.
“Lalu setelah hari itu berakhir, aku
kedatangan tamu yang ternyata adalah Ayah. Dari sinilah aku yakin seperti apa
warna biru itu”
“Heh? Bagaimana bisa?”
“Ayah selalu bicara pelan bila bersamaku,
suara pelannya seperti semilir angin, dirinya memancarkan cahaya yang membuatku
yakin dia berada dimana, selalu menyemangatiku dan bilang suatu hari nanti aku
akan bisa melihat indahnya dunia walaupun aku tak pernah menginginkan itu.
Ayahku tenang seperti langit biru”
Apa-apaan itu? Aku pernah mendengar sesuatu
yang menghubungkan antara biru dan ketenangan di suatu tempat. Ya, kurasa
ketika itu aku membaca artikel terkait dengan nama-nama warna dan arti
dibaliknya, disebuah majalah yang pernah kutemukan disini terakhir kali aku
berkunjung.
“Tu..tunggu, ada banyak hal yang harus kukomentari...,
sebentar...” ucapku sembari membolak-balik tumpukan majalah di meja dekat sana.
“Haaah? Kenapa?”
“Dan, nah, ini dia...”
Rupanya artikel majalah ini yang membuatnya
yakin soal seperti apa warna-warna itu, mungkin ibunya tahu soal Rosa yang
penasaran seperti apa warna itu dan iseng-iseng membacakan artikel tersebut
kepada Rosa. Dan jelas ini membuatku kesal, pernyataan Rosa tentang warna biru
barusan membuatku harus berpikir sejauh Sinestesia sedangkan penyebabnya hanya
selembar halaman merah muda dalam majalah remaja yang berisi bualan-bualan dan
terbit nyaris tiap minggu.
“Ke..kenapa kau terdengar kesal?”
“Oh, tidak, sebenarnya ini hanya diriku yang
berpikir terlalu dalam soal masalah tak penting. Jadi, biru adalah ketenangan,
putih adalah kesucian, merah adalah keberanian, pfft..”
“Heee, darimana kau tahu aku menebaknya dari
sana?”
“Kau gadis pada dasarnya, aku tak boleh lupa
itu. Ahaha”
“Memang ada masalah apa dengan menjadi seorang
gadis?”
“Kau akan percaya bualan 10 kali lebih sering dibanding
lelaki”
“Itu tak masuk akal! Lagipula mengapa kau
menganggap arti-arti warna itu bualan?”
“Tentu saja tak benar, orang yang menentukan
arti tersebut hanya tak mengerti seperti apa seni dibuat dan mengapa warna
diciptakan tanpa arti tertentu. Mereka seharusnya berkumpul menjadi satu dan
mempunyai hanya satu arti, yaitu keindahan”
“Dan kau sedang berbicara dengan seseorang
yang tak pernah melihat keindahan apapun, kau jelas membuang-buang waktumu”
“Hmm, kau akhirnya terdengar seperti seseorang
yang ingin disembuhkan”
Mendengar hal tersebut Rosa memalingkan
wajahnnya yang malu ke arah lain agar aku tak dapat melihatnya.
“Si..siapa yang mau disembuhkan? Aku puas kok
hidup seperti ini! Aku bisa melihat tanpa mataku dan selamanya tak butuh hal
itu”
“Ohh” ucapku diperpanjang beberapa detik.
“Mungkin aku ingin melihat warna! Hanya warna
dan itu mungkin! La..lalu ada seorang idiot tertentu yang melarangku melihatnya
dan mengatakan bualan soal keindahan-keindahan”
“Pendonor mata memang langka, tapi kupikir bila
kau minta peminatnya akan banyak. Apalagi bila penerima donornya gadis cantik”
“Po...pokoknya kalau kau bicarakan ini kepada
Ayah, aku bersumpah takkan pernah mau menemuimu lagi!”
“Ahaha, oke-oke”
Mungkin orang-orang selalu kebingungan benda
apa yang terlalu indah untuk dipuji, beberapa mungkin bilang lukisan tentang
indahnya dunia yang tak pernah dilihat banyak orang, banyak lainnya bilang
puisi dan syair yang mampu membakar hati dan jiwa tanpa api, sekian banyak
lainnya lantunan musik yang membuat dirimu tak bisa mengendalikan diri, dan tak
sedikit yang bilang seluruh alam semesta ciptaan Tuhan. Bagiku barangkali
adalah ketidaksengajaan yang Tuhan berikan.
Tentu saja aku punya alasan mengapa aku memuja
hal tersebut sebagai mahakarya luar biasa padahal aku punya kelima indra yang
berfungsi baik dan dapat mendengarkan musik megah, lukisan artistik, syair
mewah, dan lainnya. Tapi hal ini jauh lebih pantas untuk kau bilang indah.
Seumpamanya begini, kau adalah seorang anak
dari seorang pria. Pria tersebut tentunya ayahmu, dia luar biasa keras kepala
dan sok kuat sehingga ia takkan pernah mau dibawa kerumah sakit sekalipun
penyakit menyerangnya. Dengan membayar mahal uang yang tak mungkin seharga
dengan perjuanganmu, ia akhirnya bisa masuk ke rumah sakit tertentu.
Sekarang kau adalah lelaki tertentu didalam
rumah sakit tertentu. Rumah sakit luar biasa megah dengan ribuan pintu dalam
jumlah tertentu. Kau juga berada diatas dunia tertentu dengan miliyaran manusia
yang hidup diatasnya. Ditengah daerah tertentu dengan jumlah penduduk tertentu.
Lalu kau pikir berapa juta kemungkinan yang
bisa terjadi bila kamar ayahmu berada disamping sebuah kamar tertentu, diatas
lantai yang sama, diposisi yang bersebelahan sehingga kau tak lagi tahu ada
berapa kesempatan yang mungkin terjadi di kantor administrasi rumah sakit
tersebut atau dimanapun takdir tercantum. Agar hal tersebut dapat menjadi
nyata.
Didasari peluang antara seratus milyar manusia
normal dan sehat yang hidup didunia ini dengan ratusan orang yang punya
kebutaan semenjak lahir ditambah ratusan pintu rumah sakit yang berada disana,
sejumlah lantai yang ada, ratusan orang yang akan memberitahukanku ruang yang
tepat. Aku membuka pintu yang salah hari itu.
Ayahku menunggu dikamarnya, disamping ruang
yang salah kumasuki hari itu.
Lalu terjadilah pertemuan yang telah dicatat
takdir, disaat itu aku masuk tanpa menyadari apapun. Apapun selain kenyataan
bahwa aku menatap seorang bidadari yang luar biasa cantik diatas kasur dengan
berselimut dan menatap kosong. Dengan sebuah apel ditangannya.
Aku tak pernah mau sadar, ataupun melihat
papan diujung kasurnya mengenai kondisi sang bidadari bahwa ia buta.
“Hmm..? Apa ada orang disana?”
Terkesiap, luar biasa kaget, merasa diberkahi
karena mendengar suara indahnya. Akupun bercicit.
“Ah.., err.. maaf, aku salah masuk ruangan..,
aku akan keluar sekarang, bye..”
“Tunggu! Tunggu sebentar, aku butuh
bantuanmu...”
Baru saja ingin kututup pintu kamar itu,
tiba-tiba saja pintu surga telah dibukakan untuku.
“Aku, kurasa aku sedikit ceroboh, bisakah kau
mengambilkan pisau yang kujatuhkan?”
Melihat pisau yang tergeletak dilantai, sebuah
apel segar berwarna merah ditangannya, dan seorang bidadari buta yang berniat
mengupas apel. Aku merasa bingung.
“Jangan bilang kau ingin mengupas benda itu..,
itu terlalu ekstrim”
“Tak ada pilihan lain, aku lapar, ibuku pergi.
Tapi aku punya tangan, sebilah pisau, dan apel”
“Bagaimana bila pisaunya malah mengiris
tanganmu?”
“Aku masih punya tangan lainnya”
“Oke, sudah kuduga ini terlalu ekstrim.
Kemarikan benda-benda itu, biar aku yang lakukan..”
“Ah, ehh. He..” keluhnya dan ia tampak
kebingungan ketika aku merebut apel dan mengambil pisau dilantai.
Untung saja
dia tak bisa lihat wajahku yang luar biasa merautkan kegelisahan dan canggung.
“Namaku Rosa..” ucapnya sambil memakan
potongan pertama yang kuberikan padanya.
“Kau?”
“A..aku hanya orang yang salah masuk kamar..,
aku akan segera pergi dari sini setelah.., ini.”
“Kau terdengar seperti seorang laki-laki, tapi
bicara sehalus gadis”
“Ahaha, aku terlahir demikian. Mohon maaf”
“Tenang saja. Aku tidak benci orang baik”
“Malah barangkali suka”
Ini membuatku frustasi, kejadian semacam ini
akan terus menerus berada didalam mimpiku untuk waktu yang sangat lama.
Ditambah lagi ia hanya membuka mulutnya sebagai kode agar aku memasukan
sepotong apel kesana, lalu bibirnya yang basah karena sari apel, rambutnya yang
terurai, terawat namun tak tersentuh modis. Wajahnya yang manis berseri ketika
apel manis itu menyentuh lidahnya. Aku bisa gila.
Aku berterimakasih pada tuhan, mencoba
berkawan baik dengan takdir, menerima cobaan, menghadapi rintangan. Lalu
menikmati berkah.
Hari ini juga begitu, jika saja bukan
pemberian berkah ini dan rencana indah dari takdir, mana mungkin aku akan dapat
mendengar celoteh lain Rosa tentang warna hijau. Menunggu hingga ibunya pulang
dari kantor atau ayahnya berkunjung sebagai kepala rumah sakit yang menempatkan
anaknya sendiri disini. Aku punya alasan berada disini. Secara fakta, aku
disini karena ayahku berada diruangan sebelah, namun secara keinginan hatiku
yang paling dalam, aku ingin melihat Rosa setiap ada kesempatan. Tak peduli
apakah itu hanya beberapa detik yang akan sirna dengan cepat.
Ada sebuah kegundahan yang benar-benar tak
bisa kuhapuskan. Bila suatu hari nanti Rosa disembuhkan, apakah ia akan
meninggalkan tempat ini, melupakanku, memulai hidupnya yang normal, memulai
menstratifikasi manusia, keadaan, takdir, ide, dan semacamnya? Dan apakah aku
rela?
Memang Rosa bersikeras bahwa ia menikmati
hidupnya walaupun sebatas kegelapan yang takkan pergi dari dunia indah yang
seharusnya dapat ia lihat. Buktinya ia menolak dioperasi atau menerima donor.
Tapi, sekalipun takdir mempertemukan manusia sekalipun seharusnya tidak
mungkin, ia senantiasa memisahkan siapapun yang berada dibumi sekalipun hal itu
juga tak mungkin terjadi.
Seberapapun besarnya cinta yang ia miliki
kepada semua orang yang ia sayangi, kematian takkan terhenti. Kematianlah
pilihan terakhir sang takdir untuk memisahkan para manusia dengan orang yang
mereka sayangi.
Karena itulah manusia takut kepada kematian.
Sekalipun mereka bilang tidak, mereka hanya berbohong.
“Hey!
Sudah kuduga, kau tidak mendengarkanku sama sekali!” ucap Rosa ketika ia sampai
pada warna kuning tanpa kusadari sedikitpun.
“Eh? Aku mendengarkan kok, aku mendengarkan”
“Tahu dari mana?”
“Biasanya kalau aku bicara ngawur, kau akan
protes lalu berceramah panjang”
“Aku tak punya pilihan lain, semua yang kau
katakan tak masuk akal sama sekali”
“Ngg, jahat. Terlalu jahat! Aku kan bicara
asal agar kau balas bicara padaku”
“Mengapa kau ingin sekali aku protes?”
“Kau diam mulu sih semenjak tadi.., kau kan
juga tahu...”
“................jam besuk itu terbatas” ucap Rosa, mencoba memalingkan kepalanya jauh dari tempat dimana suaraku berasal. Mungkin agar aku tak dapat melihat wajahnya memerah.
Aku tersenyum diam-diam, jarang Rosa seperti
ini. Biasanya ia sok misterius seharian tanpa sadar bahwa dia sebenarnya
pemalu.
Mungkin inilah mengapa manusia tidak pernah
memikirkan kematian terus menerus.
Hidup itu luar biasa konyol.
0 komentar: