Keluarga Milik Ruri
Kejadian ini terjadi di antah berantah. Negara
tak dikenal. Desa tak diketahui dan dimensi yang berbeda dengan kenyataan.
Mengejutkan. Itu kata pertama yang muncul dari
dasar hatiku ketika melihat tempat ini setelah lama kutinggalkan. Tetapi aku
tak mampu menemukan kata yang tepat bila harus kuucapkan, karena begitu
banyaknya batas pada dunia yang kutinggali sekarang.
Mobil hitam antik namun tak kalah mahal dengan
mobil sport terbaru menderu melalui
sebuah gerbang bercat karat alami. Gerbang itu seharusnya tak pernah terkunci
bagi orang seperti diriku, yah, lebih tepatnya bukan aku yang sekarang.
Bagaimanapun aku adalah aku. Seorang gadis kelas atas dengan sepatu hak tinggi
diumur muda dan rok panjang melambai-lambai diterpa angin, adalah kesan pertama
bagi orang yang baru bertemu pertamakali denganku. Tapi apapun aku ini tak
mungkin sebanding dengan kemegahan dihadapanku.
Mereka tak pernah mengecat ulang tempat ini,
sudah kuduga. Dan gerbang berkarat itu akan menambah jumlah dana yang sudah
kusiapkan, lalu barangkali sedikit bangku dilapangan gersang ini dan lampu
taman untuk meneranginya. Ah, mungkin lebih bagus lagi bila dirombak ulang
menjadi lapangan rumput alih-alih semen semacam ini. Tapi sumpah, tempat ini
benar-benar harus diperbaiki. Kekurangan dana adalah alasan konyol bagi seorang
anak yatim piatu untuk tak melihat indahnya dunia ini. Mereka sudah kehilangan
kehangatan orang tua dan harus menderita lagi setelah itu? Kenyataan sekali.
Aku mungkin terlalu beruntung. Bisa memiliki
banyak hal yang tak mereka miliki. Padahal aku tak punya perbedaan sedikitpun
dengan mereka.
Lalu begitu saja terjadi. Supirku kebingungan
ketika dua orang anak kurus berlarian didepan kami, anak laki-laki yang didepan
mengangkat tinggi-tinggi sebuah kincir dari origami sambil berlari, lalu
belakangnya mengejar seorang anak perempuan dengan rengekan keras. Entah
mengapa aku tak bisa menahan air mata setelah melihat kejadian barusan, seakan
sudah menjadi takdir ketika aku datang kemari mereka akan lewat begitu saja.
Mempertontonkan sebuah keadaan dimana biasanya mulutku akan berbisik ‘deja vu ternyata benar-benar ada ya...’
Namun yang kali ini keterlaluan. Aku bahkan
tak mampu berbisik. Supir juga kebingungan melihat Nonanya tiba-tiba menangis
sambil mencarikan tisu.
Tapi ini lebih pantas ditertawakan dibanding
ditangisi, ya, orang itu dan ayah juga akan berkata hal yang sama bila
kuceritakan. Orang itu, kukira nyaris 4 tahun yang lalu kujumpai disini dan
berkata ia telah menemukan jalan hidupnya yang akan membuatnya benar-benar
nyaman didunia ini.
Heh, mengatakan seperti itu seenaknya namun
membiarkan tempat ini bobrok, hancur, berkarat pula.
Si gadis kecil berbaju pink yang mengejar
kincir itu tiba-tiba terpeleset dan jatuh ditengah lapangan. Perlahan bangun
dengan kedua telapak tangannya. Mulutnya mulai membentuk simpul aneh, matanya
berair, lututnya kotor dan aku tahu ada luka dibalik debu tebal yang
menutupinya. Lalu dengan tangan kotor ia mengucek matanya yang berair dan
menangis keras. Itu mengerikan, mainannya diambil, ia terjatuh dan melukai
lututnya dengan buruk, dan matanya pedih kemasukan debu dari tangan. Dan si
anak laki-laki hanya menggaruk-garuk kepalanya tanpa mencoba menenangkan
keadaan.
Aku turun dari mobil, walaupun tahu sangat
bukan diriku yang biasanya cuek terhadap apapun, namun naluri keibuan tiba-tba
muncul begitu saja. Suara sepatu hak mahal menyentuh lapangan beton mengisi
siang berangin sejuk disaat itu juga, tanpa kesulitan oleh rok panjang yang
dahulu pernah terjadi, aku turun dengan lancar.
Tapi kurasa naluri milikku tak cukup kuat,
seorang wanita yang sangat kukenal meluncur nampak seperti punya sepuluh ribu
kaki sehingga berlari secepat itu dari dapur terdekat. Kenyataan bahwa ia masih
mengenakan celemek bergambar kelinci konyol bermata hijau itu sampai sekarang
membuatku geli.
Mengelap mata si gadis berbaju pink dengan
sebuah serbet bersih, lalu meniup mata kecilnya sehingga debu itu pergi sambil
mengelus-elus kepalanya, si laki-laki kecil terdiam walaupun kincir angin terus
berputar cepat ketika diserbu angin kuat.
Tanpa memperdulikan mobil hitam keren
dihadapannya dan siapapun yang menontonnya dari sini, ia menjewer si anak
laki-laki hingga meringis kesakitan. Benar-benar sifatnya sekali.
“Minta maaf, cepat!”
“Ma..maaf bu..”
“Bukan padaku! Minta maaf pada Ruri dan
kembalikan kincir itu!” ucapnya. Mendengar nama itu, aku tertawa diam-diam.
“Maaf... Ruri...”
“Ibu... sakit....” ucap si gadis sambil
menunjuk lututnya yang berdarah. Air matanya masih mengalir perlahan menuruni
pipi kemerahannya.
“Mina!” teriaknya keras, tak lebih dari 2
detik kemudian kepala seorang gadis remaja berambut pendek muncul dari pintu
dapur.
“Bawakan kotak obatmu kesini...”
Mina masuk kembali dan dari dalam terdengar
suara orang berlari. Aku yang masih memandangi dari kejauhan tak bisa berkata
apa-apa, karena aku tahu orang itu takkan menyahut siapapun yang memanggil
sekalipun pak presiden atau seorang pembunuh bila raut wajahnya sedang dalam
kondisi seperti itu. Alisnya menajam dan mulutnya tak tersenyum.
Ia tak sedikitpun berubah. Sesuai janjinya.
Ia kembali berdiri dan membiarkan Mina juga si
laki-laki mengurus luka kecil milik si Ruri kecil. Lalu berdiri dan menaruh
kedua lengannya dipinggang untuk mengawasi keadaan. Mina mencoba menenangkan
tangis Ruri dengan senyum hangat seperti seorang perawat sedangkan si laki-laki
kecil masih diam dengan wajah bersalah seakan dia baru saja membunuh seseorang.
Mereka membawa Ruri kecil masuk dan meninggalkan si ibu diluar. Yang masih
dalam posisi siap bertempur.
Menatap kearahku dengan kaget seakan aku baru
tiba disana sedetik yang lalu sebelum tersenyum lebar. Aku menirukan posenya,
dengan posisi lengan yang sama dan senyum manis yang sama dan membuatnya
tertawa pelan.
“Aku pulang, kak” ucapku pelan.
“Aku ini Ibu sekarang! Tak peduli apakah kau
ini tuan putri Ruri yang sudah lama pergi ataupun Ruri kecilku yang rajin
merengek”
“Ah, kau selamanya akan jadi kak Marin-ku yang
terlalu banyak tertawa”
Panti asuhan ini masih bisa berdiri dengan
kuat sekalipun bangunan lain disekitarnya sudah mulai lapuk karena ditinggalkan
pemiliknya, mungkin karena kekuatan Marin yang hebat dalam menindas laki-laki,
walaupun lebih tua atau lebih muda, Marin akan selalu berhasil. Aku sempat
khawatir ketika mendengar pasar didekat sini akan ditutup dan kota kecil ini
mulai ditinggalkan penduduknya karena jauh dari ibukota. Lalu ada kabar dari
dunia kerja ayah bahwa ada pemborong yang akan membeli tanah dari orang-orang
disekitar sini untuk dijadikan pabrik ‘penghasil limbah’. Jujur saja, aku
takkan suka itu.
Mungkin Marin berhasil meyakinkan beberapa
orang untuk tinggal dan tidak menjual bangunan dan tanah mereka. Dahulu daerah
sekitar panti asuhan kami selalu ramai, toko-toko berderet tak ada hentinya,
hingga satu toko untuk satu jenis barang tak pernah cukup, bahkan pernah ada
kabar akan dibangun sebuah mall, jalan raya didepan tempat ini adalah jalan
utama untuk melintas.
Semua berubah ketika banyak sekali jalan
alternatif dibangun seperti jalan Tol dan sekian jenis transportasi umum lain
mulai mendunia seperti kereta bawah tanah. Nyaris tak pernah ada orang yang
lewat tempat ini.
Lalu orang-orang jahat berjas kantoran mulai
berdatangan untuk mengukur tanah.
“Kukira kau sudah melupakan tempat ini” ucap
Marin setelah duduk di sofa ruang tamu. Aku senang ia tak perlu menyuruhku
untuk duduk, membawa pada kenangan lama berada ditempat ini sebagai seorang
keluarga. Jadi aku duduk disampingnya tanpa ragu. Ia menyunggingkan senyum yang
sama seperti ketika aku ‘berlugu-lugu ria’.
“Aku baru saja mengirimimu surat seminggu yang
lalu, mana mungkin seperti itu dibilang melupakan...”
“Yah, keluarga pada dasarnya berbicara setiap
hari”
“Kau semakin mahir dalam membuat orang tak
enak hati” setelah kukatakan itu Mina datang membawakan teh. Ruri kecil
menempel padanya.
“Kurasa kau telah menemukan penggantiku”
ucapku ketika mereka mejauh.
“Siapa? Mina?”
“Ruri kecil yang cengeng”
“Bukannya semua orang bernama Ruri selalu
cengeng?”
“Aku masih 22 tahun lho, penampilan terkadang
bisa membohongi. Lagipula bukan salahnya untuk punya nama yang mirip denganmu,
malah mungkin ia menderita punya nama itu”
“Kau sekarang terlalu kejam..., yah, sesuai
dengan yang kubayangkan untuk seorang gadis dewasa”
“Sudah kubilang aku tak tua, takkan pernah
menua malah. Ahaha”
“Kau terlihat tua karena sifatmu, semua orang
akan setuju bila kukatakan itu di televisi”
“Ohh, jadi sekarang tuan putri Ruri bisa masuk
televisi sesuka hatinya? Wah, ratu sekali”
Seketika hatiku meledak mendegar dia bicara
seperti itu, mungkin bila orang lain aku takkan berkata apa-apa, namun bila
Marin yang berkata..
“Hei, ayolah..., ini semua harta ayahku. Yang
bisa saja menjadi ayahmu ketika itu”
Lalu perlahan kenangan mengalir dari dasar otakku, mengikat lidah ini untuk berkata lebih lanjut namun tak mungkin menghentikan Marin berbicara.
“Ahaha, Ruri kecil cengeng lebih pantas
tinggal di rumah bertingkat dibanding Marin. Kan sudah terbukti bahwa aku-“
“Aku tak suka ketika kau bersikap seperti itu!”
Aku tiba-tiba mengingat masa lampau, di hari ketika
orang yang akan menjadi ayah angkatku datang dengan mobil antik hitam yang sama
dengan yang sedang terparkir. Ia adalah seorang milioner dengan harta
bertumpuk-tumpuk pemilik perusahaan negara. Mengulurkan tangannya mengajakku
pergi, sementara demikian aku memandang kebelakang melihat Marin melambaikan
tangannya dengan senyum manis dibalik pilar. Kurasa aku masih 8 tahun ketika
itu dan Marin 12.
Ayahku ketika itu adalah seorang pria muda
yang baru saja kehilangan istrinya karena sebuah penyakit. Istrinya terlalu
cantik dan baik hati sehingga ketika sang istri nyaris menghembuskan nafas
terakhirnya, ayahku bersumpah takkan mencari pengganti.
Lalu ia muncul begitu saja di panti asuhan ini
pada suatu hari, terpaksa menginjak rem tiba-tiba ketika melihat dua orang
gadis sedang bermain kincir angin dari origami karena menghalangi mobilnya di
pintu masuk.
Aku mulai mengusap mataku yang berair.
“Hei, Ruri, mengapa kau masih mempermasalahkan
itu sih? Itu kan sudah 10 tahun yang lalu..”
“Maaf saja, tapi aku memang cengeng!”
“Kau ini..., tak pernah berubah sedikitpun..”
Marin menyentil dahiku hingga aku merengek. Ia semakin tersenyum iseng dan
mulai mengapit hidungku dengan dua jarinya.
“Uhuuu, kau yang tak berubah sedikitpun!”
banyak sekali air mata yang mengalir bersamaan dengan ingatan yang kembali.
Di depan mobil ayahku ketika itu, aku
terjatuh, aku yang frustasi karena kincir angin buatanku dicuri Marin si bandel
hanya bisa menangis. Mengusap mata dengan tangan berdebu yang membuat mataku
lebih perih dan tak bisa berdiri karena lututku berdarah.
Ayah adalah seorang petarung dunia bisnis,
walaupun ia dengan gagah dan terburu-buru keluar dari mobil, ia tak tahu
sedikitpun menghadapi seorang anak kecil. Hanya mampu menggaruk kepalanya dan
menatapku dengan raut kebingungan dan tangan yang bingung harus berbuat apa.
“Hayo-hayo, sudah 18 tahun, masa masih cengeng
juga?”
“Aku selamanya menjadi anak kecil khusus
ditempat ini!”
“Makanya jangan diingat-ingat terus, nanti kau
makin sedih”
“Mana bisa!!”
“Ayolah, itu masalah konyol yang bahkan tak
perlu kau tangisi Ruri..”
Diruangan ini setelah ibu pengurus bercelemek
kelinci mata hijau mengobatiku dahulu, kami berdua dibawa. Ibu pengurus
bercelemek kelinci memang selalu menerima tamu yang ingin mengadopsi anak
ditempat ini. Lalu mempertemukan kedua pihak calon keluarga. Jadi beberapa dari
kami melonjak bahagia ketika akhirnya ada orang yang bersedia menjadi ibu dan
ayah kami.
Jujur saja, ketika itu aku selalu iri dengan
anak yang dipanggil keruangan ini. Namun ketika berada disini aku merasa sedih,
aku akan meninggalkan teman-temanku selama-lamanya. Dan bertanya-tanya apakah
itu juga yang dirasakan mereka yang berada disini? Sementara ia bersedih,
anak-anak lain sedang mengejeknya di lapangan hanya karena terlalu beruntung.
“Ah..eh..
saya hanya bisa mengadopsi satu orang..., maksud saya...”
“Maaf
pak, tetapi Ruri tak mau kemana-mana kecuali..“
“Kak
Marin....”
Aku berlindung dibelakang Marin di hari itu,
pada saat aku dipanggil oleh ibu pengurus hingga diruangan tersebut, sehingga
Marin juga harus disana. Ayahku duduk di kursi yang sama dengan yang kududuki
sekarang. Ketika itu aku bahkan tak berani menatapnya. Aku tak mengenalnya. Ia
besar dan tinggi, berkacamata, dan sepatunya mengerikan.
“Ruri!
Dia itu ayahmu mulai sekarang!” teriak Marin. Berusaha
melepaskan tangan kecilku yang menggengam erat bajunya.
“Nggak
mau! Aku nggak mau! Aku maunya sama kak Marin!”
“Ruri!
Jangan cengeng-“
“Mungkin...,
mungkin Ruri atau Marin bukan pilihan yang tepat pak.., mereka sudah cukup lama
bersama-sama ditempat ini dan tak bisa terpisah satu sama lain..., masih banyak
anak lain kok pak, mereka juga tak kalah pintar dengan mereka berdua”
“Tapi
saya tak bisa. Harus dia..”
“Mengapa
pak?”
“Entahlah
bu, saya, kalau melihat dia..., dia mirip sekali mendiang istri saya. Walaupun
wajahnya tak mirip sedikitpun, saya bisa yakin anak ini sedikit ceroboh dan
gampang menangis karena kejadian barusan. Benar-benar mirip...”
“Berarti
tak ada pilihan lain pak, anda harus adopsi mereka berdua sekaligus..”
“Iya, barangkali
ya. Ahaha”
“Oi
kau!” teriak Marin ditengah rengekkanku. Memanggil
ayah.
“Marin!
Tak boleh seperti itu sama orang yang lebih tua”
“Apa kau
punya banyak uang?” tanyanya.
Marin dalam pose seperti biasanya, menaruh
kedua lengan pada pinggang dengan wajah tak tersenyum dan alis lancip.
“Marin!!”
“Ah..,
eh..., kalau soal uang mungkin aku punya beberapa..”
“Hah,
lupakan saja soal menjadi ayah Ruri. Menjawab tegas saja tak bisa. Ruri tak
butuh ayah seperti itu!” ucapnya sambil berbalik,
mengajakku keluar.
“Tu..tunggu!
Baiklah! Aku... punya banyak uang!” ucap Ayah yang
tiba-tiba berdiri tegak dengan tampang kaget karena tadinya tak yakin ini
serius.
“Kalau
begitu, apa kau mampu membuat Ruri bahagia sebagai putrimu?”
“Tentu
saja!”
“Aku tak
bilang putri, tetapi Tuan Putri. Apa kau mengerti!?”
“Siap
kapten! Aku akan jadikan dia Tuan Putri cantik nan jelita”
“Siapa
yang kau panggil kapten? Aku ini Kakaknya Ruri!”
“Baiklah!
Marin kakaknya Ruri!”
“Jika
suatu hari nanti Ruri kembali kesini dan dia bukan seorang tuan putri. Aku akan
menghancurkanmu!”
“Baiklah!”
Ayahku tersenyum ketika itu melihat tingkah
Marin yang sangat ‘Marin’ sekalipun ibu pengurus sepertinya akan meledak bila
Marin berkata lebih banyak.
Marin itu sangat ‘Marin’, hanya orang yang
‘Marin’-lah yang bisa membentak orang dewasa seperti itu, aku semua orang di
panti asuhan ini mengerti.
“Dan
kau! Kalau kau sampai menangis didepan ayahmu seperti ini, aku tak mau jadi
kakakmu lagi!”
“Haaah...,
enggak mau! Kak Marin!”
“Tuh,
nangis lagi, sudah cukup! Kau bukan adikku lagi!”
“Engga...,
aku nggak nangis kak..., aku nggak nangis..” ucapku ketika itu sambil mengelap
air mata.
“Sana,
jumpai ayahmu..”
Marin mendorongku pelan. Namun aku yang lemah
terdorong sangat jauh oleh tenaganya yang super, ayahku berlutut hingga
tinggiku yang terlalu pendek setara dengan wajahnya, ia tersenyum dan nampak
baik hati, lalu perlahan mengelap air mataku dengan tangannya yang besar dan
memegang kepalaku hanya untuk mengacak-acak rambutku.
“Ruri,
tolong rawat ayahmu ini ya..” ucapnya.
“A...aa...ay...ayah....”
Senyumnya semakin lebar karena senang.
“Marin,
kau juga sini...”
“A..apa
maksudmu?”
“Kau
juga akan menjadi anakku mulai sekarang...”
“Anak?
Jangan bercanda pak, aku ini sudah dewasa, mana mungkin jadi anak seseorang
lagi.., la...lagipula kau sudah berjanji satu hal padaku! Kau harus membuat
Ruri jadi tuan putri! Kalau sudah kau baru pantas memilikiku!”
Marin kabur dari ruangan dan menutup pintu.
Tak ada yang menghentikannya karena kami semua melihat air mata Marin juga mengalir.
Ayahku kebingungan melihat sikapnya, lalu memandangku dan mengerti setelah
melihat raut wajahku. Marin itu sangat ‘Marin’. Percuma saja memaksa hal yang
ia tak mau.
“Dia
sangat sayang padamu ya?”
“Dia
kakakku..”
Tentu saja ia kakakku. Sekalipun kami tak
lahir dari rahim yang sama atau terlebih lagi aku mungkin takkan pernah kenal
dengannya ditempat ini, kami tetaplah kakak beradik.
Aku tak pernah tahu darimana diriku berasal,
siapakah orang tuaku, seperti apakah hidupku seharusnya, siapa saja kerabatku.
Aku bahkan tidak terlalu peduli. Aku tak lagi menganggap mereka keluargaku,
orang-orang itu.
Keluarga bukan berarti kau memiliki darah yang
sama atau wajah yang serupa. Keluarga bukanlah hal semudah itu untuk
mendefinisikannya. Karena keluarga adalah tempat dimana kau merasa paling
hangat untuk berada ditengahnya.
Aku punya hari ulang tahun bukan yang tertera
pada akte kelahiran milikku yang ada di rumah sakit, dengan nama orang tua yang
tak pernah diketahui dimana keberadaannya, aku selalu merayakan hari bahagia
itu di hari ketika aku tiba disini bersama seorang lelaki yang mengaku
menemukanku di sebuah puing di bekas pemukiman kumuh yang digusur. Aku selalu
bahagia dan mensyukuri ia menitipkanku disini.
Aku menganggap seorang gadis luar biasa aneh
yang langsung mengulurkan tangannya ketika aku terjatuh di hari tersebut
sebagai kakakku. Bahkan terkadang sebagai ibuku. Aku bersumpah akan terus
tunduk padanya sebagai seorang adik yang ceroboh dan selalu butuh pertolongan.
Dan Aku menganggap pria ramah dan baik hati
yang selalu bersedih ketika menatap sebuah foto wanita cantik tertentu
dirumahnya sebagai ayahku. Aku akan membuatnya tersenyum dengan apapun yang
kumampu, sekalipun seluruh kebaikanku takkan pernah mampu membalas yang ia
berikan kepadaku.
Lalu aku tadinya tak mau menengok kebelakang
selagi kami berjalan menuju mobil antik hitam, yah, sebenarnya belum termasuk
antik di tahun itu. Namun sebuah suara yang tak bisa dengan jelas kudengar
memanggilku dari belakang. Aku tahu Marinlah yang berteriak, tetapi tak
terdengar karena isak tangisnya.
Ia muncul dari balik pilar tempat biasa ia
bersembunyi ketika kami bermain petak umpet. Melambaikan tangan dengan senyum
manis dan mata yang berkaca-kaca. Aku lakukan hal yang sama dengannya karena
aku selalu meniru apa yang ia lakukan semenjak kecil.
Setelah itu aku hanya mengunjungi panti asuhan
pada 2 kesempatan lain.
Yaitu ketika ibu pengurus meninggal dan ketika
aku menengok Marin yang sakit.
Dan tentu saja aku takkan kaget ketika hari
ini datang melihat ia menggunakan celemek kelinci bermata hijau keramat itu.
Disaat menengoknya di rumah sakit, Marin mengatakan hal konyol tentang sudah
menemukan jalan hidupnya untuk menjadi pengurus panti asuhan. Pemilik panti
asuhan juga sudah menyetujui hal tersebut, entah mengapa.
Mungkin karena Marin sangat ‘Marin’.
“Sudah tenang? Ampun deh kau ini..”
“Huuu, berisik!”
“Kalau Mina tiba-tiba masuk kemari dan
melihatmu sedang merengek. Pasti dia kecewa. Daritadi ia menanyakanmu terus
lho..”
“Katakan saja padanya aku ini korban Marin
yang sangat ‘Marin’”
“Ya, tentu saja benar, kau ini korbanku. Nah,
daripada itu lebih baik kutanyakan padamu, ada apa hari ini kemari? Bila kau
bilang hanya ingin menjengukku dan memastikan aku sehat-sehat saja, aku akan menyentilmu lagi dan menyerang ayahmu
dengan buas”
Hal yang sama pernah ia katakan ketika aku
mengunjunginya dirumah sakit. Orang ini benar-benar...
“Tadinya sih aku ingin memberi sejumlah dana
dengan alasan donasi. Tapi aku punya ide lain yang mungkin lebih efisien...”
“Ide lain?”
“A...aku.. akan meminta ayah..., untuk
memindahkan seluruh panti asuhan ke halaman rumah...”
“Darimana kau lihat hal tersebut efisien!”
“T..ta..tapi aku kan bisa mengunjungi kalian
setiap hari! Aku bisa melihatmu setiap hari!”
“Kau pikir si tua itu punya banyak waktu
mengurus ini? Dia kan super sibuk, kubaca dari koran pagi ini, dia baru saja
membeli gedung opera di luar negeri”
“A...aku bisa mengurus hal ini!”
“Oho, kau bisa?” ucap Marin sambil menyetil
dahiku lagi.
“Tentu saja! Tinggal... cari..., mesin berat...”
aku mencoba membuang wajah.
“Mesin berat?” dia menyentilku lagi.
“Marin! Hentikan!”
“Ahaha, sudahlah, kalau kau ingin
menyelamatkan kami, lebih baik kau carikan gedung baru di Ibukota. Tapi sebelum
itu kau harus beli seluruh panti asuhan menjadi milikmu, bicaralah dulu pada
pemiliknya sekarang”
“Baiklah! Ayo....” aku berdiri dan mengajaknya
pergi. Tetapi ia hanya duduk dan memejamkan matanya dengan menyebalkan.
“Lho? Kupikir kau bisa mengurus hal ini?”
“Marin! Ayolah!”
“Heh? Bukankah Ruri sudah dewasa sehingga tak
pernah memanggilku Kak Marin lagi? Seharusnya bisa dong menemui pemilik panti
asuhan di kompleks sebelah sendirian?”
“Baiklah! Kak Marin! Ayolah!”
“Aku tak punya adik kasar seperti itu deh
rasanya”
“Kak Marin..., tolong bantu Ruri..., Ruri tak
bisa melakukan hal apapun tanpa kakak...”
“Sumpah, aku iri dengan keluguanmu ini!” ucap
Marin sambil mencubit pipiku dengan pelan, aku hanya mendengung seperti anak
kecil. Ia menyeretku keluar seperti ketika kami pertama kami berkenalan dan
bermain bersama. Entah mengapa aku merasakan Marin lebih banyak mengingat
hal-hal yang terjadi dahulu dibanding diriku, mungkin karena dia selalu di
gedung ini dan tak pernah meninggalkannya semenjak kecil.
Ibukota dan rumahku tak terlalu jauh, aku
mungkin bisa mengunjungi Marin disela-sela kuliahku untuk menambah stres. Walau
aku tak terlalu peduli bila mereka tak pindah juga andaikan pabrik menyebalkan
itu tak jadi dibangun. Sekalipun begitu, takkan jadi masalah bila Marin harus
berada di ujung semesta, jarak tak pernah jadi masalah untuk orang yang
mencintai, terutama bila keluargalah kau bicarakan.
0 komentar: