TOP NEWS

Tolong Tinggalkan Komentar yang Baik Sebagai Jejak Kedatangan Anda.

Tuesday, 6 August 2013

Fakta Bahwa Cinta itu Buta

Kejadian ini tak pernah terjadi didalam kenyataan. Tak ada jalan satupun yang akan menghubungkan dunia dimana cerita ini berlangsung dengan dunia nyata. Secara sains atau magis maupun imajinatif.

Langkah manusia sangatlah pendek, tidak bisa dibandingkan dengan cepatnya alam semesta membentang terus selama jutaan abad yang telah berlalu, membandingkannya dengan burung elang yang menukik turun dari langit dan langkah sia-sia penyelamatan diri kelinci mangsanya saja belum tentu berhasil. Manusia hanya makhluk kecil dari alam yang luas yang bahkan manusia takkan mungkin pernah tahu dimana ujungnya.

Langkah kecilku menggema di lorong redup. Mempunyai irama tertentu walaupun yang kakiku lakukan hanya berjalan, kejadian kecil tak berarti semacam inilah yang membuat dunia terasa lebih luas dari yang kita sadari. Aku menguap kebosanan. Siang ini tak terlalu panas karena banyak awan di langit, melangkah pelan membuat tempat tujuanku terasa lebih jauh, melangkah lebih cepat membuat siang yang sejuk menjadi panas. Tetapi aku tak punya pilihan lain.

Toh, aku sudah tak sabar tiba disana.

Hanya orang-orang tidak beruntung yang mendapatkan kamar paling belakang di sebuah rumah sakit sebesar ini, tempat ini menyediakan fasilitas rehabilitasi yang benar-benar modern dengan harga terjangkau, banyak dari penderita penyakit yang sekiranya membutuhkan waktu lama untuk diobati tinggal disini alih-alih dirumah, tak terkecuali penderita cacat yang mungkin dapat disembuhkan dengan cara tertentu atau alat bantu mereka membutuhkan perawatan khusus. Tetapi karena ia harus berada disini semenjak masih disuapi orang tuanya, kurasa ia tak punya pilihan.

Pilihan hanya dimiliki oleh orang serba kecukupan. Dari segi harta maupun jiwa. Mereka benar-benar tak muncul bagi orang biasa, apalagi bagi orang yang tidak beruntung. Padahal manusia diciptakan dengan cara yang sama, jiwa juga berharga sama ditiap tubuhnya, namun mengapa rasanya takdir menentukan dengan cara yang tidak adil.
Tentu saja harga sekuntum jiwa tidak ternilai sekalipun banyak orang yang membuatnya menjadi tak bernilai. Mereka seperti bunga yang indah bila dapat tumbuh dengan baik. Sekuntum jiwa yang tidak layu karena dipupuki kebaikan dan disirami harapan masa depan cerah.

Bukannya dengan mendemonstrasikan kefrustasian mereka didepan umum.

Mereka mungkin putus asa, orang-orang itu. Tak lagi mensyukuri telah diberkahi kelengkapan sebagai manusia atau kewarasan yang cukup untuk berpikir jahat, mereka jelas tak sadar Tuhan memberikan berkah yang berlebih dan mereka menyia-nyiakan itu secepat yang mereka bisa. Mencuri, merampok, prostitusi, pembunuhan, mabuk-mabukan, membiarkan zat adiktif merasuki tubuh untuk kesenangan sesaat, menjadi sampah diantara sampah, dan mencoba kabur dari kenyataan dengan membunuh diri.
Apakah dunia sekejam itu sehingga kalian harus menyerah?

Keberuntungan selalu dapat diubah, bekerja keras hingga titik darah penghabisan dan mendapatkan pilihan-pilihan untuk hidup adalah salah satu jalannya.

Sambil berpikir keras tanpa memperdulikan panasnya tempat ini, aku lupa sudah beberapa menit berdiri didepan pintu. Tanpa mengetuk dulu adalah elemen kejutan yang sengaja kucari, namun percuma begitu mendengar derit pintu keras dan membuat malaikat cantik itu menengok kearahku tanpa memandangku.

“Seekor monyet saja akan mengetuk pintu bila dia mengunjungi temannya yang sakit”

“Memangnya kau bisa yakin siapa aku ini?”

“Mana mungkin tidak yakin, kan hanya kau yang bisa melampaui monyet soal berkunjung”

Ia duduk diatas kasur, dengan pakaian yang sama seperti yang ia kenakan 3 hari yang lalu sehingga  berkesan seakan ia tak pernah menggantinya setiap hari. Sebenarnya tak perlu, ia itu malaikat tak bersayap. Turun kebumi untuk mencari cinta hingga aku menemukannya sebulan yang lalu sekalipun ia tak menganggap aku ini apa-apa. Yah, itu barangkali sudah biasa untuk orang seperti dirinya. Rambutnya hitam panjang berkilauan, wajahnya bersih dan manis walaupun lebih pucat untuk seukuran manusia, tetap saja ia tak tumbuh banyak walaupun lebih tua dariku.

Dan aku keheranan dengan benda yang dipegangnya.

“Apa maksudnya ini?” kutanyakan dengan sangat kebingungan ketika melihat ia menatapi isi sebuah buku yang dibukanya dengan kedua tangan. Buku itu terbalik namun ia tidak kelihatan sedang bercanda.

“Oh, ini? Kurasa aku menemukan hobi baru”

“Hooo, lalu seperti apa ceritanya?”

Rosa buta sejak lahir, membaca adalah hobinya yang baru. Itu sebuah kalimat dengan kerancuan tingkat luar biasa tinggi, tapi bisa dikatakan bahwa hanya Rosa seorang yang mampu berbuat semacam itu, dan terpaksa kuakui hal seperti inilah yang membuatku tergila-gila padanya.

 “Gadis muda yang harus berjuang untuk membela negaranya disuatu tempat di negeri barat” ucapnya dengan tatapan kosong, semerta-merta membalikan halaman dengan lugu hingga membuatku ingin tertawa.

“Jadi..., orang aneh mana yang memberikanmu sebuah buku?”
Seharusnya semua orang bisa tahu dari pemberitahuan yang berada di kasur Rosa yang menjelaskan keberadaannya sebagai gadis buta, lalu ada orang asing tertentu yang sudah kehilangan akal dan memberikannya sebuah buku.

“Ia datang tadi pagi. Dari etikanya sebagai tamu yang mengetuk pintu, aku bisa tahu dia jauh berbeda dibanding seseorang. Tak lama kemudian ia menjelaskan dirinya adalah penulis yang mempromosikan sendiri bukunya kemana-mana dan dengan terburu-buru menjelaskan padaku bagaimana kisah ini berlangsung. Lalu aku diberi ini tanpa disuruh membelinya”

“Boleh kulihat?” ucapku lalu ia menyodorkan buku ke arah yang salah. Dengan tersenyum kecil kuraih buku itu dari tangannya yang dingin dan kecil.

Mawar Ditengah Badai Pasir. Aku mengerti mengapa si penulis memberikan buku ini begitu saja kepada Rosa. Rosa pasti memberitahukan namanya duluan seperti yang terjadi ketika aku dan dia bertemu untuk pertama kalinya ditempat ini.

Tapi bunga sekecil mawar tak mungkin menggantikan keindahan Rosa dimataku.

Barangkali ia tidak terlalu pintar, si penulis itu. Rosa memang suka dengan kisah tetapi ia tak bisa sedikitpun membaca abjad. Lupakan soal membaca, ia buta walaupun bumi ini terbelah menjadi dua. Biasanya ibu Rosa memberikan novel audio padanya atau setidaknya membacakan buku sendiri, kemungkinan terakhir bagi Rosa untuk membaca adalah membaca huruf Braile, yang takkan kau temukan novel atau setidaknya buku cerita dengan huruf tersebut di pasaran publik. Mungkin si penulis terlalu semangat ketika ada gadis yang sebenarnya sedang kebingungan tetapi terlihat sedang mendengarkan dengan penuh perhatian sehingga ia memberikan bukunya dengan cuma-cuma.

“Setelah memegang benda itu pandanganku soal buku mulai berubah..”

“Mengapa bisa begitu?”

“Aku tak pernah mengira sebuah buku itu tak terlalu besar dan tebal. Tadinya kukira orang menuliskan seluruh kisah diatas secarik kertas raksasa”

Maklum saja ia berkata seperti itu. Rosa buta semenjak lahir, apa yang ada sebenarnya mungkin selalu berbeda dengan apa yang ia bayangkan dalam dunianya yang gelap. Ia bahkan tak pernah melihat betapa cantik dirinya sehingga aku harus menghela nafas dengan keras.

“Lalu persepsiku tentang perpustakaan berubah sepenuhnya”

“Senang mendengar itu....”

Rosa sering tiba-tiba tersenyum sendiri dan membuat merinding orang yang ada disekitarnya. Kurasa ia sedang mengkhayalkan sesuatu yang luar biasa dan jelas tak mungkin serupa dengan kenyataan. Seperti sekarang ini, aku yakin apapun yang berada di kepalanya jauh lebih gaduh dibanding peperangan. Ibaratnya Rosa menciptakan sebuah dunia sendiri jauh didalam kegelapan yang selalu ditatapnya, Rosa menentukan sendiri seperti apa bentuk dan rupa benda, manusia, juga segala hal didunia ini agar ia bisa membedakan satu dengan yang lain.

“Kau mungkin sadar, bahwa aku barangkali sudah melihat seluruh alam semesta secara tidak langsung melalui beberapa hal.., tetapi ada sesuatu yang membuatku penasaran”

“Memangnya kau sudah pernah melihat sebanyak itu?” lupakan soal itu, melihat saja kau tak pernah. Aku benar-benar tak percaya itu yang hatiku katakan jauh didasarnya.

“Dunia ini tak seluas yang kau bayangkan sebenarnya, lewat banyak hal aku berkelana hingga kesudut-sudut yang kau bahkan tak bisa bayangkan”

“Absurb sekali, kau kira dunia hanya seluas bangsal diujung rumah sakit?”

“Kejam. Kau tipe laki-laki yang tak pernah membiarkan seorang gadis bermimpi rupanya”

“Tidak, aku hanya realistis-”

“Aku lebih memilh kebutaan daripada menjadi anak perempuanmu. Mereka mungkin akan menangis terus menerus hingga kau beristirahat dalam kuburmu untuk selama-lamanya”

“Baiklah! Baiklah, mari kita dengarkan duniamu ini lagi”

Rosa tersenyum menampakan giginya yang bersih, menatap kosong dalam kegelapan abadi disana, tak pernah tahu aku sedang menatanya sedalam orang yang sedang digilai cinta.

“Kurasa akhirnya aku tahu seperti apa warna biru itu”

Aku kaget mendengarnya.

“Sebelum aku mendengar lebih lanjut, aku harus mengatakan bahwa warna biru tak ada hubungannya dengan musik blues dan apapun yang dekat dengan itu. Hanya untuk mengesampingkan kesalahpahaman saja, kau tahulah..” ucapku sebelum lebih lanjut.

“Siapa orang idiot yang pernah menyamakan warna dengan musik?”

“Oke”

Mendengar nadanya yang tiba-tiba serius membuatku sedikit percaya. Tapi tentu saja aku tak akan pernah yakin.

“Aku melihatnya didalam mimpi dan terkadang disini”

Ini yang lebih tidak mungkin, pada dasarnya Rosa tak pernah sekalipun tahu warna biru itu seperti apa karena ia buta semenjak lahir. Otaknya takkan bekerja untuk memproyeksikan warna tersebut dalam dunia khayalnya sebaik apapun ia mampu berkhayal. Yang kutebak, Rosa hanya pernah melihat warna hitam yang selalu menemaninya setiap detik didunia ini dan putih ketika ia kedatangan sinar terang dari luar matanya. Rosa mengenal bentuk dan wujud secara tidak langsung dari indra perabanya yang selalu bekerja lebih baik, juga lewat pengajaran tunanetra ia jelas mengenal seperti apakah dunia itu. Lewat buku dan kisah berhuruf Braille Rosa mengerti bagaimana dunia ini berjalan sekalipun ia hanya dapat membayangkannya dari kasur ini.

Jika hal-hal kecil tersebut disatukan, Rosa tak perlu punya mata untuk membuat dunia sendiri. Bentuk-bentuk abstrak yang ia ketahui lewat sentuhan tangan dan kata-kata dalam kisah, walaupun sedikit meleset, seperti contohnya buku yang tadinya ia pikir selembar kertas yang luar biasa besar karena mampu memuat ribuan huruf, ia mungkin mengira pohon punya tangan atau ikan punya kaki, namun bentuk-bentuk tersebutlah yang ada didunia Rosa.

Rosa hanya tahu hitam dan putih, kedua warna tersebut mewarnai dunia abstraknya dengan mengerikan.
Dan suara-suara yang tak pernah ia ketahui darimana asalnya menghantui disana, sebagai tunanetra indra pendengaran Rosa mampu mengenal manusia lewat perbedaan suara sebagaimana mata biasanya membedakan rupa.

Sesungguhnya dunia Rosa amat hampa dan mengerikan, aku tak pernah mengerti bagaimana ia bertahan selama ini, ia bahkan sudah hidup lebih lama dibanding diriku.

Tetapi masuknya pengetahuan tentang warna lain adalah tidak mungkin. Rosa mengenal nama warna, biasanya ada pada deskripsi benda dalam cerita seperti langit yang biru, daun yang hijau, mobil yang putih, atau hitamnya kegelapan.

Dan ia mengakui pernah melihat hal tersebut secara langsung. Lewat mimpi. Bukankah kau takkan memimpikan apa yang kau tak ketahui? Sekalipun kau memimpikan matahari yang menabrak bumi, setidaknya kau tahu seperti apa Matahari dan seperti apa Bumi.

“Hoo, mimpi ya? Seperti apa mimpimu tuan putri?”

“Biru, hari itu dipenuhi warna biru hingga dalam mimpiku biru masih dapat kulihat dan kurasakan”

“Aku benar-benar tak mendapat informasi apapun dari kalimatmu barusan”

“Oh, mungkin kau tahu warna biru itu seperti apa bukan? Kau dapat melihatnya dengan jelas lagipula. Tapi aku benar-benar melihat biru di hari itu”

Benar-benar tak dapat kumengerti.

“Langit itu biru bukan? Aku membacanya dimana-mana dan aku tahu di langit juga ada awan yang perlahan merayap dibawahnya. Ibu selalu bilang awan seperti kapas putih yang terbang dan aku bisa bayangkan bagaimana benda tersebut melayang di angkasa, dihadapan langit biru yang tenang”

Jadi intinya dia tahu warna putih dan bentuk kapas hingga ia tahu langit itu diam dan tak bergerak?

“Langit biru yang tenang, semilir angin membawa kapas-kapas diudara melayang perlahan, hangatnya sinar matahari dari langit yang membuat mataku dipenuhi cahaya keputihan bila memandang kearahnya. Ketika itu terjadi aku bisa melihat seperti apa warna biru itu”

Apa maksudnya itu, dia dapat melihat warna biru hanya karena merasakan hal-hal barusan?
Barangkali itulah Sinestesia yang tak pernah kusangka akan terjadi.

Sinestesia terkenal sebagai sebuah majas dalam pelajaran sastra namun sebenarnya hal tersebut adalah sebuah fenomena psikologis yang hanya dapat terjadi didalam otak manusia. Sinestesia adalah ketika seorang manusia merasakan apa yang seharusnya tak bisa dirasakan sebuah indra melalui indra lainnya. Sering sekali terjadi, seperti ketika merasakan asamnya jeruk nipis di lidah hanya karena mencium baunya atau melihatnya, juga ketika melihat benda bewarna merah akan membuatmu merasakan rasa manis, dan yang umum adalah merasakan dingin yang tak wajar didalam ruangan gelap.

Aku tadinya tak percaya hal ini, terkadang pengetahuan tentang alam bawah sadar manusia membuat semua hal logis terkesampingkan dan mustahil dunia dapat berputar tanpa logika secara keseluruhan.
Tetapi karena Rosa-lah yang terkait, juga hidupnya didalam dunia khayal, kurasa aku harus percaya.

“Lalu setelah hari itu berakhir, aku kedatangan tamu yang ternyata adalah Ayah. Dari sinilah aku yakin seperti apa warna biru itu”

“Heh? Bagaimana bisa?”

“Ayah selalu bicara pelan bila bersamaku, suara pelannya seperti semilir angin, dirinya memancarkan cahaya yang membuatku yakin dia berada dimana, selalu menyemangatiku dan bilang suatu hari nanti aku akan bisa melihat indahnya dunia walaupun aku tak pernah menginginkan itu. Ayahku tenang seperti langit biru”

Apa-apaan itu? Aku pernah mendengar sesuatu yang menghubungkan antara biru dan ketenangan di suatu tempat. Ya, kurasa ketika itu aku membaca artikel terkait dengan nama-nama warna dan arti dibaliknya, disebuah majalah yang pernah kutemukan disini terakhir kali aku berkunjung.

“Tu..tunggu, ada banyak hal yang harus kukomentari..., sebentar...” ucapku sembari membolak-balik tumpukan majalah di meja dekat sana.

“Haaah? Kenapa?”

“Dan, nah, ini dia...”

Rupanya artikel majalah ini yang membuatnya yakin soal seperti apa warna-warna itu, mungkin ibunya tahu soal Rosa yang penasaran seperti apa warna itu dan iseng-iseng membacakan artikel tersebut kepada Rosa. Dan jelas ini membuatku kesal, pernyataan Rosa tentang warna biru barusan membuatku harus berpikir sejauh Sinestesia sedangkan penyebabnya hanya selembar halaman merah muda dalam majalah remaja yang berisi bualan-bualan dan terbit nyaris tiap minggu.

“Ke..kenapa kau terdengar kesal?”

“Oh, tidak, sebenarnya ini hanya diriku yang berpikir terlalu dalam soal masalah tak penting. Jadi, biru adalah ketenangan, putih adalah kesucian, merah adalah keberanian, pfft..”

“Heee, darimana kau tahu aku menebaknya dari sana?”

“Kau gadis pada dasarnya, aku tak boleh lupa itu. Ahaha”

“Memang ada masalah apa dengan menjadi seorang gadis?”

“Kau akan percaya bualan 10 kali lebih sering dibanding lelaki”

“Itu tak masuk akal! Lagipula mengapa kau menganggap arti-arti warna itu bualan?”

“Tentu saja tak benar, orang yang menentukan arti tersebut hanya tak mengerti seperti apa seni dibuat dan mengapa warna diciptakan tanpa arti tertentu. Mereka seharusnya berkumpul menjadi satu dan mempunyai hanya satu arti, yaitu keindahan”

“Dan kau sedang berbicara dengan seseorang yang tak pernah melihat keindahan apapun, kau jelas membuang-buang waktumu”

“Hmm, kau akhirnya terdengar seperti seseorang yang ingin disembuhkan”

Mendengar hal tersebut Rosa memalingkan wajahnnya yang malu ke arah lain agar aku tak dapat melihatnya.
“Si..siapa yang mau disembuhkan? Aku puas kok hidup seperti ini! Aku bisa melihat tanpa mataku dan selamanya tak butuh hal itu”

“Ohh” ucapku diperpanjang beberapa detik.

“Mungkin aku ingin melihat warna! Hanya warna dan itu mungkin! La..lalu ada seorang idiot tertentu yang melarangku melihatnya dan mengatakan bualan soal keindahan-keindahan”

“Pendonor mata memang langka, tapi kupikir bila kau minta peminatnya akan banyak. Apalagi bila penerima donornya gadis cantik”

“Po...pokoknya kalau kau bicarakan ini kepada Ayah, aku bersumpah takkan pernah mau menemuimu lagi!”
“Ahaha, oke-oke”

Mungkin orang-orang selalu kebingungan benda apa yang terlalu indah untuk dipuji, beberapa mungkin bilang lukisan tentang indahnya dunia yang tak pernah dilihat banyak orang, banyak lainnya bilang puisi dan syair yang mampu membakar hati dan jiwa tanpa api, sekian banyak lainnya lantunan musik yang membuat dirimu tak bisa mengendalikan diri, dan tak sedikit yang bilang seluruh alam semesta ciptaan Tuhan. Bagiku barangkali adalah ketidaksengajaan yang Tuhan berikan.

Tentu saja aku punya alasan mengapa aku memuja hal tersebut sebagai mahakarya luar biasa padahal aku punya kelima indra yang berfungsi baik dan dapat mendengarkan musik megah, lukisan artistik, syair mewah, dan lainnya. Tapi hal ini jauh lebih pantas untuk kau bilang indah.

Seumpamanya begini, kau adalah seorang anak dari seorang pria. Pria tersebut tentunya ayahmu, dia luar biasa keras kepala dan sok kuat sehingga ia takkan pernah mau dibawa kerumah sakit sekalipun penyakit menyerangnya. Dengan membayar mahal uang yang tak mungkin seharga dengan perjuanganmu, ia akhirnya bisa masuk ke rumah sakit tertentu.

Sekarang kau adalah lelaki tertentu didalam rumah sakit tertentu. Rumah sakit luar biasa megah dengan ribuan pintu dalam jumlah tertentu. Kau juga berada diatas dunia tertentu dengan miliyaran manusia yang hidup diatasnya. Ditengah daerah tertentu dengan jumlah penduduk tertentu.

Lalu kau pikir berapa juta kemungkinan yang bisa terjadi bila kamar ayahmu berada disamping sebuah kamar tertentu, diatas lantai yang sama, diposisi yang bersebelahan sehingga kau tak lagi tahu ada berapa kesempatan yang mungkin terjadi di kantor administrasi rumah sakit tersebut atau dimanapun takdir tercantum. Agar hal tersebut dapat menjadi nyata.

Didasari peluang antara seratus milyar manusia normal dan sehat yang hidup didunia ini dengan ratusan orang yang punya kebutaan semenjak lahir ditambah ratusan pintu rumah sakit yang berada disana, sejumlah lantai yang ada, ratusan orang yang akan memberitahukanku ruang yang tepat. Aku membuka pintu yang salah hari itu.

Ayahku menunggu dikamarnya, disamping ruang yang salah kumasuki hari itu.

Lalu terjadilah pertemuan yang telah dicatat takdir, disaat itu aku masuk tanpa menyadari apapun. Apapun selain kenyataan bahwa aku menatap seorang bidadari yang luar biasa cantik diatas kasur dengan berselimut dan menatap kosong. Dengan sebuah apel ditangannya.


Aku tak pernah mau sadar, ataupun melihat papan diujung kasurnya mengenai kondisi sang bidadari bahwa ia buta.

“Hmm..? Apa ada orang disana?”

Terkesiap, luar biasa kaget, merasa diberkahi karena mendengar suara indahnya. Akupun bercicit.

“Ah.., err.. maaf, aku salah masuk ruangan.., aku akan keluar sekarang, bye..”

“Tunggu! Tunggu sebentar, aku butuh bantuanmu...”

Baru saja ingin kututup pintu kamar itu, tiba-tiba saja pintu surga telah dibukakan untuku.

“Aku, kurasa aku sedikit ceroboh, bisakah kau mengambilkan pisau yang kujatuhkan?”

Melihat pisau yang tergeletak dilantai, sebuah apel segar berwarna merah ditangannya, dan seorang bidadari buta yang berniat mengupas apel. Aku merasa bingung.

“Jangan bilang kau ingin mengupas benda itu.., itu terlalu ekstrim”

“Tak ada pilihan lain, aku lapar, ibuku pergi. Tapi aku punya tangan, sebilah pisau, dan apel”

“Bagaimana bila pisaunya malah mengiris tanganmu?”

“Aku masih punya tangan lainnya”

“Oke, sudah kuduga ini terlalu ekstrim. Kemarikan benda-benda itu, biar aku yang lakukan..”

“Ah, ehh. He..” keluhnya dan ia tampak kebingungan ketika aku merebut apel dan mengambil pisau dilantai. 
Untung saja dia tak bisa lihat wajahku yang luar biasa merautkan kegelisahan dan canggung.

“Namaku Rosa..” ucapnya sambil memakan potongan pertama yang kuberikan padanya.

“Kau?”

“A..aku hanya orang yang salah masuk kamar.., aku akan segera pergi dari sini setelah.., ini.”

“Kau terdengar seperti seorang laki-laki, tapi bicara sehalus gadis”

“Ahaha, aku terlahir demikian. Mohon maaf”

“Tenang saja. Aku tidak benci orang baik”

“Malah barangkali suka”

Ini membuatku frustasi, kejadian semacam ini akan terus menerus berada didalam mimpiku untuk waktu yang sangat lama. Ditambah lagi ia hanya membuka mulutnya sebagai kode agar aku memasukan sepotong apel kesana, lalu bibirnya yang basah karena sari apel, rambutnya yang terurai, terawat namun tak tersentuh modis. Wajahnya yang manis berseri ketika apel manis itu menyentuh lidahnya. Aku bisa gila.
Aku berterimakasih pada tuhan, mencoba berkawan baik dengan takdir, menerima cobaan, menghadapi rintangan. Lalu menikmati berkah.

Hari ini juga begitu, jika saja bukan pemberian berkah ini dan rencana indah dari takdir, mana mungkin aku akan dapat mendengar celoteh lain Rosa tentang warna hijau. Menunggu hingga ibunya pulang dari kantor atau ayahnya berkunjung sebagai kepala rumah sakit yang menempatkan anaknya sendiri disini. Aku punya alasan berada disini. Secara fakta, aku disini karena ayahku berada diruangan sebelah, namun secara keinginan hatiku yang paling dalam, aku ingin melihat Rosa setiap ada kesempatan. Tak peduli apakah itu hanya beberapa detik yang akan sirna dengan cepat.

Ada sebuah kegundahan yang benar-benar tak bisa kuhapuskan. Bila suatu hari nanti Rosa disembuhkan, apakah ia akan meninggalkan tempat ini, melupakanku, memulai hidupnya yang normal, memulai menstratifikasi manusia, keadaan, takdir, ide, dan semacamnya? Dan apakah aku rela?

Memang Rosa bersikeras bahwa ia menikmati hidupnya walaupun sebatas kegelapan yang takkan pergi dari dunia indah yang seharusnya dapat ia lihat. Buktinya ia menolak dioperasi atau menerima donor. Tapi, sekalipun takdir mempertemukan manusia sekalipun seharusnya tidak mungkin, ia senantiasa memisahkan siapapun yang berada dibumi sekalipun hal itu juga tak mungkin terjadi.

Seberapapun besarnya cinta yang ia miliki kepada semua orang yang ia sayangi, kematian takkan terhenti. Kematianlah pilihan terakhir sang takdir untuk memisahkan para manusia dengan orang yang mereka sayangi.
Karena itulah manusia takut kepada kematian.

Sekalipun mereka bilang tidak, mereka hanya berbohong.

 “Hey! Sudah kuduga, kau tidak mendengarkanku sama sekali!” ucap Rosa ketika ia sampai pada warna kuning tanpa kusadari sedikitpun.

“Eh? Aku mendengarkan kok, aku mendengarkan”

“Bohong, daritadi kau bengong”

“Tahu dari mana?”

“Biasanya kalau aku bicara ngawur, kau akan protes lalu berceramah panjang”

“Aku tak punya pilihan lain, semua yang kau katakan tak masuk akal sama sekali”

“Ngg, jahat. Terlalu jahat! Aku kan bicara asal agar kau balas bicara padaku”

“Mengapa kau ingin sekali aku protes?”

“Kau diam mulu sih semenjak tadi.., kau kan juga tahu...”

“................jam besuk itu terbatas” ucap Rosa, mencoba memalingkan kepalanya jauh dari tempat dimana suaraku berasal. Mungkin agar aku tak dapat melihat wajahnya memerah.

Aku tersenyum diam-diam, jarang Rosa seperti ini. Biasanya ia sok misterius seharian tanpa sadar bahwa dia sebenarnya pemalu.

Mungkin inilah mengapa manusia tidak pernah memikirkan kematian terus menerus.


Hidup itu luar biasa konyol.

0 komentar: