TOP NEWS

Tolong Tinggalkan Komentar yang Baik Sebagai Jejak Kedatangan Anda.

Sunday, 18 August 2013

Keluarga Milik Ruri


Kejadian ini terjadi di antah berantah. Negara tak dikenal. Desa tak diketahui dan dimensi yang berbeda dengan kenyataan.

Mengejutkan. Itu kata pertama yang muncul dari dasar hatiku ketika melihat tempat ini setelah lama kutinggalkan. Tetapi aku tak mampu menemukan kata yang tepat bila harus kuucapkan, karena begitu banyaknya batas pada dunia yang kutinggali sekarang.

Mobil hitam antik namun tak kalah mahal dengan mobil sport terbaru menderu melalui sebuah gerbang bercat karat alami. Gerbang itu seharusnya tak pernah terkunci bagi orang seperti diriku, yah, lebih tepatnya bukan aku yang sekarang. Bagaimanapun aku adalah aku. Seorang gadis kelas atas dengan sepatu hak tinggi diumur muda dan rok panjang melambai-lambai diterpa angin, adalah kesan pertama bagi orang yang baru bertemu pertamakali denganku. Tapi apapun aku ini tak mungkin sebanding dengan kemegahan dihadapanku.

Mereka tak pernah mengecat ulang tempat ini, sudah kuduga. Dan gerbang berkarat itu akan menambah jumlah dana yang sudah kusiapkan, lalu barangkali sedikit bangku dilapangan gersang ini dan lampu taman untuk meneranginya. Ah, mungkin lebih bagus lagi bila dirombak ulang menjadi lapangan rumput alih-alih semen semacam ini. Tapi sumpah, tempat ini benar-benar harus diperbaiki. Kekurangan dana adalah alasan konyol bagi seorang anak yatim piatu untuk tak melihat indahnya dunia ini. Mereka sudah kehilangan kehangatan orang tua dan harus menderita lagi setelah itu? Kenyataan sekali.

Aku mungkin terlalu beruntung. Bisa memiliki banyak hal yang tak mereka miliki. Padahal aku tak punya perbedaan sedikitpun dengan mereka.

Lalu begitu saja terjadi. Supirku kebingungan ketika dua orang anak kurus berlarian didepan kami, anak laki-laki yang didepan mengangkat tinggi-tinggi sebuah kincir dari origami sambil berlari, lalu belakangnya mengejar seorang anak perempuan dengan rengekan keras. Entah mengapa aku tak bisa menahan air mata setelah melihat kejadian barusan, seakan sudah menjadi takdir ketika aku datang kemari mereka akan lewat begitu saja. Mempertontonkan sebuah keadaan dimana biasanya mulutku akan berbisik ‘deja vu ternyata benar-benar ada ya...’

Namun yang kali ini keterlaluan. Aku bahkan tak mampu berbisik. Supir juga kebingungan melihat Nonanya tiba-tiba menangis sambil mencarikan tisu.

Tapi ini lebih pantas ditertawakan dibanding ditangisi, ya, orang itu dan ayah juga akan berkata hal yang sama bila kuceritakan. Orang itu, kukira nyaris 4 tahun yang lalu kujumpai disini dan berkata ia telah menemukan jalan hidupnya yang akan membuatnya benar-benar nyaman didunia ini.

Heh, mengatakan seperti itu seenaknya namun membiarkan tempat ini bobrok, hancur, berkarat pula.

Si gadis kecil berbaju pink yang mengejar kincir itu tiba-tiba terpeleset dan jatuh ditengah lapangan. Perlahan bangun dengan kedua telapak tangannya. Mulutnya mulai membentuk simpul aneh, matanya berair, lututnya kotor dan aku tahu ada luka dibalik debu tebal yang menutupinya. Lalu dengan tangan kotor ia mengucek matanya yang berair dan menangis keras. Itu mengerikan, mainannya diambil, ia terjatuh dan melukai lututnya dengan buruk, dan matanya pedih kemasukan debu dari tangan. Dan si anak laki-laki hanya menggaruk-garuk kepalanya tanpa mencoba menenangkan keadaan.

Aku turun dari mobil, walaupun tahu sangat bukan diriku yang biasanya cuek terhadap apapun, namun naluri keibuan tiba-tba muncul begitu saja. Suara sepatu hak mahal menyentuh lapangan beton mengisi siang berangin sejuk disaat itu juga, tanpa kesulitan oleh rok panjang yang dahulu pernah terjadi, aku turun dengan lancar.

Tapi kurasa naluri milikku tak cukup kuat, seorang wanita yang sangat kukenal meluncur nampak seperti punya sepuluh ribu kaki sehingga berlari secepat itu dari dapur terdekat. Kenyataan bahwa ia masih mengenakan celemek bergambar kelinci konyol bermata hijau itu sampai sekarang membuatku geli.

Mengelap mata si gadis berbaju pink dengan sebuah serbet bersih, lalu meniup mata kecilnya sehingga debu itu pergi sambil mengelus-elus kepalanya, si laki-laki kecil terdiam walaupun kincir angin terus berputar cepat ketika diserbu angin kuat.

Tanpa memperdulikan mobil hitam keren dihadapannya dan siapapun yang menontonnya dari sini, ia menjewer si anak laki-laki hingga meringis kesakitan. Benar-benar sifatnya sekali.

“Minta maaf, cepat!”

“Ma..maaf bu..”

“Bukan padaku! Minta maaf pada Ruri dan kembalikan kincir itu!” ucapnya. Mendengar nama itu, aku tertawa diam-diam.

“Maaf... Ruri...”

“Ibu... sakit....” ucap si gadis sambil menunjuk lututnya yang berdarah. Air matanya masih mengalir perlahan menuruni pipi kemerahannya.

“Mina!” teriaknya keras, tak lebih dari 2 detik kemudian kepala seorang gadis remaja berambut pendek muncul dari pintu dapur.

“Bawakan kotak obatmu kesini...”

Mina masuk kembali dan dari dalam terdengar suara orang berlari. Aku yang masih memandangi dari kejauhan tak bisa berkata apa-apa, karena aku tahu orang itu takkan menyahut siapapun yang memanggil sekalipun pak presiden atau seorang pembunuh bila raut wajahnya sedang dalam kondisi seperti itu. Alisnya menajam dan mulutnya tak tersenyum.

Ia tak sedikitpun berubah. Sesuai janjinya.

Ia kembali berdiri dan membiarkan Mina juga si laki-laki mengurus luka kecil milik si Ruri kecil. Lalu berdiri dan menaruh kedua lengannya dipinggang untuk mengawasi keadaan. Mina mencoba menenangkan tangis Ruri dengan senyum hangat seperti seorang perawat sedangkan si laki-laki kecil masih diam dengan wajah bersalah seakan dia baru saja membunuh seseorang. Mereka membawa Ruri kecil masuk dan meninggalkan si ibu diluar. Yang masih dalam posisi siap bertempur.

Menatap kearahku dengan kaget seakan aku baru tiba disana sedetik yang lalu sebelum tersenyum lebar. Aku menirukan posenya, dengan posisi lengan yang sama dan senyum manis yang sama dan membuatnya tertawa pelan.

“Aku pulang, kak” ucapku pelan.

“Aku ini Ibu sekarang! Tak peduli apakah kau ini tuan putri Ruri yang sudah lama pergi ataupun Ruri kecilku yang rajin merengek”

“Ah, kau selamanya akan jadi kak Marin-ku yang terlalu banyak tertawa”

Panti asuhan ini masih bisa berdiri dengan kuat sekalipun bangunan lain disekitarnya sudah mulai lapuk karena ditinggalkan pemiliknya, mungkin karena kekuatan Marin yang hebat dalam menindas laki-laki, walaupun lebih tua atau lebih muda, Marin akan selalu berhasil. Aku sempat khawatir ketika mendengar pasar didekat sini akan ditutup dan kota kecil ini mulai ditinggalkan penduduknya karena jauh dari ibukota. Lalu ada kabar dari dunia kerja ayah bahwa ada pemborong yang akan membeli tanah dari orang-orang disekitar sini untuk dijadikan pabrik ‘penghasil limbah’. Jujur saja, aku takkan suka itu.

Mungkin Marin berhasil meyakinkan beberapa orang untuk tinggal dan tidak menjual bangunan dan tanah mereka. Dahulu daerah sekitar panti asuhan kami selalu ramai, toko-toko berderet tak ada hentinya, hingga satu toko untuk satu jenis barang tak pernah cukup, bahkan pernah ada kabar akan dibangun sebuah mall, jalan raya didepan tempat ini adalah jalan utama untuk melintas.

Semua berubah ketika banyak sekali jalan alternatif dibangun seperti jalan Tol dan sekian jenis transportasi umum lain mulai mendunia seperti kereta bawah tanah. Nyaris tak pernah ada orang yang lewat tempat ini.
Lalu orang-orang jahat berjas kantoran mulai berdatangan untuk mengukur tanah.

“Kukira kau sudah melupakan tempat ini” ucap Marin setelah duduk di sofa ruang tamu. Aku senang ia tak perlu menyuruhku untuk duduk, membawa pada kenangan lama berada ditempat ini sebagai seorang keluarga. Jadi aku duduk disampingnya tanpa ragu. Ia menyunggingkan senyum yang sama seperti ketika aku ‘berlugu-lugu ria’.

“Aku baru saja mengirimimu surat seminggu yang lalu, mana mungkin seperti itu dibilang melupakan...”

“Yah, keluarga pada dasarnya berbicara setiap hari”

“Kau semakin mahir dalam membuat orang tak enak hati” setelah kukatakan itu Mina datang membawakan teh. Ruri kecil menempel padanya.

“Kurasa kau telah menemukan penggantiku” ucapku ketika mereka mejauh.

“Siapa? Mina?”

“Ruri kecil yang cengeng”

“Bukannya semua orang bernama Ruri selalu cengeng?”

“Itu sedikit kejam, bu Marin”

“Aku masih 22 tahun lho, penampilan terkadang bisa membohongi. Lagipula bukan salahnya untuk punya nama yang mirip denganmu, malah mungkin ia menderita punya nama itu”

“Kau sekarang terlalu kejam..., yah, sesuai dengan yang kubayangkan untuk seorang gadis dewasa”

“Sudah kubilang aku tak tua, takkan pernah menua malah. Ahaha”

“Kau terlihat tua karena sifatmu, semua orang akan setuju bila kukatakan itu di televisi”

“Ohh, jadi sekarang tuan putri Ruri bisa masuk televisi sesuka hatinya? Wah, ratu sekali”

Seketika hatiku meledak mendegar dia bicara seperti itu, mungkin bila orang lain aku takkan berkata apa-apa, namun bila Marin yang berkata..

“Hei, ayolah..., ini semua harta ayahku. Yang bisa saja menjadi ayahmu ketika itu”

Lalu perlahan kenangan mengalir dari dasar otakku, mengikat lidah ini untuk berkata lebih lanjut namun tak mungkin menghentikan Marin berbicara.

“Ahaha, Ruri kecil cengeng lebih pantas tinggal di rumah bertingkat dibanding Marin. Kan sudah terbukti bahwa aku-“

“Aku tak suka ketika kau bersikap seperti itu!”

Aku tiba-tiba mengingat masa lampau, di hari ketika orang yang akan menjadi ayah angkatku datang dengan mobil antik hitam yang sama dengan yang sedang terparkir. Ia adalah seorang milioner dengan harta bertumpuk-tumpuk pemilik perusahaan negara. Mengulurkan tangannya mengajakku pergi, sementara demikian aku memandang kebelakang melihat Marin melambaikan tangannya dengan senyum manis dibalik pilar. Kurasa aku masih 8 tahun ketika itu dan Marin 12.

Ayahku ketika itu adalah seorang pria muda yang baru saja kehilangan istrinya karena sebuah penyakit. Istrinya terlalu cantik dan baik hati sehingga ketika sang istri nyaris menghembuskan nafas terakhirnya, ayahku bersumpah takkan mencari pengganti.

Lalu ia muncul begitu saja di panti asuhan ini pada suatu hari, terpaksa menginjak rem tiba-tiba ketika melihat dua orang gadis sedang bermain kincir angin dari origami karena menghalangi mobilnya di pintu masuk.

Aku mulai mengusap mataku yang berair.

“Hei, Ruri, mengapa kau masih mempermasalahkan itu sih? Itu kan sudah 10 tahun yang lalu..”

“Maaf saja, tapi aku memang cengeng!”

“Kau ini..., tak pernah berubah sedikitpun..” Marin menyentil dahiku hingga aku merengek. Ia semakin tersenyum iseng dan mulai mengapit hidungku dengan dua jarinya.

“Uhuuu, kau yang tak berubah sedikitpun!” banyak sekali air mata yang mengalir bersamaan dengan ingatan yang kembali.

Di depan mobil ayahku ketika itu, aku terjatuh, aku yang frustasi karena kincir angin buatanku dicuri Marin si bandel hanya bisa menangis. Mengusap mata dengan tangan berdebu yang membuat mataku lebih perih dan tak bisa berdiri karena lututku berdarah.

Ayah adalah seorang petarung dunia bisnis, walaupun ia dengan gagah dan terburu-buru keluar dari mobil, ia tak tahu sedikitpun menghadapi seorang anak kecil. Hanya mampu menggaruk kepalanya dan menatapku dengan raut kebingungan dan tangan yang bingung harus berbuat apa.

“Hayo-hayo, sudah 18 tahun, masa masih cengeng juga?”

“Aku selamanya menjadi anak kecil khusus ditempat ini!”

“Makanya jangan diingat-ingat terus, nanti kau makin sedih”

“Mana bisa!!”

“Ayolah, itu masalah konyol yang bahkan tak perlu kau tangisi Ruri..”

Diruangan ini setelah ibu pengurus bercelemek kelinci mata hijau mengobatiku dahulu, kami berdua dibawa. Ibu pengurus bercelemek kelinci memang selalu menerima tamu yang ingin mengadopsi anak ditempat ini. Lalu mempertemukan kedua pihak calon keluarga. Jadi beberapa dari kami melonjak bahagia ketika akhirnya ada orang yang bersedia menjadi ibu dan ayah kami.

Jujur saja, ketika itu aku selalu iri dengan anak yang dipanggil keruangan ini. Namun ketika berada disini aku merasa sedih, aku akan meninggalkan teman-temanku selama-lamanya. Dan bertanya-tanya apakah itu juga yang dirasakan mereka yang berada disini? Sementara ia bersedih, anak-anak lain sedang mengejeknya di lapangan hanya karena terlalu beruntung.

“Ah..eh.. saya hanya bisa mengadopsi satu orang..., maksud saya...”

“Maaf pak, tetapi Ruri tak mau kemana-mana kecuali..“

“Kak Marin....”

Aku berlindung dibelakang Marin di hari itu, pada saat aku dipanggil oleh ibu pengurus hingga diruangan tersebut, sehingga Marin juga harus disana. Ayahku duduk di kursi yang sama dengan yang kududuki sekarang. Ketika itu aku bahkan tak berani menatapnya. Aku tak mengenalnya. Ia besar dan tinggi, berkacamata, dan sepatunya mengerikan.

“Ruri! Dia itu ayahmu mulai sekarang!” teriak Marin. Berusaha melepaskan tangan kecilku yang menggengam erat bajunya.

“Nggak mau! Aku nggak mau! Aku maunya sama kak Marin!”

“Ruri! Jangan cengeng-“

“Mungkin..., mungkin Ruri atau Marin bukan pilihan yang tepat pak.., mereka sudah cukup lama bersama-sama ditempat ini dan tak bisa terpisah satu sama lain..., masih banyak anak lain kok pak, mereka juga tak kalah pintar dengan mereka berdua”

“Tapi saya tak bisa. Harus dia..”

“Mengapa pak?”

“Entahlah bu, saya, kalau melihat dia..., dia mirip sekali mendiang istri saya. Walaupun wajahnya tak mirip sedikitpun, saya bisa yakin anak ini sedikit ceroboh dan gampang menangis karena kejadian barusan. Benar-benar mirip...”

“Berarti tak ada pilihan lain pak, anda harus adopsi mereka berdua sekaligus..”

“Iya, barangkali ya. Ahaha”

“Oi kau!” teriak Marin ditengah rengekkanku. Memanggil ayah.

“Marin! Tak boleh seperti itu sama orang yang lebih tua”

“Apa kau punya banyak uang?” tanyanya.

Marin dalam pose seperti biasanya, menaruh kedua lengan pada pinggang dengan wajah tak tersenyum dan alis lancip.

“Marin!!”

“Ah.., eh..., kalau soal uang mungkin aku punya beberapa..”

“Hah, lupakan saja soal menjadi ayah Ruri. Menjawab tegas saja tak bisa. Ruri tak butuh ayah seperti itu!” ucapnya sambil berbalik, mengajakku keluar.

“Tu..tunggu! Baiklah! Aku... punya banyak uang!” ucap Ayah yang tiba-tiba berdiri tegak dengan tampang kaget karena tadinya tak yakin ini serius.

“Kalau begitu, apa kau mampu membuat Ruri bahagia sebagai putrimu?”

“Tentu saja!”

“Aku tak bilang putri, tetapi Tuan Putri. Apa kau mengerti!?”

“Siap kapten! Aku akan jadikan dia Tuan Putri cantik nan jelita”

“Siapa yang kau panggil kapten? Aku ini Kakaknya Ruri!”

“Baiklah! Marin kakaknya Ruri!”

“Jika suatu hari nanti Ruri kembali kesini dan dia bukan seorang tuan putri. Aku akan menghancurkanmu!”

“Baiklah!”

Ayahku tersenyum ketika itu melihat tingkah Marin yang sangat ‘Marin’ sekalipun ibu pengurus sepertinya akan meledak bila Marin berkata lebih banyak.

Marin itu sangat ‘Marin’, hanya orang yang ‘Marin’-lah yang bisa membentak orang dewasa seperti itu, aku semua orang di panti asuhan ini mengerti.

“Dan kau! Kalau kau sampai menangis didepan ayahmu seperti ini, aku tak mau jadi kakakmu lagi!”

“Haaah..., enggak mau! Kak Marin!”

“Tuh, nangis lagi, sudah cukup! Kau bukan adikku lagi!”

“Engga..., aku nggak nangis kak..., aku nggak nangis..” ucapku ketika itu sambil mengelap air mata.

“Sana, jumpai ayahmu..”

Marin mendorongku pelan. Namun aku yang lemah terdorong sangat jauh oleh tenaganya yang super, ayahku berlutut hingga tinggiku yang terlalu pendek setara dengan wajahnya, ia tersenyum dan nampak baik hati, lalu perlahan mengelap air mataku dengan tangannya yang besar dan memegang kepalaku hanya untuk mengacak-acak rambutku.

“Ruri, tolong rawat ayahmu ini ya..” ucapnya.

“A...aa...ay...ayah....”

Senyumnya semakin lebar karena senang.

“Marin, kau juga sini...”

“A..apa maksudmu?”

“Kau juga akan menjadi anakku mulai sekarang...”

“Anak? Jangan bercanda pak, aku ini sudah dewasa, mana mungkin jadi anak seseorang lagi.., la...lagipula kau sudah berjanji satu hal padaku! Kau harus membuat Ruri jadi tuan putri! Kalau sudah kau baru pantas memilikiku!”

Marin kabur dari ruangan dan menutup pintu. Tak ada yang menghentikannya karena kami semua melihat air mata Marin juga mengalir. Ayahku kebingungan melihat sikapnya, lalu memandangku dan mengerti setelah melihat raut wajahku. Marin itu sangat ‘Marin’. Percuma saja memaksa hal yang ia tak mau.

“Dia sangat sayang padamu ya?”

“Dia kakakku..”

Tentu saja ia kakakku. Sekalipun kami tak lahir dari rahim yang sama atau terlebih lagi aku mungkin takkan pernah kenal dengannya ditempat ini, kami tetaplah kakak beradik.

Aku tak pernah tahu darimana diriku berasal, siapakah orang tuaku, seperti apakah hidupku seharusnya, siapa saja kerabatku. Aku bahkan tidak terlalu peduli. Aku tak lagi menganggap mereka keluargaku, orang-orang itu.

Keluarga bukan berarti kau memiliki darah yang sama atau wajah yang serupa. Keluarga bukanlah hal semudah itu untuk mendefinisikannya. Karena keluarga adalah tempat dimana kau merasa paling hangat untuk berada ditengahnya.

Aku punya hari ulang tahun bukan yang tertera pada akte kelahiran milikku yang ada di rumah sakit, dengan nama orang tua yang tak pernah diketahui dimana keberadaannya, aku selalu merayakan hari bahagia itu di hari ketika aku tiba disini bersama seorang lelaki yang mengaku menemukanku di sebuah puing di bekas pemukiman kumuh yang digusur. Aku selalu bahagia dan mensyukuri ia menitipkanku disini.

Aku menganggap seorang gadis luar biasa aneh yang langsung mengulurkan tangannya ketika aku terjatuh di hari tersebut sebagai kakakku. Bahkan terkadang sebagai ibuku. Aku bersumpah akan terus tunduk padanya sebagai seorang adik yang ceroboh dan selalu butuh pertolongan.

Dan Aku menganggap pria ramah dan baik hati yang selalu bersedih ketika menatap sebuah foto wanita cantik tertentu dirumahnya sebagai ayahku. Aku akan membuatnya tersenyum dengan apapun yang kumampu, sekalipun seluruh kebaikanku takkan pernah mampu membalas yang ia berikan kepadaku.
Lalu aku tadinya tak mau menengok kebelakang selagi kami berjalan menuju mobil antik hitam, yah, sebenarnya belum termasuk antik di tahun itu. Namun sebuah suara yang tak bisa dengan jelas kudengar memanggilku dari belakang. Aku tahu Marinlah yang berteriak, tetapi tak terdengar karena isak tangisnya.
Ia muncul dari balik pilar tempat biasa ia bersembunyi ketika kami bermain petak umpet. Melambaikan tangan dengan senyum manis dan mata yang berkaca-kaca. Aku lakukan hal yang sama dengannya karena aku selalu meniru apa yang ia lakukan semenjak kecil.

Setelah itu aku hanya mengunjungi panti asuhan pada 2 kesempatan lain.

Yaitu ketika ibu pengurus meninggal dan ketika aku menengok Marin yang sakit.

Dan tentu saja aku takkan kaget ketika hari ini datang melihat ia menggunakan celemek kelinci bermata hijau keramat itu. Disaat menengoknya di rumah sakit, Marin mengatakan hal konyol tentang sudah menemukan jalan hidupnya untuk menjadi pengurus panti asuhan. Pemilik panti asuhan juga sudah menyetujui hal tersebut, entah mengapa.

Mungkin karena Marin sangat ‘Marin’.

“Sudah tenang? Ampun deh kau ini..”

“Huuu, berisik!”

“Kalau Mina tiba-tiba masuk kemari dan melihatmu sedang merengek. Pasti dia kecewa. Daritadi ia menanyakanmu terus lho..”

“Katakan saja padanya aku ini korban Marin yang sangat ‘Marin’”

“Ya, tentu saja benar, kau ini korbanku. Nah, daripada itu lebih baik kutanyakan padamu, ada apa hari ini kemari? Bila kau bilang hanya ingin menjengukku dan memastikan aku sehat-sehat saja,  aku akan menyentilmu lagi dan menyerang ayahmu dengan buas”

Hal yang sama pernah ia katakan ketika aku mengunjunginya dirumah sakit. Orang ini benar-benar...
“Tadinya sih aku ingin memberi sejumlah dana dengan alasan donasi. Tapi aku punya ide lain yang mungkin lebih efisien...”

“Ide lain?”

“A...aku.. akan meminta ayah..., untuk memindahkan seluruh panti asuhan ke halaman rumah...”

“Darimana kau lihat hal tersebut efisien!”

“T..ta..tapi aku kan bisa mengunjungi kalian setiap hari! Aku bisa melihatmu setiap hari!”

“Kau pikir si tua itu punya banyak waktu mengurus ini? Dia kan super sibuk, kubaca dari koran pagi ini, dia baru saja membeli gedung opera di luar negeri”

“A...aku bisa mengurus hal ini!”

“Oho, kau bisa?” ucap Marin sambil menyetil dahiku lagi.

“Tentu saja! Tinggal... cari..., mesin berat...” aku mencoba membuang wajah.

“Mesin berat?” dia menyentilku lagi.

“Marin! Hentikan!”

“Ahaha, sudahlah, kalau kau ingin menyelamatkan kami, lebih baik kau carikan gedung baru di Ibukota. Tapi sebelum itu kau harus beli seluruh panti asuhan menjadi milikmu, bicaralah dulu pada pemiliknya sekarang”

“Baiklah! Ayo....” aku berdiri dan mengajaknya pergi. Tetapi ia hanya duduk dan memejamkan matanya dengan menyebalkan.

“Lho? Kupikir kau bisa mengurus hal ini?”

“Marin! Ayolah!”

“Heh? Bukankah Ruri sudah dewasa sehingga tak pernah memanggilku Kak Marin lagi? Seharusnya bisa dong menemui pemilik panti asuhan di kompleks sebelah sendirian?”

“Baiklah! Kak Marin! Ayolah!”

“Aku tak punya adik kasar seperti itu deh rasanya”

“Kak Marin..., tolong bantu Ruri..., Ruri tak bisa melakukan hal apapun tanpa kakak...”

“Sumpah, aku iri dengan keluguanmu ini!” ucap Marin sambil mencubit pipiku dengan pelan, aku hanya mendengung seperti anak kecil. Ia menyeretku keluar seperti ketika kami pertama kami berkenalan dan bermain bersama. Entah mengapa aku merasakan Marin lebih banyak mengingat hal-hal yang terjadi dahulu dibanding diriku, mungkin karena dia selalu di gedung ini dan tak pernah meninggalkannya semenjak kecil.


Ibukota dan rumahku tak terlalu jauh, aku mungkin bisa mengunjungi Marin disela-sela kuliahku untuk menambah stres. Walau aku tak terlalu peduli bila mereka tak pindah juga andaikan pabrik menyebalkan itu tak jadi dibangun. Sekalipun begitu, takkan jadi masalah bila Marin harus berada di ujung semesta, jarak tak pernah jadi masalah untuk orang yang mencintai, terutama bila keluargalah kau bicarakan. 

0 komentar: