Eremophobia, Isolophobia, Monophobia
Cerita
ini selalu diceritakan kembali dari mulut ke mulut. Tak ada yang tahu
kepastiannya namun benar-benar terjadi.
Pernahkah kau membayangkan..
Suatu pagi ketika kau terbangun dari mimpi burukmu tentang hasil pertandingan baseball tim favoritmu yang berakhir menyedihkan.
Kau menyadari bahwa kau adalah manusia terakhir didunia ini?
Itu terjadi padaku.
Aku tidak berbohong, apalagi melebih-lebihkan.
Aku benar-benar sendirian.
Sendirian bukan karena aku dikucilkan di
sekolah, lebih konyol lagi bila kubilang aku sendirian karena orangtuaku jarang
pulang kerumah.
Aku sendirian karena aku adalah manusia
terakhir di bumi.
Kupikir hari itu adalah Selasa yang panjang,
ketika aku terbangun sambil melompat dari ranjang, yang tanganku tuju pertama
kali adalah kacamata. Aku termenung, melihat jam weker yang biasa
membangunkanku pukul 06.30 tidak berdering karena sudah hancur berantakan
dibawah meja.
Lebih termenung lagi ketika aku menghirup
udara pagi yang sejuk, namun tak tercium sedikitpun bau masakan ibu yang biasanya
menyerbak hingga aku dapat mengenakan seragamku sambil terburu-buru kelaparan.
Melesat melalui lorong dimana jam dinding
berada, aku mendapati benda itu tak bergerak.
Aku mengetuk kamar adik perempuanku yang
tertutup, karena tak ada jawaban aku hanya berteriak bahwa kita akan terlambat
bila tak buru-buru.
Hingga ketika aku menuruni tangga, aku
mendapati meja makan bersih tanpa apapun berada diatasnya. Disini jantungku
tiba-tiba berdenyut keras hingga dapat kurasakan. Entah mengapa, sebuah asumsi
mengerikan baru saja melintasi pikiranku.
Apa mereka semua sudah berangkat? Bila benar begitu, ini artinya akulah yang luar biasa telat bangun.
Ibu mungkin pergi ke supermarket, yeah, disaat
itu aku berpikir sehat, tanpa sedikitpun mencampurnya dengan non-realitas dari
film-film dan Manga.
Aku mencoba cek jam pada ponsel sebagai
pilihan terakhir karena entah mengapa jam diseluruh rumahku hancur berantakan.
Namun jantungku lagi-lagi berdenyut keras, dan khayalan mengerikan lagi-lagi
melintas. Seakan tak pernah ada disana, seakan tak pernah ada data yang
menyusun wujud dan imej angka dua digit, titik dua, angka dua digit, seakan aku
telah meng-unninstalaplikasi penunjuk
waktu. Aku membisikan kata pada diriku sendiri. ‘Hey nak, kau tidak akan pernah
bisa melihat waktu lagi’.
Merinding, aku memutuskan untuk bergegas
keluar rumah. Dari sinilah aku benar-benar yakin ada yang tidak beres terjadi.
Ketika itu aku melihat sepatu kerja ayahku, sepatu sekolah adikku, bahkan
sendal rumah ibuku masih berjejer rapih didalam rak, aku kebingungan sambil
menggaruk belakang kepala dengan putus asa. Aku berbalik, barangkali aku salah,
itu optimisme yang paling tidak bisa kupertahankan. Aku membuka kamar
orangtuaku, dan benar-benar tak ada siapapun disana.
Jam dinding kamar mereka juga hancur.
Bulu kudukku berdiri, kubuka jendela kamar itu
dengan tanganku yang bergetar tidak wajar.
Ketika itu bumi benar-benar sunyi.
Kemanapun aku memandang, tak ada satupun orang
diluar sana. Masih tak percaya dengan fakta, aku berlari sekencang mungkin
kearah televisi. Ia mampu menyala dengan baik tanpa rusak sedikitpun, lagipula
ini TV bersatelit, tak mungkin sinyalnya terganggu. Namun ada satu masalah.
Di hari dimana kupikir aku adalah manusia
terakhir didunia ini, kebetulan tak ada satupun stasiun televisi yang tayang.
Diseluruh dunia? Ya, diseluruh dunia. Bukankah timingnya terlalu tepat? Tanyaku
pada diri sendiri.
Aku menemukan sebuah channel yang mengudara, aku mencoba rileks sedikit untuk pertama
kalinya dalam hari ini. Namun aku salah, ada sebuah konter dapur milik sebuah
acara tertentu yang nampaknya sedang mencoba menjelaskan cara membuat Ramen manis, seperti merek sponsor acara
itu. Masalah lainnya, kebetulan juga didalam acara tersebut tak ada satupun
orang yang berdiri di konter untuk melakukan demonstrasi pembuatan makanan
tersebut. Mengisyaratkan bahwa pada saat acara ini tayang, sebuah kejadian
terjadi. Kejadian yang membuat seluruh manusia di bumi ini lenyap.
Kecuali aku.
Dengan masih mengenakan seragam, aku berjalan
masuk kedalam kota. Berharap menemukan petunjuk dari fenomena mengerikan ini.
Mobil-mobil berserakan ditinggal pemiliknya, banyak dari mereka yang mesinnya
masih menyala, toko-toko kosong dengan pintu yang terbuka. Aku menatap kedalam
sebuah supermarket, tanpa kasir ataupun penjaga dengan berton-ton makanan
tersimpan disana. Tak lama kemudian aku melewati toko alat elektronik, tanpa
penjualnya, tanpa penjaga juga.
Kujumpai sebuah gedung pencakar langit yang
biasanya adalah sebuah kantor perusahaan bahan bakar, entah apa yang kupikirkan
namun kukira dari atas sana akan kutemukan apa yang kucari.
Aku benar-benar menemukannya.
Aku tidak menemukan pentunjuk apapun, namun sekarang aku tahu aku benar-benar sendiri.
Dengan menggunakan lift, gedung setinggi 25
lantai mudah saja kau tempuh dalam waktu tak lebih dari 3 menit. Tapi yang jadi
masalah adalah, ketika berada disana, akhirnya aku mengerti apa yang sedang
kuhadapi.
Dari sini aku dapat memandang kota secara
penuh, tanpa adanya satupun tanda-tanda kehidupan dari sebuah ras yang menguasai
bumi beserta isinya. Aku mencoba santai, mencoba tak memikirkan apapun yang
berhubungan dengan kejadian ini. Aku mencoba menganalisa kejadian ini, mencoba
membayangkan apa yang mungkin terjadi dan apa yang sedang kuhadapi.
Bila barangkali diluar sana kutemukan satu
orang saja, aku akan sangat bahagia. Barangkali bila ia perempuan ras kami akan
terselamatkan, toh itu menjadi kewajiban. Dengan kotor kubayangkan apabila
ternyata seorang gadis cantiklah perempuan terakhir di dunia.
Lalu kusisihkan pikiran tersebut, ketika mengingat kembali tentang bagaimana aku berada disini.
Aku tak melakukan apapun secara spesifik, aku
hanya tidur, tidur tanpa mimpi setelah malam pendek dimana aku mengantuk secara
tak wajar pada pukul 8 malam. Apa mungkin hal tersebutlah yang menyebabkan aku
masih berada disini? Itu terlalu sepele bila kupikirkan dan kuasumsikan bahwa
aku masih berada disini bukan karena aku beruntung.
Aku masih berada disini karena aku sial,
mungkin pada pukul setengah 9 malam tadi, ada sebuah berita yang mengabarkan
dunia akan kiamat, atau dunia akan segera hancur karena kejadian tertentu. Jadi
manusia harus mengevakuasikan dirinya ketempat lain selain bumi. Lalu dimanakah
tempat lain tersebut? Luar angkasa kah? Dimensi lain kah?
Atau terjadi epidemi luar biasa dimana manusia
terjangkit virus mematikan yang membuat mereka mati-lenyap menjadi embun?
Atau alien menginvasi bumi di malam ketika aku
tidur dan tentunya tanpa sepengetahuanku, lalu ketika dataku di proses, mereka
membacaku sebagai seekor sapi dan bukan manusia sehingga aku tak dibawa pergi?
Tidak, itu terlalu fiktif, bahkan terlalu
bodoh.
Well, bila aku satu-satunya manusia di bumi,
itu juga berarti akulah satu-satunya orang yang menguasai bumi.
Itu hal positif yang pertama kali kukatakan.
Dan itu juga berarti satu hal yang pasti.
Aku bebas.
Suara kaca pecah mengiringi pendobrakanku yang
sukses kedalam supermarket, aku mencoba bahagia, seperti seorang anak kecil
yang kedapatan satu truk permen, kuangkat tanganku beserta kampak darurat yang
kudapatkan didekat alarm kebakaran, akan jadi senjata yang ampuh bila kutemukan
alien sungguhan atau barangkali makhluk dimensi lain.Ketika berada didalam
supermarket dan menyadari semua yang berada disini adalah milikku. Aku luar
biasa kegirangan.
Dengan gesit kuambil tiga troli dari tempat
parkirnya, dan kuseret kemana-mana satu demi satu hingga mereka dipenuhi
makanan. Sebuah produk rata-rata memiliki batas kadarluarsa beberapa bulan
kedepan, namun banyak lainnya yang punya waktu yang sangat lama. Tapi aku tak
pilih-pilih, kuambil yang sekiranya mencolok dan enak, mulai dari Ham mentah
hingga keripik kentang yang menguarkan wangi surga daging ketika bungkusnya
dibuka.
Berlaku juga untuk berkaleng-kaleng minuman.
Dan ini adalah satu dari belasan supermarket di Distrik pembelanjaan.
Kuhampiri kembali toko elektronik yang pagi
tadi kulewati, kurenggut semuanya, entah itu *SP, P*3, XBO*, *II, sesuatu yang
diakhiri Vita, semuanya, segalanya! Dan semua kaset yang ada disana, aku tak
peduli apa genrenya, semuanya kumasukan kesalah satu troli bersama alat
elektronik lain.
Televisi hanya akan membuatku kehabisan tempat
dalam troli, lagipula TV layar datar dirumah sudah menjanjikan, ketika itu
kujumpai seperangkat komputer disebuah toko elektronik yang lebih besar dari yang
kumasuki sebelumnya, mereka punya lambang semacam alien. Menarik, besok siang
aku akan kembali disini, jadi jangan pergi kemana-mana dulu.
Ucapku, pada seperangkat komputer.
Aku mendorong tiga troli dengan membuatnya
berbaris, butuh tenaga ekstra, namun bila tak dipikirkan takkan terasa
lelahnya.
Sejam yang lalu ketika aku mulai menjarah, aku
mencoba melupakan bahwa aku sendiri. Aku mencoba berpikir positif, aku mencoba
mengatasinya. Namun fakta takkan pernah berubah, selamanya aku akan berada
disini sendirian, diatas bumi yang ditinggalkan. Lalu mati suatu hari nanti.
Beberapa hari berlalu begitu saja.
Aku membuatnya dari papan-papan besar yang
mampu kutemukan, lalu memakunya disana bersama dengan papan lain, dengan cat
kutuliskan “Aku ada disini”.
Aku juga sudah mengecet ulang semua papan reklame besar didalam kota, menunjukan arah kerumahku, hingga suatu hari nanti ‘barangkali’ seseorang melewatinya.
Setiap hari ke supermarket yang berbeda,
kukendarai sepeda motor apabila aku perlu pergi ketempat yang lebih jauh,
kucoba belajar menyetir mobil dengan menghancurkan beberapa mobil kosong disana
yang tidak kehabisan bensin. Aku idiot ketika belum menyadarinya, karena
mobil-mobil tersebut ditinggalkan dalam keadaan menyala, banyak dari mereka
yang kehabisan bensin hingga 3 hari pertama.
Aku mungkin bisa saja hidup beberapa bulan
kedepan, hingga seseorang menemukanku.
Satu tahun berlalu.
Sering sekali kujumpai beberapa produk makanan yang sudah basi, bila barangkali tak berubah bentuk atau warna, aku tak keberatan memakannya dengan bayaran sedikit sakit perut. Mau bagaimana lagi? Aku sudah tidak makan dua hari ini.
Aku sudah menjelajahi beberapa kota terdekat, menjarah apapun yang masih ada, namun rasanya percuma.
Kuharap waktu tak berjalan sebagaimana seluruh jam didunia yang tak pernah berdetik lagi, namun harapan itu kupastikan kosong. Aku masih belum tahu mengapa jam-jam itu berhenti, bukan hanya di rumahku atau di kotaku, semua jam berhenti didunia tanpa terkecuali.
Setengah bulan berikutnya.
Selamat tinggal dunia. Ucapku pada diri sendiri.
Aku meringkuk kedinginan dipojok rumah,
biasanya bila tidak sedang mencari makan aku menghabiskan waktu untuk bermain
game, toh ada belasan konsol berbeda disini. Namun sekarang sudah berakhir,
bahkan bola lampu takkan menyala lagi, listrik sudah tidak mengalir di bumi.
Begitu juga semangatku untuk hidup sekitar 3 hari yang lalu. Yang bisa
kulakukan hanyalah duduk dipojokan, membiarkan rasa lapar dan haus membunuhku.
Aku sudah tidak menemukan makanan yang bisa
kumakan di supermarket. Berburu hewan beberapa kali kulakukan dalam beberapa
minggu, entah itu anjing kelaparan atau tikus kurus, semua yang kutemukan akan
kulahap, hingga sudah tak kutemukan mereka lagi dalam beberapa minggu terakhir.
Aku tak bisa mengingat berapa hari aku tak makan apapun. Dan juga kuharap aku
mati satu jam kedepan.
Mati, aku ingin mati.
DOK DOK DOK
Mataku terarah menuju pintu ketika suara itu
terdengar, seorang manusia terakhir diatas bumi baru saja mendengar sebuah
ketukan keras pada pintu rumahnya. Tapi itu tidak mungkin, pernah kuhadapi
hal-hal semacam ini, seperti waktu kukira seseorang mengetuk jendelaku padahal
ranting pohon, atau air yang menetes pada sebilah kayu ditambah sebuah gaung
dan menjadi suara ketuk yang sempurna.
DOK DOK DOK
Suara ketukan ini lebih keras, tidak berirama
seakan sebuah tangan dengan terburu-buru yang melakukannya. Aku tak pernah tahu
lebih pasti bila tak mengeceknya. Ya, aku takkan pernah tahu. Lalu ketika aku
berada disana, aku akan dikejutkan oleh sebuah tipuan alam lainnya yang
terdengar seperti ketukan pintu.
DOK DOK DOK
Itu bukan manusia, aku ini manusia terakhir
yang hidup di bumi. Sudah kubuktikan dengan berkeliling negeri ini ketika
setengah tahun sendirian. Jujur saja aku tak pernah tahan keadaan itu namun aku
tak bisa melakukan apapun lagi, aku sudah berusaha sekuat yang kubisa untuk
tetap—
DOK DOK DOK
Itu manusia! Itu manusia yang juga hidup
selama satu tahun ini, aku akan menghampirinya, akan kubuka pintu itu lalu
terjun kearahnya, aku akan menciuminya, memeluknya, apapun untuknya walaupun
dia bukan perempuan sekalipun.
Aku tak mau sendirian. Aku tak mau sendirian lagi.
Aku ingin hidup.
Dengan sekuat tenaga aku mencoba berdiri,
membawa kampakku yang tak pernah memercikan darah selain darah hewan, aku
mungkin tak yakin dia manusia sekarang, semua sudah kupikirkan kembali, aku tak
pernah melihat manusia sekelebatpun atau menyadari tanda-tanda kehidupan selama
tinggal disini. Bisa saja dialah alien yang menginvasi bumi, atau makhluk
dimensi lain yang mencoba menjarah dimensi ini.
Aku akan membunuhnya.
Tapi aku tak pernah sampai, kurasakan cahaya
semakin dekat, dari atas langit, dari bawah tanah, cahaya bermunculan.
Kematianpun mendekat.
Aku akan mati, kematian akan menjemputku.
Aku harus melihatnya, agar membuktikan aku ini
bukan manusia terakhir.
Tapi dia bisa saja bukan manusia.
Lalu bagaimana bila bukan? Ayunkan kampak?
Kurasa cukup simple juga.
DOK DOK DOK
Langkah demi langkah kuambil, aku sudah tak
kuat berjalan bila tak ada gedoran pintu itu.
Kau ingin hidup. Kau tak mau menyerah begitu
saja.
Ayunkan kampak! Dia bukan manusia.
Dia manusia, aku bisa yakin itu.
Percuma saja, kau takkan pernah sampai pintu
itu, kematian berbisik.
Aku akan menjemputmu disini.
Sudah kubilang dia bukan manusia! Buka
pintunya, bunuh dia.
Kalian akan hidup bahagia selamanya, lalu
mencari manusia yang selamat lainnya atau menyelamatkan ras dari kepunahan bila
dia perempuan.
DOK DOK DOK
Dia alien! Dia monster dimensi 12! Kampakmu
mematikan! Bunuh!
Aku tak bisa membiarkanmu lebih dari ini. Kau
akan pergi sekarang.
Kumohon kematian, bersabarlah, aku hanya butuh
tiga langkah lagi.
Manusia mampu bertahan hidup, ingatlah
harapanmu soal masa depan kemanusiaan!
BUNUH! BUNUH! BUNUH!
Ketika aku berhasil menyentuh gagang pintu.
Aku tak merasakan apapun kecuali rasa lega.
Rasanya cahaya telah bersatu, menutupi segala pandanganku. Lalu digantikan kegelapan.
Dengan suara seperti seikat ranting terjatuh,
manusia terakhir di bumi meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.
Panjang bener tulisannya bro, ngos2an baca dari atas sampe bawah, keep writing, salam :)
ReplyDeletehhaha namanya cerita pendek bro~
Deletekalo yang suka baca ceritanya gak kerasa kok bro~
okey thanks dah mampir~
Whoaaaa... Keren nih OwO
ReplyDeleteSugee!~
Domo arigatogo~ :D
Delete