TOP NEWS

Tolong Tinggalkan Komentar yang Baik Sebagai Jejak Kedatangan Anda.

Tuesday, 20 August 2013

Kisah sang Bulan


Seketika bulan naik ke angkasa, ia bulat, bersinar ditengah gelapnya angkasa tanpa bintang dan harapan. 

Sekalipun wujud buruknya, permukaannya yang tampak seperti lubang-lubang, nyata dan benar-benar ada, takkan pernah hal ini membuat kami tak takjub melihatnya. Cahaya bulan terlihat keemasan bila dilihat dari sini. Entah mengapa hal itu terjadi, tetapi jelas, berada di depan lubang sebesar bola mata pada dinding tebal tempat kami terkurung hanya untuk mengintip kearah langit yang luas termasuk tindakan bodoh, namun itu terjadi bukan karena kami punya pilihan.

Malam sudah turun bersama kegelapan, bulan pun datang pada akhirnya, mengusir kegelapan pergi dari langit. Menyinari kami semua.

Pilihan kami tak terlalu banyak. Untuk melihat dunia luar dengan jelas adalah larangan bagi kami. Sudah belasan tahun bagi beberapa orang disini dan lima tahun bagiku. Dan jelas-jelas tak mungkin kami diberi kenyamanan, terlihat dari perut kami yang keroncongan dan tulang rusuk kami yang semakin jelas terlihat, karena Mereka hanya memberi kami makan agar kami tetap hidup, lalu meyakiti kami lagi setelahnya. Kulit kami pucat dan terkadang berbeda dari kulit manusia, hal yang sama terjadi pada kebebasan kami yang terikat pada sebuah bola besi dan cincin baja yang melingkar di kaki kami. Seutas rantai baja menyambungkannya dengan kuat. Kami hidup terpisah satu sama lain, dipisahkan antar sel khusus yang dibuat hanya untuk kami.

Dunia terkadang mengerikan. Namun tak seorangpun yang tahu bila tempat ini adalah sumbernya.

Sel ini, mungkin aku terlalu beruntung ditempatkan disini. Tempat ini tak separah yang lainnya. Aku nyaris yakin ada sekitar sembilan belas sel di ruangan besar ini. Lima diantaranya berada di tengah, dilapisi dengan dinding tambahan, lalu belasan lainnya berbatasan langsung dengan dunia luar karena berada dipinggiran. Dan sel dimana diriku berada adalah salah satunya, tempat ini tidak separah lima sel yang berada ditengah, aku punya meja dan kursi setidaknya, rantai yang mengikat hanyalah bola besi dan cincin baja, dan ventilasi lumayan besar yang dibatasi jeruji besi yang sama yang mengurungku. Aneh bukan bila mengurung seorang gadis dengan tangan terluka disebuah neraka semacam ini? Ya, tentunya karena aku bukan gadis biasa.

Aku bukanlah manusia lagi setelah Mereka melakukan hal yang tidak pernah kumengerti sedikitpun kepadaku. Mereka mengurungku disini hanya karena tangan kiriku sudah gosong dan kehilangan jari-jarinya, dan tak sedikitpun dapat kurasakan seperti sebuah cacat dari penyakit. Namun tanganku ini hilang bukan karena penyakit ataupun kecelakaan. Bukan juga karena niat jahat seorang pembunuh, ‘Mereka’ jauh lebih buruk dibandingkan itu. Mereka selalu butuh bahan percobaan untuk dipelajari.

Bila saja malam itu aku tak menolong sang lelaki bulan mungkin aku takkan berakhir di tempat ini. Aku adalah monster, itu yang kupelajari setelah membakar habis desaku sendiri bersamaan dengan tangan kiriku. Dan alasanku menjadi monster bukan karena aku memilihnya. Atau bukan karena kekuatanku semenjak kecil, aku ini sebenarnya gadis biasa.

Andai saja ketika itu aku bisa memilih. Andai saja bukan karena rasa indah yang muncul begitu saja dan membutakanku seketika. Andai saja tak kuraih tangan pucat si lelaki bulan di malam gelap itu dan membawanya pulang. Andai saja malam itu bulan yang sebenarnya muncul dan bukannya digantikan oleh seorang pemuda dibawah pohon Ek. Mungkin aku takkan berada disini sekarang.

Ketika angin malam bertiup melalui celah di dinding, ia dengan baik hati membawa kesegaran ditengah sebuah neraka dan aroma lembab hutan yang kurindukan. Membawaku kepada masa lalu yang nampaknya tertimbun dibalik gulungan daging panjang menjijikan yang tak lagi bereaksi dengan cepat terhadap apapun perintahku kecuali ketika aku ingin berteriak. Dahulu ia dipanggil otak dan fungsinya untuk berpikir. Ia dengan baik hati masih melindungi sisa-sisa ingatanku ketika aku masih manusia dulu sekalipun ia disetrum setiap aku dipanggil keluar sel. Lalu mereka semua menyeruak, memaksa otak untuk memuntahkan segala yang bisa diingatnya.

Padahal dahulu aku tak pernah tahu atau ingin tahu dimana keberadaan desa ini sebenarnya. Sekarang aku merasakan akibatnya, tak pernah diriku tahu mengapa dunia itu bulat atau mengapa air bisa beriak dan menumbuhkan gelembung. Aku tak pernah cerdas. Aku tak mau sekolah sekalipun ayah dan ibu mampu membayarnya. Dan kubiarkan adik laki-lakiku sekolah di desa timur yang mulai mirip kota. Yang kutahu hanyalah cara menjadi perempuan yang patuh dan bisa melakukan banyak hal sebagai calon Ibu. Seperti ibuku dan nenekku. Dan akupun nantinya akan siap melayani segala perintah sang Ayah dari anakku. Namun sebelum itu, aku harus tumbuh terlebih dahulu. Disanalah masalah yang selalu kuhadapi. Aku bukan perempuan yang mencoba menjadi wanita, malah aku selalu ingin kembali menjadi gadis lagi.

Ayah bilang aku nyaris tak anggun, terlalu banyak tertawa dan tersenyum terhadap sesuatu yang biasa walaupun banyak orang bilang mereka suka menyaksikan senyumku yang hangat. Aku juga lincah, mungkin karena semenjak kecil lebih sering menghabiskan waktu bersama para laki-laki dan permainan bodoh mereka. Dan tak sedikit mereka yang tadinya temanku mencoba memenangkan hatiku ini.

Ketika mengusap mata malam itu, dibawah sebuah saung diatas sawah warga, aku mendapati diriku telah tertidur dengan kendi kosong disampingku. Sekalipun langit sudah gelap, ayah hanya akan menamparku bila kembali kerumah tanpa membawa air, jadi aku berjalan menyelusuri hutan yang gelap.

Lalu aku bertemu dengannya, dibawah sebuah pohon Oak yang rimbun dan teduh disiang hari namun mengerikan, gelap, dan lebat dimalam hari, tersungkur tak berdaya dengan kulit pucat sepucat jubah putih aneh yang tak pernah kulihat sebelumnya, menatapku dengan mata yang mengharapkan kematian lebih indah dan mengulurkan tangannya.

Lalu kutegaskan untuk mengulurkan tanganku.

Ayahku hanya melempar sedikit gelas besi yang meleset dan juga membanting sendok ketika aku tiba dirumah dengan seorang laki-laki misterius alih-alih sekendi penuh air. Malah kendi tersebut kutinggalkan dibawah pohon Oak. Tapi ibuku yang selalu baik hati menerimanya dan merawatnya.

Ia laki-laki secara pasti, ia tak mampu mengenali bahasa kami, dan hanya makan dan minum lalu tidur seharian hanya dengan beralaskan jubahnya dan diselimuti secarik kain yang kuyakin bahkan tidak menghangatkannya.

Aku iri dengan kulit putih pucatnya yang nampak cantik ketika disinari sinar bulan. Itu yang muncul dikepalaku ketika lelaki misterius itu muncul ditengah jalan di malam hari sepulang aku mengambil kendiku yang sekarang dipenuhi air. Kurasa sudah seminggu ia menumpang dirumah kami tanpa diketahui siapapun di desa, lalu sekarang yang ingin ia lakukan tak bisa kubayangkan sama sekali di kepalaku ini.

Sinar bulan menyinarinya, rambutnya panjang berwarna keemasan benar-benar melambangkan bahwa dia itu bulan sekaligus sinarnya, ia bergerak-gerik seakan mencoba berkomunikasi denganku yang kutahu itu mustahil, lalu ketika ia menunjuk pegunungan disana dengan kesal setengah mati, aku akhirnya mengetahui siapa ia sebenarnya.

Sudah menjadi buah bibir selama belasan bulan di desaku. Bahwa beberapa bangunan dari ‘manusia kota’ yang asing muncul di kaki gunung dan kami dilarang mendekatinya. Manusia kota selalu menjadi sosok mengerikan bagi kami, dan yang ada didepanku bisa dibilang mengerikan, atau cantik, barangkali lebih tepat terlalu cantik sehingga mengerikan. Sekalipun kutahu ia lelaki maskulin.

Lalu ia menunduk dengan aneh untuk berpamit dan mencoba berjalan kearah pegunungan. Bahkan petarung didesa kami yang kekar dan punya insting pemburu yang luar biasa belum tentu selamat bila harus berjalan dengan lunglai sehabis sembuh dari penyakit, tanpa senjata apapun, ditengah malam yang gelap, menembus hutan yang penuh dengan hewan buas, dan hanya bisa tampil cantik. Aku tahu jalan memutar yang tidak terlalu berbahaya milik para pedagang!. Seru hatiku sendiri ketika aku menyuruhnya berhenti dengan berteriak dan menunggu disini.

Aku berlari dengan cepat, hatiku berdebar-debar tak karuan, sosok lelaki cantik-pucat-tampan itu sudah terlalu sempurna bagi diriku yang terlalu biasa ini. Aku masuk kerumah dengan perlahan, menaruh kendi air ditempatnya, mengambil persediaan roti untuk seminggu dan sekendi kecil air dan berlari terburu-buru keluar.

Lelaki itu terkejut bukan main ketika aku menarik tangannya dan mengajaknya berlari bersama. Dengan senyum manis yang kuarahkan kepadanya, ia nampak kebingungan selama beberapa detik pertama, lalu membalas senyumku dengan ketampanan yang akan melelehkan ribuan gadis sekaligus tanpa mengurangi kekuatannya sedikitpun. Aku berlari bersamanya, melompati pagar desa kearah hutan, berjalan diantara pepohonan selama beberapa saat, lalu menemukan jalan para pedagang.

Ia nampak senang sama sepertiku, selama beberapa menit kami berjalan aku keheranan rasa hangat macam apa yang tumbuh diantara kami. Tangan kami yang saling terkait di jari satu sama lain menjadi saksinya, menjadi sumber utamanya barangkali. Sekalipun saling berbicara hanya akan membuang-buang waktu, dan gestur menjadi hal yang terkadang sia-sia. Mungkin banyak hal yang berbeda dalam bahasa kami, mungkin dalam bahasaku banyak sekali yang tak terdapat didalam bahasanya. Namun kami beruntung karena senyum selalu mencerminkan sebuah arti yang bahagia.

Dan dia kegirangan hingga lepas kendali ketika melihat sebuah mobil bak terbuka dengan alat aneh diatasnya. Seakan ia tahu benda aneh itu pasti sampai ketempat dimana ia seharusnya berada, dan tahulah aku bahwa aku mencium bau keanehan yang tak wajar pada orang ini. Ia melambai-lambai kepada mobil dan akhirnya binatang besi itu mendekat kearah kami dan jujur saja, jantungku nyaris copot ketika ia bersuara seperti dengkingan keras burung yang dipotong.

Aku tak pernah tahu berada disebuah mobil akan berguncang seperti ketika gunung selatan meletus. Pada awalnya aku mengira itu benar-benar terjadi lagi, namun ketika aku melihat lelaki bulan itu santai-santai saja dan si kusir mobil bahkan berkata-kata panjang kepadanya dengan logat aneh, aku memutuskan itulah yang terjadi ketika menaiki binatang milik manusia kota.
Dengan menaiki binatang ini, kami tiba lebih cepat dari dugaan kami. Untunglah begitu karena roti yang kusediakan tidak akan bertahan lama mengingat nafsu makan besar si lelaki bulan. Tetapi ia tampak malu-malu ketika memintanya padahal aku membawa roti ini hanya untuknya.

Lalu sebuah bangunan dari beton dan besi muncul dihadapan kami, si lelaki bulan tersenyum ketika menatapnya sebelum menatapku dengan penuh terima kasih. Lalu menarik tanganku sambil berjalan masuk sehingga terlalu panik bagiku. Memasuki gedung ini, aku hanya dapat merasakan kesedihan. Aku selalu dapat merasakan ketika roh dari mereka yang sudah tiada memperingati manusia, mereka kelewat baik, sebelum terjadi bencana gunung selatan mereka berusaha memberitahu kami. Dan ketika ada peperangan didekat sini mereka juga memperingati kami.

Pintu itu terbuka sendiri! Itu yang pertama muncul dikepalaku. Sebelum arwah seorang gadis muncul dan menyuruhku pergi. Mencoba pergi adalah yang kulakukan, tetapi ketika sang lelaki bulan keheranan dan kembali menatapku. Ia mungkin hanya mengira aku ketakutan. Lalu dengan indah tersenyum lagi dan membuatku tak bergerak sama sekali. Semakin kami memasuki gedung ini, melewati sebuah tangga berjalan mengerikan, disambut sebuah benda yang bisa berbicara dan si lelaki bulan berbicara kearahnya, semakin banyak arwah yang muncul hingga ada sekitar empat orang.

Tetapi digenggam lelaki bulan membuatku lupa segalanya, rasa hangat dari tangannya yang terus mengalir menuju tubuhku tak dapat kuhentikan. Akhirnya kami sampai disebuah ruang dimana seorang lelaki duduk dengan luwesnya diatas sebuah kursi dari kulit aneh berwarna hitam legam.

Kukira sudah beberapa menit terlewati ketika mereka saling menyapa, dan yang sekarang terjadi bukannya aneh lagi. Muncul ekspresi keras di wajah tampan lelaki bulan, dan ia menggerakan tangannya seakan menolak sesuatu. Lalu tiba-tiba ia berteriak kepada lelaki diatas kursi hitam dengan keras sehingga mungkin seluruh hutan dapat mendengarnya.

Lelaki diatas kursi tenang-tenang saja, ia dengan sombong mengangkat benda aneh yang diletakan diantara telinga dan mulutnya.

Dan seketika belasan arwah menyuruhku kabur secepat mungkin. Namun kurasa ini setinggi diatas pohon bila harus melompat dari jendela seperti yang dikatakan seorang arwah gadis kota. Kesedihan dari arwah meliputi tubuhku yang sekarang gemetaran karenanya. Rasa takut yang kurasakan semenjak menginjakan kaki di bangunan putih ini terwujudkan dengan sebaris penjaga-penjaga gedung yang mengacungkan senjatanya kepada lelaki bulan, dan salah seorangnya mengunci pergelangan tanganku dengan sesuatu dari besi.

Lelaki bulan mengamuk, berteriak sekeras mungkin menunjuk kearah lelaki diatas kursi hitam. Dan mulai mengayunkan sebuah kursi tempat ia duduk barusan dengan membabi buta sementara tubuhnya dibanting ketanah oleh seorang penjaga. Aku yang diseret keluar menatapnya kebingungan sementara ia nampak ingin menangis dengan wajah penuh menyesalan dan tangan yang menggapai kearahku seperti ketika kami pertama kali bertemu.

Sepanjang kami berjalan dilorong, aku melihat belasan arwah lain menangisi diriku, seakan sudah terlalu terlambat bagiku untuk melakukan apapun dan mereka menyesal akan itu. Hingga sampai disebuah ruang yang penuh dengan sel jeruji besi dan sesuatu yang menguarkan aura kesedihan.

Aku mengintip kearahnya, dan ya, ia adalah seorang manusia dengan sisik dan ekor ular, menunduk mengutuk siapapun yang berani menatapnya. Sel disampingnya lebih mengerikan. gadis bahkan tak punya mata lagi, hanya dua lubang kosong di kepalanya sedangkan empat pasang mata tumbuh di tangan dan kakinya.

Lalu aku dilempar kesebuah sel. Dan tak ada suara lain yang kudengar setelah sel dikunci. Nampaknya mereka sempat menusuk lenganku dengan sesuatu seperti pisau setipis jarum yang bisa mengeluarkan cairan tertentu sehingga aku tertidur.

Inilah yang terjadi ketika aku terbangun. Aku berada diatas sebuah papan miring diruangan tertentu yang baunya seperti obat tumpah dengan tangan dan kakiku diikat sekuat mungkin dan belasan orang mengerumuniku seakan aku ini sesuatu yang lezat. Aku menyadari kemudian, jubah mereka, mirip dengan yang dikenakan oleh lelaki bulan, putih bersih namun milik mereka penuh dengan bercak merah seperti darah.

Seperti darah.

Aku menyadari hidupku mungkin tak lama lagi akan berakhir, aku juga menyadari arwah-arwah mengerubungi tempat ini dengan penuh amarah, namun mereka tak mampu berbuat apapun diatas sana. Banyak dari mereka menatapku dengan sedih karena mereka tahu aku bisa melihat mereka, sebagaimana mereka melihatku dengan rasa maaf dan bersalah.

Namun para jubah putih tidak, mereka dengan mata dingin mengacuhkan suaraku yang penuh tanya, mereka mungkin tak mengerti apa yang kukatakan. Tapi aku benar-benar yakin bahwa kematian sudah dekat. Jadi aku tak bergerak dan membiarkan semua terjadi.

Aku dikejutkan oleh sengatan listrik, mereka melakukan itu entah untuk apa, lalu mereka terang-terangan membelah daging ditangan kiriku dan mengacuhkan teriakanku. Lalu meletakan sesuatu seperti batu yang berkilauan di dalam sayatan barusan dan membuat tubuhku rasanya seperti terbakar. Dan sebuah sayatan lagi di perut. Dengan rasa sakit yang tak bisa lagi kutahan, aku memejamkan mata dan akhirnya kegelapan menyelimuti.

Ketika diriku sadar, aku sedang berada dialun-alun desa.

Desa yang kurindukan.

Dimana aku tumbuh sebagai gadis baik yang sedikit pemalas dan tukang tidur.

Alun-alun kota dibanjiri api yang meraung, seperti telah diterjang badai api besar yang menelan segalanya. Saung-saung diatas sawah, lumbung-lumbung padi, rumah-rumah disekitarnya, seluruh desa kuyakini telah musnah. Tapi aku tak bergerak.

Rumahku diselimuti api, kendi-kendi air pecah, segala yang berada didalamnya barangkali sudah menjadi abu dan terbang kelangit bersama arwah-arwah penduduk desa yang malang. Tapi aku masih tak bergerak.
Aku melihat sosok-sosok diluar sana. Mereka terbakar dengan sematang mungkin hingga tak mampu berteriak lagi. Sekilas aku melihat ayah dan ibu diantara para mayat yang terbakar, namun aku tak yakin lagi ketika mereka menjadi abu dan tak mungkin lagi dikenali. Diam tak bergerak, didalam hatiku muncul sebuah firasat buruk. Firasat yang sangat buruk.

Ini perbuatanku.

Sementara aku menatap keatas langit yang kemerahan, tangan kiriku juga dibakar api yang sama, bedanya ia tak pernah terbakar habis sekalipun jari-jariku sudah tiada. Batu merah milik para jubah putih berkilau kemerahan dibalik dagingku yang terbakar dan gosong. Rasanya hangat. Mengacungkannya saja bisa mendatangkan semburan sejauh 10 meter.

Tetapi itu semua sudah sangat lama terjadi.

Sambil mencari tahu didalam hati apakah aku ini, aku menatap ke bulan yang sama yang kutatap setiap hari. Dari celah dinding dimana aku tak pernah gagal untuk mencarinya kembali.

Aku sudah mulai lupa banyak hal mulai dari wajah ibuku dan ayahku hingga kehangatan sang lelaki bulan. Aku sudah tak ingat seperti apa desaku yang kuyakini tak pernah ada di catatan manusia kota manapun. Dan soal diriku, arwah-arwah meninggalkanku, membenciku selama-lamanya. Aku seharusnya bagian dari mereka namun kurasa aku takkan menjadi mereka selama diriku berada disini dengan tangan yang membusuk dan tak bisa hancur. Batu merah itu masih disana, sekalipun tak berbentuk, ia berkilau kemerahan dan ketika amarahku muncul, ia akan memanas dan menyakitkan. Aku sudah tak punya harapan, aku tak punya masa depan yang indah dan bisa kuharapkan, masa kini yang hampa ditengah ruang sempit dengan meja dan kayu yang sudah gosong, dan bahkan masa lalu, mereka semua dilahap api kehancuran yang tak pernah kuinginkan.


Aku hanya punya satu impian indah yang kuharap muncul dimasa depan. Berharap sang bulan menyelamatkanku dari sini.

2 comments: