TOP NEWS

Tolong Tinggalkan Komentar yang Baik Sebagai Jejak Kedatangan Anda.

Thursday, 5 September 2013

Bunga itu tumbuh ketika bunga lain gugur





Tidak semua perang dapat dimenangkan. Ketika kekalahan terjadi, kau jelas harus mundur dan bukannya membiarkan pejuang yang tersisa dibantai oleh jumlah yang tak sepadan.

Itu cukup simple, bahkan petarung yang baru 9 kali memegang pedang pun tahu itu.Bila Jendral beserta ahli strategi sudah berkata demikian, tak ada satupun Ksatria yang membantah.

Jelas, tak ada orang waras didunia ini yang mau mati.


Hari ini kami mengalami kekalahan yang luar biasa. Sekitar 1200 dari 7000 orang mati sia-sia tanpa dapat merebut teritori seinci pun.



Lalu tersebutlah seorang Kapten, yang punya jiwa Ksatria paling kuat.

Dia membanggakan dirinya sebagai seorang dari Ordo Ksatria Kerajaan tua, yang mempersembahkan jiwa dan raganya kepada Kerajaan. Dia juga petarung yang handal, tak terkalahkan diatas kuda kebanggaannya, mematikan dengan pedangnya, terkenal hingga pelosok negeri sebagai pembantai paling berbahaya dari Ksatria Kerajaan. Namun sayangnya dia bodoh.


Sir Sebastian Drenswalker, kapten Drenswalker, si tolol Drenswalker, dengan heroik namanya menggema di jalan-jalan kota kapital, mengiringi kuda-kuda yang membawa pulang para bangsawan dan Jendral yang tinggal di kastil. Tanpa sepengetahuan Drenswalker itu sendiri.


Drenswalker telah menjadi pahlawan perang di pertempuran mengerikan itu, ketika perintah Jendral besar telah diucapkan dan sangkakala ditiupkan, dia malah memimpin satu batalion penuh pasukan menghalau ribuan musuh agar tak mampu mengejar ribuan Ksatria lainnya yang melarikan diri. Dia jelas pahlawan, tak mungkin 600 orang melawan 15000 orang dengan persenjataan lebih mutakhir mampu bertahan lebih dari 10 menit, malah kuyakin dia mati sia-sia.

Namun ketika orang-orang berkata bahwa Drenswalker dan pasukannya mampu bertahan lebih dari setengah hari, dan membuat para Ksatria mundur hingga jarak yang tak terkejar, Drenswalker dihadiahi sebuah sebutan sebagai pahlawan. Ia akan dikenal di negeri ini selama-lamanya, Sir Braveous Sebastian Drenswalker. 


Padahal, kejadian sebenarnya kuyakin bukan semacam itu. Secara logis saja, seorang manusia yang sok-sokan mengaku akan bertarung hingga titik darah penghabisan, memang, mengharukan, luar biasa mengharukan. Kondisi psikis yang kuat. Namun hal tersebut tidak mungkin, sangat tidak mungkin menghancurkan ribuan pasukan yang lebih dari 20x lipat secara jumlah, walaupun hanya menahan kurasa juga tidak mungkin bisa selama setengah hari penuh. Belum lagi mereka punya pedang aneh yang bisa menghancurkan pedang-pedang para Ksatria dengan sekali sabet, juga panah mereka pasti kena entah bagaimana caranya, dan selalu di jantung.


Asumsiku, mereka mengulur waktu. Kuyakin juga para pemikir semacam ahli strategi dan Jendral besar juga mengatakan hal yang sama.


Dan tetap saja si Drenswalker ini, dia menjadi pahlawan.

Lalu kenyataan paling perih dari semua ini adalah, takkan ada satupun manusia yang teringat pada 600 orang yang mati bersama Drenswalker.


Drenswalker punya batalion yang dipimpin olehnya, yang juga berisikan orang-orang maniak perang. Derajat mereka adalah diatas para Ksatria lain, tapi itu menurut mereka, dengan menempelkan bulu merah diatas helm sebagai ciri khusus batalion Drenswalker, banyak dari mereka adalah petarung Ordo Ksatria lama, yang seringkali mati tanpa tujuan jelas di jamannya. 

Ksatria-ksatria muda enggan berada disana, aku juga termasuk tentunya, sekarang jaman dimana taktik dan teknologi digunakan secara maksimal, tak ada lagi seharusnya sekelompok orang yang diperbolehkan mati sia-sia. Karena itulah, Drenswalker bersama para idiot itu mendapat reputasi yang buruk dimata kami, para Ksatria ordo baru. 

Well, walau tak seluruhnya, buktinya lihat saja kerumunan dan warga-warga yang menyambut Jendral selagi ia melintas, kesan yang mereka dapat barangkali Drenswalker menyelamatkan ribuan orang lain sekalipun nyawanya yang dibayar.

Kesan yang kudapatkan adalah kami beruntung virus Ordo lama terhapuskan secara langsung.

Tapi tetap saja.

Aku menenteng helm berbulu merah seperti yang dikenakan para prajurit batalion Drenswalker. Ditatap oleh banyak orang selagi melintas, aku juga menenteng helmku yang asli di tangan lainnya, dan ingin sekali aku berteriak bahwa helm berbulu merah ini bukan milikku. Aku tak mau disebut pengecut hanya karena aku tidak mati, dan tunggu dulu, sudah kubilang ini bukan helmku.


Aku hanya kebetulan berteman dengan orang bodoh.


Aku berjalan sepanjang jalan kecil tempat dimana orang-orang kumuh tinggal, jalan utama hanya boleh dilewati para Jendral dan kapten , sedankan kami biasanya hanya berkeliaran disekitar bar kecil atau pos penjagaan hingga perang berikutnya.


Lalu aku tiba ditempat itu, dia berdiri didalam tokonya sambil memetiki daun-daun kering dari tangkai bunga. Dahulu aku mengejek bahwa usaha semacam ini tak ada gunanya, toh bunga tumbuh liar di hutan, dan orang bisa saja mendapatkannya dengan gratis. Lalu aku terdiam ketika banyak sekali gadis-gadis bangsawan yang mampir ke toko kecil ini, Sally beruntung membukanya di jalan utama, berkat itu, aku bisa melirik para gadis kaya yang mampir membeli  yang biasanya tak boleh keluar dari mansion dan kastil nyaris setiap hari.


Aku menumpang tinggal disini, lebih mirip budak dibanding pekerja karena aku nyaris tidak digaji sama sekali. Dan bersama satu temanku dan Sally, kami bertiga menjual bunga-bunga cantik nan indah.


Tapi akan terasa sepi mulai dari sekarang.


“Maafkan aku..”


Sally kaget, namun tak ia tunjukan dengan berteriak atau semacamnya. Lebih mirip reaksi aneh dengan memetik sekelopak penuh bunga mawar yang malang.


“Mendengar kau duluan yang menyapaku setelah seminggu pergi, kurasa aku sudah bisa membayangkannya” ucap Sally, itu jelas, biasanya si bodoh yang akan berteriak bahwa kami pulang dengan selamat. Duluan, dari jarak yang luar biasa jauh.


“Maafkan aku, aku tak mampu membawa si bodoh itu pulang”


Setahun lebih tinggal disini semenjak itu, aku sudah tahu bahwa cinta tumbuh diantara mereka. Sally tak menatap wajahku sama sekali, matanya terpaku pada dua helm dikedua tanganku.


Helm dengan bulu merah menempel diatasnya bergelantungan dilengan kiriku, aku tak bisa bilang pada Sally bahwa ini bukan milik si bodoh, aku hanya memungutnya dari seorang prajurit dari batalion tersebut yang kebetulan mati didekat sana.


“Lalu mengapa kau bawa benda itu? Buang sana, nanti kau dihantui lho”


Aku selama ini tak percaya soal keberuntungan, aku malah tak sadar telah memilikinya karena masih dapat hidup disini. Si bodoh itu, ya, mungkin karena ia selalu ribut dan nyerocos soal keberuntunganlah yang membiarkan kita hidup, akhirnya ia mati juga. 

Mungkin menurutnya setelah 4 kali kalah berperang dan masih hidup, keberuntungannya habis ketika berhadapan dengan perang kelima. Itu memang absurb, tapi harus kuakui orang itu ada benarnya juga, soal ketika kami berperang 4 kali dengan kekalahan besar namun kami berdua masih dapat hidup. Ketika perang didepan danau malah hanya ada 13 orang yang selamat, kami diantaranya.

“Lagipula, aku sudah mengira kalian mati semenjak 2 bulan yang lalu. Jadi aku..”


Pada saat ini aku meyakini Sally sedang dalam depresi luar biasa dan menyelam kedalam pikirannya. Ia bertempur untuk menahan air mata. Lalu ia berbalik begitu saja kedalam toko, membereskan pot-pot yang sudah rapih hingga aku tak yakin apa yang sebenarnya ia lakukan.


“Sana lepas baju zirahmu, cuci lalu jemur diatap. Jangan lupa kau keringkan dahulu agar tidak karatan, lalu aku sudah membuat makan malam untuk kalian”


Kata-kata tersebut terlalu familier, ia mengatakan hal itu nyaris setiap kami berlatih atau pergi berperang, ditempat yang sama dimana aku berdiri dan si bodoh didepanku sambil nyengir-nyengir seperti seorang idiot.


“Jangan memaksakan diri Sally”


“Apa maksudmu? Apa kau mengira aku akan menangis bila Keal tak pernah kembali lagi untuk selama-lamanya?” ucapnya, bola matanya yang hitam membuat ia mudah menyembunyikan air mata. Namun aku tak bisa dibohongi.


“Itu definisi yang cukup panjang untuk kata kematian” ucapku setelah jeda yang agak panjang, membiarkan Sally mendengar suaranya sendiri yang bergaung didalam toko bunga.


“A.aku tidak.., maksudku aku tak mungkin..., aku sudah sering mendengar soal kawanku yang meninggal entah karena perang atau penyakit, jadi kupikir ini sudah biasa..”


“Mana mungkin kematian terasa sudah biasa! Aku kecewa padamu dan sikapmu!”


“Apa maksudmu? Aku benar-benar tak mengerti apa yang coba dapatkan”


“Aku datang kesini, sengaja membawa helm berbulu merah mirip dengan miliknya, aku berharap melihatmu lebih manusiawi, mencurahkan segala gundah yang ada dihatimu karena harus melihat aku dan Keal pergi setiap sangkakala perang ditiupkan, hingga kali ini hanya aku kembali sendiri. Tapi yang kudapatkan hanyalah.., hanyalah..”


“Ramon! Kau pikir Keal akan kembali bila kulakukan itu? Apa kau berharap aku akan menangis menjerit-jerit lalu mengutuk Tuhan karena mengambil Keal pergi? Kematian bukan untuk ditangisi, kematian ada untuk kita sadari bahwa kita tak hidup selamanya. Kau sendiri yang mengatakan itu bukan?”


“Tapi ini Keal! Kau pikir ada Keal lain didunia ini? Aku tak mungkin bertemu dengannya lagi, aku tak bisa punya sobat bodoh yang mengira dunia ini berbentuk serupa dengan muffin ,kau mungkin luar biasa cantik hingga mudah mencari kekasih pengganti ketika yang satu telah—“


PLAK!!!


Aku tak mengerti, apakah ini rasanya dirasuki iblis? Apa mungkin amarah telah membakar seluruh kesadaranku hingga aku tak bisa mengendalikan apa yang kukatakan?


Lalu kurasakan memar menyengat dipipi kanan yang membuat pikiran, emosi, kesedihan, depresi, dan segala hal yang menyelubunginya setelah kudengar batalion gila  tak meninggalkan medan perang. Bersama seorang sahabat yang tak mungkin kembali kesini lagi.


“Kendalikan dirimu”


“Ma..maafkan aku...”


“Apa gerangan yang terjadi padamu? Aku tak pernah melihatmu kehilangan kendali layaknya gadis bergaun berpikiran dangkal”


Aku mengingat-ingat. Ketika mendengar sangkakala bertiup 4 kali yang berarti bubarkan perang sekarang juga, disertai sahutan-sahutan dengan maksud bahwakita semua harus mundur, Drenswalker bodoh itu berkuda sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. 

Ia berkata sesuatu yang tak kudengar dengan jelas, tentang pengabdian hingga titik darah penghabisan, tentang dunia yang takkan pernah berdamai dengan pengecut dalam peperangan masih berdiri dibelakang kita, menunggu kita mati sebelum bertindak. Lalu tentang kecantikan sang Ratu hingga ia berani mengorbankan nyawanya untuk mati di ditusuk sebilah pedang dibanding menua.

Seperti sebuah hipnotis, seketika beberapa orang disekitarnya ikut mengangkat pedang tinggi-tinggi, kavaleri berderap bersama Drenswalker, infantri bergerombol menembus gelombang manusia yang berlari untuk mundur. Kulihat diantaranya, seorang yang sangat kukenal. Aku yang tadinya sedang berlari bersama arus untuk kembali ke benteng seketika membeku ditempat. 


Orang-orang mungkin mendorongku, menubrukku, dan nyaris membuatku terjatuh, namun pandanganku tak teralihkan dari Keal disana. Ia dengan tersenyum ikut bergerombol bersama pasukan siap mati, hingga 600 orang tersebut berlari kearah 15000 manusia haus darah yang menjajah negeri ini.


“Melihatnya menembus cakrawala dan lenyap dibalik bukit, aku mencoba menahan diri...”


Suara besi berat terdengar ketika aku menjatuhkan dua helmku, mereka bergelinding menjauhi kami.


“Aku bukan teman yang baik, seharusnya kuhentikan ia. Seharusnya tak kubiarkan ia disana, kuselamatkan ia dari kebodohan seperti yang biasa kita lakukan...”


“Hei, berhentilah menganggap kepahlawanan dan pengorbanan sebagai kebodohan. Setidaknya ia menjadi pahlawan bukan?”


“Ia takkan dikenal siapapun! Hanya Drenswalker yang disebut sebagai pahlawan, hanya ia yang disebut Sir Braveous, dibuatkan monumen dari pualam, padahal ia dan Keal tak melakukan hal yang sama, memberikan waktu bagi kami. Keal hanya disebut satu diantara 600 manusia lain, dan kita bahkan tak bisa menguburnya karena apa yang tersisa dari Keal berada di wilayah terjajah”


“Itu bukan salahmu Ramon, aku tahu ini menyakitkan...”


Tentu saja ini menyakitkan, aku hanya dapat berlari meninggalkannya untuk mati disana, aku bahkan tak berhak hidup ketika melangkahkan kaki pergi dari medan perang. 


Air mata Ksatria adalah hal yang terlarang. Tapi aku tak mampu menahan lebih dari ini.

Aku tak pernah kenal siapa keluargaku, bagiku Keal adalah satu-satunya keluarga yang kupunya.

“Tak ada yang bisa kita lakukan..”


“Tidak ada..”


Aku menghabiskan sore itu dengan kesunyian sambil mengerjakan apa yang Sally suruh, hingga makan malampun tiba. Orang ini. Aku tercengang ketika masuk keruang makan, disana ada piring dengan porsi yang sama untuk tiga orang.


“Sally?”


“Well.., aku bisa jelaskan ini..err, mari kita bilang saja bahwa kebiasaan itu sulit dihilangkan”


“Sally, sudah kubilang kau tak perlu menahan diri. Aku tahu kau lebih bersedih”


“Kau seperti anak remaja cengeng saja harus menangis tiap ada luka ditoreh dihatimu”


“Hey, aku tidak menangis! Ksatria dilarang meneteskan air mata sedikitpun”


“Kau itu cengeng pada dasarnya, dan itu melebihi kesadaranmu sebagai Ksatria”


“Terserah, boleh aku makan sekarang?”


“Sebelum itu, aku ingin membicarakan sesuatu terlebih dahulu”


Sally duduk dikursinya, ruang belakang di toko bunga menyatu dengan dapur dan tangga keatas, sehingga ruang ini luar biasa sempit. Dan hanya bisa dihuni oleh tiga orang tertentu.Sally nampak berusaha menyembunyikan matanya yang memerah, kurasa bau bawang putih disana sengaja ia buat sebagai alibi bila kutanyakan mengapa ia terlihat sehabis menangis. Aku takkan jatuh pada rencana kecilnya ini, aku tahu ia teramat sedih.


“Bagaimana bila..., kau..., berhenti menjadi Ksatria?”


“Tolong jangan bercanda, negeri ini dijajah dan kau memaksaku meninggalkan medan perang?”


“Aku tahu kau akan berkata hal semacam itu, tapi, mengapa kita sedikit lupakan soal pengabdian itu? Orang yang kusayangi dua kali direnggut oleh hal yang sama, jadi aku tak mau kehilangan—”


“Mana mungkin aku bisa melakukan hal semacam itu, aku ini Ksatria”


“Kumohon, kau hanya akan dikorbankan disana. Kau bukan siapa-siapa yang punya hubungan darah dengan bangsawan, lupakan soal menjadi Jendral Besar seperti cita-cita temanmu itu, kau takkan menjadi apapun kecuali pion yang mati duluan”


“Aku keluar dari percakapan ini. Sekian”


“Ramon dengarkan aku! Kau ini jenius, kau bisa membantu pejuang dan petarung dengan hal lain. Aku tahu kau ikut-ikutan Kael ketika ia bilang ingin jadi Ksatria bukan?”


“Aku tidak seperti itu.., Sally, mengapa?”


“Aku tak mau kehilangan siapapun lagi. Tidak kau, tidak akan pernah sudi kulepaskan satu lagi orang yang kusayangi”


“Lihat siapa yang seperti remaja cengeng sekarang”


“Hey, Ramon, aku serius!”


Aku berusaha mundur bersama kursiku ketika Sally bangkit dari kursinya, kedua tangannya memegang pundakku dengan keras.


“Berhenti jadi Ksatria”


Aku beringsut diatas kursi, seakan mengejek, kursi kosong tempat dimana Keal biasa duduk tak berkomentar sama sekali. Aku tidak mengharapkan kejadian spiritualis tiba-tiba terjadi, tidak juga bila pintu tiba-tiba terbuka lalu Keal muncul dibelakangnya sambil berkata ‘Hey, aku tidak mati’. Yang kuinginkan ketika menatap kursi kosong itu adalah aku ingin seseorang mengejekku, aku butuh sesuatu untuk mengingatkan bahwa yang kuperbuat adalah sangat memalukan.


“Aku tidak akan meninggalkanmu, tenanglah, aku tau kau diliputi trauma atas kepergian mereka. Tapi mengenai diriku, aku pasti kembali dari peperangan, tak ada perang yang akan membuatku terbunuh”


“Tidak!”


“Aku pasti kembali!”


“Itu hal yang sama dengan yang mereka katakan! Ayahku bilang itu, Keal juga bilang. Mereka bersumpah akan kembali. Lalu lihat apa yang terjadi?”


“Aku dibesarkan sebagai Ksatria, aku hidup dan menjadi pedang negeri ini. Bila aku mati ketika berjuang, aku takkan pernah lebih bahagia dari itu”


“Kau akan membiarkanku sendiri lagi didunia ini! Kumohon Ramon, berhentilah”


“Tidak ada pedang yang akan menebas leherku, aku luar biasa terlatih, aku juga jenius seperti yang kau bilang”


“Pedang itu hanya akan menusuk jantungmu! Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi!”


“Aku menjaminnya”


“Ramon, kau selalu menjadi pembohong yang buruk”


“Karena itulah aku yakin aku tidak berbohong soal aku tidak akan mati”


“Dari yang bisa kulihat adalah kau berbohong mengatakan bahwa kau tidak akan mati!”


“Sally sudahlah..”


“Aku menyayangi kalian berdua seperti adikku sendiri, kumohon, jangan buat hatiku dihancurkan lagi dan lagi”


“Sally kendalikan dirimu..”


Sally berlumuran air mata, wajahnya yang cantik mencerminkan kekhawatiran yang tak terhingga, rambut hitamnya berantakan dan dari yang aku tahu ia mengacak-acak rambutnya ketika panik atau menemukan kebuntuan dalam pikirannya. Aku memeluknya, mengelus rambutnya dengan tenang dan membiarkan airmatanya mengalir dipundakku, aku tak peduli apakah Keal akan marah, toh dia sudah tiada. Bila orang akan mengejekku soal tidak tahu diri atau nilai moralku minus karena memeluk kekasih milik seseorang yang sudah tiada, aku tak peduli. Aku hanya tak bisa biarkan seorang gadis menangis dihadapanku.


Sally pasti sudah tak mampu membendungnya lagi, tidak seperti ketika aku di pintu toko sore tadi. Aku tahu seperti apa rasanya menahan emosi itu, terjadi juga padaku setelah melihat wajah Keal untuk yang terakhir kalinya, rasanya tubuhku ingin meledak. 

Dan itulah tugas sesama manusia, saling mengasihi, saling bersimpatik, saling merangkul agar emosi tersebut benar-benar meledakkan tubuhmu. Tersenyum adalah tugasmu ketika melihat seorang lain sedang cemberut, lalu tanyakan apa yang terjadi, menyinkirlah bila itu bukan urusanmu. Hidup itu berarti juga ada untuk orang lain, karena ketika kau mati, kau akan membuat orang yang mengasihimu sedih sedangkan kau tak ada disana.


“Sally..”


“Apa..” dibalik tangisnya dan isakkan berat, Sally mencicit.
 

“Aku bersungguh-sungguh”
“Kalau begitu jangan jadi Ksatria...” orang ini luar biasa keras kepala. Setelah yang kukatakan kepadanya, aku hanya dapat menutupi rasa maluku, aku mungkin tak berdiri pada pendirian yang semenjak tadi kudirikan sekuat mungkin. Tapi kurasa, aku pasti akan temukan jalan lain dalam membantu negeri, disaat yang sama, aku akan ada untuk orang yang kusayangi.


“Dengan syarat kau akan jadi orang yang kusayangi, secara serius”

“Baiklah”

2 comments:

  1. buset... ini yg bikin cerita agan sendiri nih?
    salute!!

    keren jg nih templatenya :D

    visit blog ane yah, gan http://blog.enationradio.com/

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya gan buat ori buatan MORFFELFLOX~

      thanks pujiannya~

      Delete