Kisah sang Bulan
Seketika bulan naik ke angkasa, ia bulat,
bersinar ditengah gelapnya angkasa tanpa bintang dan harapan.
Sekalipun wujud
buruknya, permukaannya yang tampak seperti lubang-lubang, nyata dan benar-benar
ada, takkan pernah hal ini membuat kami tak takjub melihatnya. Cahaya bulan
terlihat keemasan bila dilihat dari sini. Entah mengapa hal itu terjadi, tetapi
jelas, berada di depan lubang sebesar bola mata pada dinding tebal tempat kami
terkurung hanya untuk mengintip kearah langit yang luas termasuk tindakan
bodoh, namun itu terjadi bukan karena kami punya pilihan.
Malam sudah turun bersama kegelapan, bulan pun
datang pada akhirnya, mengusir kegelapan pergi dari langit. Menyinari kami
semua.
Pilihan kami tak terlalu banyak. Untuk melihat
dunia luar dengan jelas adalah larangan bagi kami. Sudah belasan tahun bagi
beberapa orang disini dan lima tahun bagiku. Dan jelas-jelas tak mungkin kami
diberi kenyamanan, terlihat dari perut kami yang keroncongan dan tulang rusuk
kami yang semakin jelas terlihat, karena Mereka hanya memberi kami makan agar
kami tetap hidup, lalu meyakiti kami lagi setelahnya. Kulit kami pucat dan
terkadang berbeda dari kulit manusia, hal yang sama terjadi pada kebebasan kami
yang terikat pada sebuah bola besi dan cincin baja yang melingkar di kaki kami.
Seutas rantai baja menyambungkannya dengan kuat. Kami hidup terpisah satu sama
lain, dipisahkan antar sel khusus yang dibuat hanya untuk kami.
Dunia terkadang mengerikan. Namun tak
seorangpun yang tahu bila tempat ini adalah sumbernya.
Sel ini, mungkin aku terlalu beruntung
ditempatkan disini. Tempat ini tak separah yang lainnya. Aku nyaris yakin ada
sekitar sembilan belas sel di ruangan besar ini. Lima diantaranya berada di
tengah, dilapisi dengan dinding tambahan, lalu belasan lainnya berbatasan
langsung dengan dunia luar karena berada dipinggiran. Dan sel dimana diriku
berada adalah salah satunya, tempat ini tidak separah lima sel yang berada
ditengah, aku punya meja dan kursi setidaknya, rantai yang mengikat hanyalah
bola besi dan cincin baja, dan ventilasi lumayan besar yang dibatasi jeruji
besi yang sama yang mengurungku. Aneh bukan bila mengurung seorang gadis dengan
tangan terluka disebuah neraka semacam ini? Ya, tentunya karena aku bukan gadis
biasa.
Aku bukanlah manusia lagi setelah Mereka
melakukan hal yang tidak pernah kumengerti sedikitpun kepadaku. Mereka
mengurungku disini hanya karena tangan kiriku sudah gosong dan kehilangan
jari-jarinya, dan tak sedikitpun dapat kurasakan seperti sebuah cacat dari
penyakit. Namun tanganku ini hilang bukan karena penyakit ataupun kecelakaan.
Bukan juga karena niat jahat seorang pembunuh, ‘Mereka’ jauh lebih buruk
dibandingkan itu. Mereka selalu butuh bahan percobaan untuk dipelajari.
Bila saja malam itu aku tak menolong sang
lelaki bulan mungkin aku takkan berakhir di tempat ini. Aku adalah monster, itu
yang kupelajari setelah membakar habis desaku sendiri bersamaan dengan tangan
kiriku. Dan alasanku menjadi monster bukan karena aku memilihnya. Atau bukan
karena kekuatanku semenjak kecil, aku ini sebenarnya gadis biasa.
Andai saja ketika itu aku bisa memilih. Andai
saja bukan karena rasa indah yang muncul begitu saja dan membutakanku seketika.
Andai saja tak kuraih tangan pucat si lelaki bulan di malam gelap itu dan
membawanya pulang. Andai saja malam itu bulan yang sebenarnya muncul dan
bukannya digantikan oleh seorang pemuda dibawah pohon Ek. Mungkin aku takkan
berada disini sekarang.
Ketika angin malam bertiup melalui celah di
dinding, ia dengan baik hati membawa kesegaran ditengah sebuah neraka dan aroma
lembab hutan yang kurindukan. Membawaku kepada masa lalu yang nampaknya
tertimbun dibalik gulungan daging panjang menjijikan yang tak lagi bereaksi
dengan cepat terhadap apapun perintahku kecuali ketika aku ingin berteriak.
Dahulu ia dipanggil otak dan fungsinya untuk berpikir. Ia dengan baik hati
masih melindungi sisa-sisa ingatanku ketika aku masih manusia dulu sekalipun ia
disetrum setiap aku dipanggil keluar sel. Lalu mereka semua menyeruak, memaksa
otak untuk memuntahkan segala yang bisa diingatnya.
Padahal dahulu aku tak pernah tahu atau ingin
tahu dimana keberadaan desa ini sebenarnya. Sekarang aku merasakan akibatnya,
tak pernah diriku tahu mengapa dunia itu bulat atau mengapa air bisa beriak dan
menumbuhkan gelembung. Aku tak pernah cerdas. Aku tak mau sekolah sekalipun
ayah dan ibu mampu membayarnya. Dan kubiarkan adik laki-lakiku sekolah di desa
timur yang mulai mirip kota. Yang kutahu hanyalah cara menjadi perempuan yang
patuh dan bisa melakukan banyak hal sebagai calon Ibu. Seperti ibuku dan
nenekku. Dan akupun nantinya akan siap melayani segala perintah sang Ayah dari
anakku. Namun sebelum itu, aku harus tumbuh terlebih dahulu. Disanalah masalah
yang selalu kuhadapi. Aku bukan perempuan yang mencoba menjadi wanita, malah
aku selalu ingin kembali menjadi gadis lagi.
Ayah bilang aku nyaris tak anggun, terlalu
banyak tertawa dan tersenyum terhadap sesuatu yang biasa walaupun banyak orang
bilang mereka suka menyaksikan senyumku yang hangat. Aku juga lincah, mungkin
karena semenjak kecil lebih sering menghabiskan waktu bersama para laki-laki
dan permainan bodoh mereka. Dan tak sedikit mereka yang tadinya temanku mencoba
memenangkan hatiku ini.
Ketika mengusap mata malam itu, dibawah sebuah
saung diatas sawah warga, aku mendapati diriku telah tertidur dengan kendi
kosong disampingku. Sekalipun langit sudah gelap, ayah hanya akan menamparku
bila kembali kerumah tanpa membawa air, jadi aku berjalan menyelusuri hutan
yang gelap.
Lalu aku bertemu dengannya, dibawah sebuah
pohon Oak yang rimbun dan teduh disiang hari namun mengerikan, gelap, dan lebat
dimalam hari, tersungkur tak berdaya dengan kulit pucat sepucat jubah putih
aneh yang tak pernah kulihat sebelumnya, menatapku dengan mata yang
mengharapkan kematian lebih indah dan mengulurkan tangannya.
Lalu kutegaskan untuk mengulurkan tanganku.
Ayahku hanya melempar sedikit gelas besi yang
meleset dan juga membanting sendok ketika aku tiba dirumah dengan seorang
laki-laki misterius alih-alih sekendi penuh air. Malah kendi tersebut
kutinggalkan dibawah pohon Oak. Tapi ibuku yang selalu baik hati menerimanya
dan merawatnya.
Ia laki-laki secara pasti, ia tak mampu
mengenali bahasa kami, dan hanya makan dan minum lalu tidur seharian hanya
dengan beralaskan jubahnya dan diselimuti secarik kain yang kuyakin bahkan
tidak menghangatkannya.
Aku iri dengan kulit putih pucatnya yang
nampak cantik ketika disinari sinar bulan. Itu yang muncul dikepalaku ketika
lelaki misterius itu muncul ditengah jalan di malam hari sepulang aku mengambil
kendiku yang sekarang dipenuhi air. Kurasa sudah seminggu ia menumpang dirumah
kami tanpa diketahui siapapun di desa, lalu sekarang yang ingin ia lakukan tak
bisa kubayangkan sama sekali di kepalaku ini.
Sinar bulan menyinarinya, rambutnya panjang
berwarna keemasan benar-benar melambangkan bahwa dia itu bulan sekaligus
sinarnya, ia bergerak-gerik seakan mencoba berkomunikasi denganku yang kutahu
itu mustahil, lalu ketika ia menunjuk pegunungan disana dengan kesal setengah
mati, aku akhirnya mengetahui siapa ia sebenarnya.
Sudah menjadi buah bibir selama belasan bulan
di desaku. Bahwa beberapa bangunan dari ‘manusia kota’ yang asing muncul di
kaki gunung dan kami dilarang mendekatinya. Manusia kota selalu menjadi sosok
mengerikan bagi kami, dan yang ada didepanku bisa dibilang mengerikan, atau
cantik, barangkali lebih tepat terlalu cantik sehingga mengerikan. Sekalipun
kutahu ia lelaki maskulin.
Lalu ia menunduk dengan aneh untuk berpamit
dan mencoba berjalan kearah pegunungan. Bahkan petarung didesa kami yang kekar
dan punya insting pemburu yang luar biasa belum tentu selamat bila harus
berjalan dengan lunglai sehabis sembuh dari penyakit, tanpa senjata apapun,
ditengah malam yang gelap, menembus hutan yang penuh dengan hewan buas, dan
hanya bisa tampil cantik. Aku tahu jalan memutar yang tidak terlalu berbahaya
milik para pedagang!. Seru hatiku sendiri ketika aku menyuruhnya berhenti
dengan berteriak dan menunggu disini.
Aku berlari dengan cepat, hatiku berdebar-debar
tak karuan, sosok lelaki cantik-pucat-tampan itu sudah terlalu sempurna bagi
diriku yang terlalu biasa ini. Aku masuk kerumah dengan perlahan, menaruh kendi
air ditempatnya, mengambil persediaan roti untuk seminggu dan sekendi kecil air
dan berlari terburu-buru keluar.
Lelaki itu terkejut bukan main ketika aku
menarik tangannya dan mengajaknya berlari bersama. Dengan senyum manis yang
kuarahkan kepadanya, ia nampak kebingungan selama beberapa detik pertama, lalu
membalas senyumku dengan ketampanan yang akan melelehkan ribuan gadis sekaligus
tanpa mengurangi kekuatannya sedikitpun. Aku berlari bersamanya, melompati
pagar desa kearah hutan, berjalan diantara pepohonan selama beberapa saat, lalu
menemukan jalan para pedagang.
Ia nampak senang sama sepertiku, selama
beberapa menit kami berjalan aku keheranan rasa hangat macam apa yang tumbuh
diantara kami. Tangan kami yang saling terkait di jari satu sama lain menjadi
saksinya, menjadi sumber utamanya barangkali. Sekalipun saling berbicara hanya
akan membuang-buang waktu, dan gestur menjadi hal yang terkadang sia-sia.
Mungkin banyak hal yang berbeda dalam bahasa kami, mungkin dalam bahasaku
banyak sekali yang tak terdapat didalam bahasanya. Namun kami beruntung karena
senyum selalu mencerminkan sebuah arti yang bahagia.
Dan dia kegirangan hingga lepas kendali ketika
melihat sebuah mobil bak terbuka dengan alat aneh diatasnya. Seakan ia tahu
benda aneh itu pasti sampai ketempat dimana ia seharusnya berada, dan tahulah
aku bahwa aku mencium bau keanehan yang tak wajar pada orang ini. Ia
melambai-lambai kepada mobil dan akhirnya binatang besi itu mendekat kearah
kami dan jujur saja, jantungku nyaris copot ketika ia bersuara seperti
dengkingan keras burung yang dipotong.
Aku tak pernah tahu berada disebuah mobil akan
berguncang seperti ketika gunung selatan meletus. Pada awalnya aku mengira itu
benar-benar terjadi lagi, namun ketika aku melihat lelaki bulan itu
santai-santai saja dan si kusir mobil bahkan berkata-kata panjang kepadanya
dengan logat aneh, aku memutuskan itulah yang terjadi ketika menaiki binatang
milik manusia kota.
Dengan menaiki binatang ini, kami tiba lebih
cepat dari dugaan kami. Untunglah begitu karena roti yang kusediakan tidak akan
bertahan lama mengingat nafsu makan besar si lelaki bulan. Tetapi ia tampak
malu-malu ketika memintanya padahal aku membawa roti ini hanya untuknya.
Lalu sebuah bangunan dari beton dan besi
muncul dihadapan kami, si lelaki bulan tersenyum ketika menatapnya sebelum
menatapku dengan penuh terima kasih. Lalu menarik tanganku sambil berjalan
masuk sehingga terlalu panik bagiku. Memasuki gedung ini, aku hanya dapat
merasakan kesedihan. Aku selalu dapat merasakan ketika roh dari mereka yang
sudah tiada memperingati manusia, mereka kelewat baik, sebelum terjadi bencana
gunung selatan mereka berusaha memberitahu kami. Dan ketika ada peperangan
didekat sini mereka juga memperingati kami.
Pintu itu terbuka sendiri! Itu yang pertama
muncul dikepalaku. Sebelum arwah seorang gadis muncul dan menyuruhku pergi.
Mencoba pergi adalah yang kulakukan, tetapi ketika sang lelaki bulan keheranan
dan kembali menatapku. Ia mungkin hanya mengira aku ketakutan. Lalu dengan
indah tersenyum lagi dan membuatku tak bergerak sama sekali. Semakin kami
memasuki gedung ini, melewati sebuah tangga berjalan mengerikan, disambut
sebuah benda yang bisa berbicara dan si lelaki bulan berbicara kearahnya,
semakin banyak arwah yang muncul hingga ada sekitar empat orang.
Tetapi digenggam lelaki bulan membuatku lupa
segalanya, rasa hangat dari tangannya yang terus mengalir menuju tubuhku tak
dapat kuhentikan. Akhirnya kami sampai disebuah ruang dimana seorang lelaki
duduk dengan luwesnya diatas sebuah kursi dari kulit aneh berwarna hitam legam.
Kukira sudah beberapa menit terlewati ketika
mereka saling menyapa, dan yang sekarang terjadi bukannya aneh lagi. Muncul
ekspresi keras di wajah tampan lelaki bulan, dan ia menggerakan tangannya
seakan menolak sesuatu. Lalu tiba-tiba ia berteriak kepada lelaki diatas kursi
hitam dengan keras sehingga mungkin seluruh hutan dapat mendengarnya.
Lelaki diatas kursi tenang-tenang saja, ia
dengan sombong mengangkat benda aneh yang diletakan diantara telinga dan
mulutnya.
Dan seketika belasan arwah menyuruhku kabur
secepat mungkin. Namun kurasa ini setinggi diatas pohon bila harus melompat
dari jendela seperti yang dikatakan seorang arwah gadis kota. Kesedihan dari
arwah meliputi tubuhku yang sekarang gemetaran karenanya. Rasa takut yang
kurasakan semenjak menginjakan kaki di bangunan putih ini terwujudkan dengan
sebaris penjaga-penjaga gedung yang mengacungkan senjatanya kepada lelaki
bulan, dan salah seorangnya mengunci pergelangan tanganku dengan sesuatu dari
besi.
Lelaki bulan mengamuk, berteriak sekeras
mungkin menunjuk kearah lelaki diatas kursi hitam. Dan mulai mengayunkan sebuah
kursi tempat ia duduk barusan dengan membabi buta sementara tubuhnya dibanting
ketanah oleh seorang penjaga. Aku yang diseret keluar menatapnya kebingungan
sementara ia nampak ingin menangis dengan wajah penuh menyesalan dan tangan
yang menggapai kearahku seperti ketika kami pertama kali bertemu.
Sepanjang kami berjalan dilorong, aku melihat
belasan arwah lain menangisi diriku, seakan sudah terlalu terlambat bagiku
untuk melakukan apapun dan mereka menyesal akan itu. Hingga sampai disebuah
ruang yang penuh dengan sel jeruji besi dan sesuatu yang menguarkan aura
kesedihan.
Aku mengintip kearahnya, dan ya, ia adalah
seorang manusia dengan sisik dan ekor ular, menunduk mengutuk siapapun yang
berani menatapnya. Sel disampingnya lebih mengerikan. gadis bahkan tak punya
mata lagi, hanya dua lubang kosong di kepalanya sedangkan empat pasang mata
tumbuh di tangan dan kakinya.
Lalu aku dilempar kesebuah sel. Dan tak ada
suara lain yang kudengar setelah sel dikunci. Nampaknya mereka sempat menusuk
lenganku dengan sesuatu seperti pisau setipis jarum yang bisa mengeluarkan
cairan tertentu sehingga aku tertidur.
Inilah yang terjadi ketika aku terbangun. Aku
berada diatas sebuah papan miring diruangan tertentu yang baunya seperti obat
tumpah dengan tangan dan kakiku diikat sekuat mungkin dan belasan orang
mengerumuniku seakan aku ini sesuatu yang lezat. Aku menyadari kemudian, jubah
mereka, mirip dengan yang dikenakan oleh lelaki bulan, putih bersih namun milik
mereka penuh dengan bercak merah seperti darah.
Seperti darah.
Aku menyadari hidupku mungkin tak lama lagi
akan berakhir, aku juga menyadari arwah-arwah mengerubungi tempat ini dengan
penuh amarah, namun mereka tak mampu berbuat apapun diatas sana. Banyak dari
mereka menatapku dengan sedih karena mereka tahu aku bisa melihat mereka,
sebagaimana mereka melihatku dengan rasa maaf dan bersalah.
Namun para jubah putih tidak, mereka dengan
mata dingin mengacuhkan suaraku yang penuh tanya, mereka mungkin tak mengerti
apa yang kukatakan. Tapi aku benar-benar yakin bahwa kematian sudah dekat. Jadi
aku tak bergerak dan membiarkan semua terjadi.
Aku dikejutkan oleh sengatan listrik, mereka
melakukan itu entah untuk apa, lalu mereka terang-terangan membelah daging
ditangan kiriku dan mengacuhkan teriakanku. Lalu meletakan sesuatu seperti batu
yang berkilauan di dalam sayatan barusan dan membuat tubuhku rasanya seperti
terbakar. Dan sebuah sayatan lagi di perut. Dengan rasa sakit yang tak bisa
lagi kutahan, aku memejamkan mata dan akhirnya kegelapan menyelimuti.
Ketika diriku sadar, aku sedang berada
dialun-alun desa.
Desa yang kurindukan.
Dimana aku tumbuh sebagai gadis baik yang
sedikit pemalas dan tukang tidur.
Alun-alun kota dibanjiri api yang meraung,
seperti telah diterjang badai api besar yang menelan segalanya. Saung-saung
diatas sawah, lumbung-lumbung padi, rumah-rumah disekitarnya, seluruh desa
kuyakini telah musnah. Tapi aku tak bergerak.
Rumahku diselimuti api, kendi-kendi air pecah,
segala yang berada didalamnya barangkali sudah menjadi abu dan terbang kelangit
bersama arwah-arwah penduduk desa yang malang. Tapi aku masih tak bergerak.
Aku melihat sosok-sosok diluar sana. Mereka
terbakar dengan sematang mungkin hingga tak mampu berteriak lagi. Sekilas aku
melihat ayah dan ibu diantara para mayat yang terbakar, namun aku tak yakin
lagi ketika mereka menjadi abu dan tak mungkin lagi dikenali. Diam tak
bergerak, didalam hatiku muncul sebuah firasat buruk. Firasat yang sangat
buruk.
Ini perbuatanku.
Sementara aku menatap keatas langit yang
kemerahan, tangan kiriku juga dibakar api yang sama, bedanya ia tak pernah
terbakar habis sekalipun jari-jariku sudah tiada. Batu merah milik para jubah
putih berkilau kemerahan dibalik dagingku yang terbakar dan gosong. Rasanya
hangat. Mengacungkannya saja bisa mendatangkan semburan sejauh 10 meter.
Tetapi itu semua sudah sangat lama terjadi.
Sambil mencari tahu didalam hati apakah aku
ini, aku menatap ke bulan yang sama yang kutatap setiap hari. Dari celah
dinding dimana aku tak pernah gagal untuk mencarinya kembali.
Aku sudah mulai lupa banyak hal mulai dari
wajah ibuku dan ayahku hingga kehangatan sang lelaki bulan. Aku sudah tak ingat
seperti apa desaku yang kuyakini tak pernah ada di catatan manusia kota
manapun. Dan soal diriku, arwah-arwah meninggalkanku, membenciku selama-lamanya.
Aku seharusnya bagian dari mereka namun kurasa aku takkan menjadi mereka selama
diriku berada disini dengan tangan yang membusuk dan tak bisa hancur. Batu
merah itu masih disana, sekalipun tak berbentuk, ia berkilau kemerahan dan
ketika amarahku muncul, ia akan memanas dan menyakitkan. Aku sudah tak punya
harapan, aku tak punya masa depan yang indah dan bisa kuharapkan, masa kini
yang hampa ditengah ruang sempit dengan meja dan kayu yang sudah gosong, dan
bahkan masa lalu, mereka semua dilahap api kehancuran yang tak pernah
kuinginkan.
Satu kata, KEREEEENN!!! (y)
ReplyDeletethanks pujiannya~ baca terus ya~
Delete